1 tahun kemudian.
Natasha kebingungan memilah gaun cocok tuk dipakai ke acara pesta perayaan pemotongan tali pita yang diselenggarakan hari ini, bentuk menghargai usaha Pak Aksan menyelesaikan pembangunan Cafe.
"Biar tambah bersinar, kamu cantik mengenakan gaun warna kuning," tunjuk Sangga.
Perempuan berjubah kimono putih menoleh ke samping, tersenyum cerah mendapati suaminya melingkarkan tangan ke perut sambil bertopang dagu di sebelah pundak.
"Tumben gaya bicaranya aku–kamu enggak gue–Lo, lagi?" tanya Natasha.
"Malu diperhatiin Papa masa udah nikah panggil lo–gue kesannya enggak spesial," balas Sangga.
"Terus kenapa pilihkan aku gaun kuning? Enggak warna merah, hijau, biru, cokelat?"
"Terlalu mencolok penampilan kamu bisa mengundang atensi cowok lain nanti aku kerepotan menelan mentah rasa iri pada mata-mata enggak bertanggung jawab itu. Kamu nurut pakai gaun keinginanku biar orang lain enggak silau lihat kamu," jawab Sangga.
"Justru warna kuning menyilaukan mata, matahari memantulkan bias kekuningan maka enggak heran banyak mata silau tersorot sinarnya," jelas Natasha.
"Ya udah ganti pakai gaun hitam," saran Sangga.
"Kok hitam? Gelap dong."
"Ya udah terserah kamu."
"Bantu pilih dari tadi aku bingung mau pakai yang mana," rengek Natasha. "Baju kamu warna apa?" lanjutnya bertanya.
Sangga melirik kemeja dan celana kain dikenakan. "Hitam, hitam."
"Kalau gitu aku ambil gaun putih," putus Natasha.
"Rias wajahnya natural jangan ketebalan kayak adukan semen cap tiga roda soalnya aku enggak mau bawa badut," reques Sangga.
Natasha terkekeh selalu saja ada celetukan Sangga yang mampu mencairkan suasana.
"Tenang aja meskipun tanpa bantuan tukang rias, aku jagonya mempercantik wajah dijamin hasilnya enggak malu-maluin kamu," sahut Natasha.
"Cantiknya harus minimum enggak usah sampe maksimum karena aku mau menikmati pesta dengan tenang," sambung Sangga.
"Iya, sayang."
Sangga menarik Natasha ke pangkuannya, menyambar bibir mungil di depannya sesuka hati.
"Kamu agresif banget berencana makan aku hidup-hidup?"
"Kebetulan perutku laper lihat kamu depan mata, ya udah langsung santap," santai Sangga.
"Ngeselin," Natasha memukul pelan.
"Aku tunggu di meja makan, kamu ganti bajunya agak cepetan kasihan Papa nungguin kita," kata Sangga.
Natasha mengangguk pasrah, bergeser duduk di tempat tidur sembari memungut gaun putih.
Tadi itu ... hampir bersenang-senang.
*
Meja makan kosong penghuni. Sangga mengedikan kedua bahu acuh, tangannya terulur mencuri potongan ayam goreng dan memakannya.
"Den ganteng!" pekik Bik Inem.
Sangga terkejut, ayam goreng di tangannya jatuh.
"Ke–kenapa Bik?" terbata Sangga.
"Kenapa-kenapa! Den ganteng yang kenapa!" marah Bik Inem.
"Aku kenapa apanya?" bingung Sangga.
Bik Inem mengangkat tangan Sangga.
"Tangan Den ganteng berminyak! Gimana kalau kemejanya kena noda, Bibik bisa diomelin Tuan Aksan. Ini gawat, mumpung Tuan asyik baca koran di teras depan, Den ganteng ikut Bibik ke dapur!" panik Bik Inem.
Dituntun menghadap wastafel, Bik Inem menyalakan kran air. Sangga bengong menatap tangannya dicuci bersih pakai sabun.
"Tuan Aksan pencinta kebersihan jangan gara-gara kecerobohan sekecil ini, Den ganteng disemprot pedas dan bernasib malang seperti Bibik," ungkap Bik Inem.
"Dimarahi?" beo Sangga.
"Sering dimarahi. Tuan Aksan mewanti-wanti kepada Bibik mempertahankan ramah lingkungan, bayangin Den, rumah seluas ini harus dipantau kebersihan lantai, toilet, dapur, kitchen set, meja-meja, halaman depan, halaman belakang, rungkad! Sementara mata Bibik cuma dua, Tuan selalu nyuruh Bibik jadi CCTV! Ndak masuk dinalar!" misuh Bik Inem.
"Tanggung jawab Bibik mengurus rumah sangat berat, kenapa Papa enggak nambah art baru untuk meringankan tugas Bibik?" tanya Sangga.
"Itu dia, Den! Calon art nya duluan pada mundur sebelum nyoba kerja di sini, katanya, sistem diterapkan Tuan Aksan mirip kerja rodi!" balas Bik Inem.
"Pekerja rumah ditegasin, apa kabar dengan nasibku menjadi suaminya non cantik?" tawa Sangga.
Bik Inem ketawa. "Mentalnya wajib diasah tiap hari."
Puas menata tampilan, Natasha meninggalkan kamar, membuka pintu rumah dan menemukan Pak Aksan tengah membaca koran di depan teras.
"Bacaannya seru Pa?" basa-basi Natasha.
Fokus Pak Aksan teralihkan, putrinya berjalan mendekat.
"Papa menikmati artikel terkini jadi dapat dibilang seru," kata Pak Aksan.
"Emangnya Papa baca tentang apa?"
"Seputar banjir bandang terjadi di negara tetangga miris sekali baca kelanjutannya, di mana para penduduk terancam punah. Susah payah mereka mendirikan rumah-rumah, mengumpulkan barang-barang berharga, dalam sekejap mereka dipaksa merelakan itu semua karena habis digusur air," cerita Pak Aksan.
Gagasan pokok diucapkan Pak Aksan melemparkan Natasha pada kenangan masa belajar di asrama, di mana Bu Liza meminta semua murid mendefinisikan arti 'bencana', yang dijawab berlomba-lomba oleh dirinya, Kevin, Sangga serta Adara.
'Bencana adalah sesuatu sebab disengaja atau tidak akibat adanya perbuatan campur tangan manusia!'
'Bencana adalah sesuatu hanya Tuhan yang tahu!'
'Bencana masih bisa dipastikan kapan akan terjadinya, setelah manusia melakukan observasi terlebih dahulu menggunakan alat pendeteksi khusus, juga sesuatu sulit dihindari karena bencana merupakan teman setia alam yang mustahil bisa kita cegah terjadinya kalau alam sudah berkehendak."
'Bencana adalah menakutkan!'
Gerangan, apa kabar teman-temannya di sana? Natasha rindu.
"Duduk sini temani Papa diskusi bencana alam," pinta Pak Aksan.
"Bencana disebabkan perbuatan lalai manusia, Pa. Kita enggak bisa menolaknya tetapi masih bisa mencegahnya lantas apa lagi yang mau kita bahas?" senyum Natasha.
Pak Aksan meletakkan koran, beranjak maju mengelus kepala putrinya.
"Kita berangkat sekarang?" tanya Pak Aksan.
"Ayok. Tapi, di mana Sangga? Aku belum ketemu dia setelah selesai dandan. Apa mungkin Sangga makan di dapur? Soalnya di meja makan, aku enggak ada lihat dia."
"Nyari suami?"
Pak Aksan dan Natasha menoleh serentak, mendapati pemuda tampan tersenyum manis.