Chereads / KEJEBAK CINTA / Chapter 30 - Bab 30

Chapter 30 - Bab 30

"Pagi buta seenak udel nyuruh gue mijitin? Enak aja dikira gue babu, Lo!" tolak Rahsya.

"Cepetan nurut! Siapa suruh semalaman bolak-balik tubuh gue kayak roti panggang, lihat imbasnya gue jadi pegal-pegal!" rutuk Naura.

"Sebelah mana mau dipijat?" ngalah Rahsya beringsut bangun.

Perempuan sedang baring telungkup menepuk kedua pundak pegalnya lalu kembali bermain gadget.

"Waktu Lo sembarang pergi, gue nemuin ponsel Lo di saku sweater, gue coba cek terus kaget lihat puluhan panggilan masuk tak terjawab dari bu Salma dan dari sebuah nomor tak dikenal kalau enggak percaya cek aja ponselnya," beritahu Naura.

Rahsya celingak-celinguk mencari benda canggihnya. "Handphone gue taruh di mana?"

"Dalem laci," jawab Naura.

Beranjak turun membuka laci nakas mencari ponsel, setelah ketemu, Rahsya naik lagi ke tempat tidur menyilang kaki menghadap posisi semula.

"Enggak Lo angkat?" tanya Rahsya.

"Gimana mau gue angkat, layar ponselnya aja pake sandi."

"Password-nya tanggal lahir gue, masa enggak tahu," gumam Rahsya.

Naura membalik badan, mencubit kesal perut Rahsya yang hanya direspon ringisan pelan tanpa perlawanan.

"Ngapain harus tahu identitas Lo? Ngarep banget mau diperhatiin!"

"Terus kdrt lama-lama gue telan hidup Lo bulat-bulat, kalau Lo mau dimanja enggak usah main drama dulu ngajak ribut, cukup bilang sayang ... gue butuh pelukan, ciuman, elusan dan lain-lain yang bersangkutan dengan kehangatan, nanti juga bakal gue turuti kemauan Lo," celoteh Rahsya.

"Filter dulu omongannya, siapa juga mau dimanjain sama Lo, percaya diri banget!" sahut Naura.

Sukses membersihkan log panggilan, Rahsya melempar handphone ke permukaan bantal.

"Heh, bu Salma mencemaskan keberadaan Lo, kenapa enggak coba hubungi ulang?" tembak Naura.

"Enggak aneh, palingan bunda minta gue balik lagi ke asrama buat nenangin kesedihan Adara, kalau bukan soal itu, mana perduli bunda nanyain gue di mana," tutur Rahsya.

"Lo masih pundung? Menurut gue cukup makan hati, marah boleh asal enggak boleh abaikan hal mendesak seperti panggilan beliau. Bu Salma tetap ibu kandung Lo, yang mesti dimaklumi rasa kekhawatirannya terhadap anak sendiri. Sekarang ambil ponsel Lo, telepon balik, tanyain ada gerangan apa sampai call sebanyak itu," kata Naura.

"Malas."

"Itu ibu, Lo," peringat Naura.

"Sekarang ibu, Lo, juga," acuh Rahsya mengedikan bahu.

Naura merotasikan bola mata, debat dengan Rahsya takkan menang kecuali berakhir seri.

"Terserah Lo mau gimana tapi kalau ada sesuatu mengejutkan terjadi di sana dan Lo menyesal, jangan nangis di pelukan gue. Lo aja tega cuekin panggilan orang, jadi gue enggak mau tahu," tegas Naura.

Tidak perduli.

Rahsya menggeliat, meletakkan kepalanya di punggung Naura dan kembali rebahan dengan posisi miring.

"Aduh, berat!" rengek Naura susah payah membalik tubuh membiarkan kepala pasangannya numpang di perut.

Naura terengah-engah, menjambak surai pekat Rahsya melampiaskan kekesalan berlipat di hati. "Minggir, gue engap!"

"Lima menit lagi tanggung udah nyaman begini," tolak Rahsya.

"Minggir sebentar baju dalaman gue naik enggak enak dipakai, gue mau benerin dulu!" ujar Naura.

"Gue bantu naikin?" tawar Rahsya.

"Enggak, yang ada nanti Lo modus!"

"It's okay."

"Gue bilang bangun sebentar, seriusan ini enggak nyaman!" mohon Naura.

"Lagian kenapa bisa lepas? Pasti kebesaran ya, jadi enggak muat?" celetuk Rahsya.

Naura menarik sejumput rambut Rahsya sehingga empunya meringis kesakitan.

"Kepala gue bisa copot kalau rambutnya ditarik-tarik, Lo mau punya cowok kepala botak!" gerutu Rahsya mengusap-usap kepala.

"Ngomong sekali lagi, gue sumpal mulut Lo pakai bantal!" ancam Naura.

Rahsya berdecak sebal mengubah rebahan menjadi duduk, kemudian membalik paksa Naura dan menggulung baju tidur bermotif beruang dipakai istrinya sebatas punggung, nekat mengaitkan ***.

"Udah gue atasi ketidaknyamanan Lo," ujar Rahsya.

Speechless sudah dibantu, Naura menenggelamkan wajah merahnya ke bantal.

... Di meja makan, Pak Aksan menyambut hangat pasangan muda.

Naura menunduk malu duduk bersebelahan dengan Rahsya mengingat kejadian pagi soal merapikan sesuatu lepas dalam bajunya.

"Den ganteng, mau dibikinin minum apa?" tanya Bik Inem.

"Kopi espresso aja Bik," pinta Rahsya.

"Baik—"

"Eits! Pagi-pagi minum kopi sebelum makan tidak bagus buat kesehatan lambung. Menantu saya kasih teh manis aja Bik, kalau Naura seperti biasa kasih vanilla drink," potong Pak Aksan.

"Baik Tuan. Permisi," undur Bik Inem.

"Tampaknya ada sesuatu mengganggu pikiranmu, ada apa Naura?" selidik Pak Aksan.

Mendongak gugup, Naura menggeleng dengan senyuman tipis.

Pak Aksan menghargai putrinya menolak bicara, lalu menatap Rahsya yang sibuk mengolesi roti dengan selai anggur.

"Rahsya, saat meninggalkan asrama, ibumu tahu kalau kamu larinya ke rumah saya?" layang Pak Aksan.

"Bunda tahu aku pergi."

"Artinya kamu kabur meninggalkan asrama?" simpul Pak Aksan.

Roti berlapis selai digigit, Rahsya mengangguk sambil mengunyah.

"Malahan ibunya telepon enggak diangkat Pa," adu Naura.

Rahsya menoleh, menyobek roti bekas gigitan dan menyodorkannya ke mulut perempuan baru saja menimpali obrolan, untungnya Naura melahap pemberiannya.

"Mungkin ibumu khawatir ingin tahu kondisimu gimana setelah pergi dari asrama, tidak ada salahnya menerima panggilan," kata Pak Aksan.

Rahsya mengangguk, malas membahas tentang ibunya.

Bik Inem menghampiri, menaruh minuman di hadapan masing-masing dengan selera berbeda.

"Menurutku letak cafe kurang strategis. Area sekolah enggak menjamin banyak pengunjung menikmati kopi, aku enggak memungkiri pasti ada beberapa orang bertamu ke situ sekedar melepas stres, meski begitu aku tetap enggak habis pikir kenapa mendirikan tempat bersantai di lokasi terisolasi?" cakap Rahsya mengkritik.

Naura memegang pergelangan tangan Rahsya, menyeruput teh manis yang hendak diminum oleh pemiliknya.

"Awas panas," ucap Rahsya.

"Benar tanggapanmu. Cafe tanpa nama yang kita bahas semalam itu, sebenarnya belum dibangun dan baru perencanaan saja namun kebetulan karena kamu kesusahan mencari pekerjaan untuk berkarir, saya langsung punya gambaran bahwa kamu bisa berbisnis mengelola cafe impian saya," jelas Pak Aksan.

"Jadi tawaran kemarin cuma omong kosong? Hampir aja aku tertipu," gumam Rahsya.

"Tawaran kemarin memang serius, saya mau kamu mengelola cafe sebaik mungkin. Pemilihan lokasinya tentu saja bukan di sekitar sekolah, berhubung saya sudah menemukan orang yang cocok dijadikan pengurus, siang ini saya akan merealisasikan perencanaan di kantor dengan seorang arsitek," pungkas Pak Aksan.