Kisah belum usai, kini kembali berjalan.
1 tahun kemudian.
Naura kebingungan memilah gaun cocok tuk dipakai ke acara pesta perayaan pemotongan tali pita yang diselenggarakan hari ini, bentuk menghargai usaha Pak Aksan telah menyelesaikan pembangunan Cafe.
"Biar tambah bersinar, kamu cantik mengenakan gaun warna kuning," tunjuk Rahsya.
Perempuan berjubah kimono putih menoleh ke samping, tersenyum kecil mendapati suaminya melingkarkan tangan ke perut sambil bertopang dagu di sebelah pundak.
"Tumben gaya bicaranya aku–kamu, enggak gue–Lo, lagi?" sindir Naura.
"Malu diperhatiin papa, masa udah nikah panggil lo–gue, kesannya enggak spesial," balas Rahsya.
"Gitu. Terus kenapa pilihin aku gaun kuning? Enggak warna merah, hijau, biru, cokelat?"
"Terlalu mencolok, penampilan kamu bisa mengundang atensi cowok lain, nanti aku kerepotan menelan mentah rasa iri pada mata-mata enggak bertanggung jawab itu. Udah, kamu nurut pakai gaun keinginanku biar orang lain enggak silau lihat kamu," gombal Rahsya.
"Justru warna kuning menyilaukan mata, contohnya matahari memantulkan bias kekuningan maka enggak heran banyak mata silau tersorot sinarnya," jelas Naura.
"Ya udah ganti pakai gaun hitam," saran Rahsya.
"Kok hitam? Gelap dong."
"Ya udah terserah kamu."
"Bantuin pilihin, dari tadi aku bingung mau pakai yang mana," rengek Naura. "Baju kamu warna apa?" lanjutnya bertanya.
Rahsya melirik kemeja dan celana kain dikenakan. "Hitam senada hitam."
"Hitam, putih. Berarti aku ambil gaun putih biar kita couple," putus Naura.
"Rias wajahnya cukup natural, jangan ketebalan kayak adukan semen cap tiga roda, soalnya aku enggak mau bawa badut," reques Rahsya.
Naura terkekeh, selalu saja ada celetukan Rahsya yang mampu mencairkan suasana.
"Tenang aja meskipun tanpa bantuan tukang rias, aku jagonya mempercantik wajah dijamin hasilnya enggak malu-maluin kamu," sahut Naura.
"Cantiknya harus minimum enggak usah sampe maksimal supaya aku menikmati pesta dengan tenang," sambung Rahsya.
"Iya, sayang."
Rahsya menarik Naura ke pangkuannya lalu menyambar bibir mungil di depannya sesuka hati.
"Kamu agresif banget sih! Berencana makan aku hidup-hidup, ya?" tuduh Naura.
"Kebetulan perutku lagi laper, lihat kamu depan mata, ya udah langsung santap," santai Rahsya.
"Ngeselin!" Naura memukul pelan.
"Aku tunggu di meja makan, kamu ganti bajunya agak cepetan kasihan Papa nungguin kita kelamaan," kata Rahsya.
Naura mengangguk pasrah, bergeser duduk di tempat tidur sembari memungut gaun putih.
Tadi itu ... hampir bersenang-senang.
...
Meja makan kosong penghuni. Rahsya mengedikan kedua bahu acuh, tangannya terulur mencuri potongan ayam goreng dan memakannya.
"Astaghfirullah, Den ganteng!" pekik Bik Inem.
Rahsya terkejut, ayam goreng di tangannya jatuh.
"Ke–kenapa Bik?" terbata Rahsya.
"Kenapa, kenapa! Den ganteng yang kenapa!" marah Bik Inem.
"Aku kenapa apanya?" bingung Rahsya.
Bik Inem memegang pergelangan tangan Rahsya dan mengangkatnya ke udara.
"Tangan Den ganteng berminyak! Gimana kalau kemejanya kena noda, bisa-bisa Bibik diomelin Tuan Aksan. Ini gawat, mumpung Tuan asyik baca koran di teras depan, Den ganteng ikut Bibik ke dapur!" panik Bik Inem.
Dituntun menghadap wastafel, Bik Inem menyalakan kran air. Rahsya terbengong menatap tangannya dicuci bersih pakai sabun.
"Tuan Aksan pencinta kebersihan, jangan gara-gara kecerobohan sekecil ini, Den ganteng disemprot pedas dan bernasib malang seperti Bibik," ungkap Bik Inem.
"Dimarahi?" beo Rahsya.
"Sering dimarahi. Tuan Aksan mewanti-wanti kepada Bibik mempertahankan ramah lingkungan, bayangin Den, rumah seluas ini harus dipantau kebersihan lantai, toilet, dapur, kitchen set, meja-meja, halaman depan, halaman belakang, rungkad! Sementara mata Bibik cuma dua, Tuan selalu nyuruh Bibik jadi cctv! Ndak masuk dinalar aja!" misuh Bik Inem.
"Tanggung jawab Bibik mengurus rumah sangat berat, kenapa papa enggak nambah art baru untuk meringankan tugas Bibik?" tanya Rahsya.
"Itu dia, Den! Calon art nya duluan pada mundur sebelum nyoba kerja di sini, katanya, sistem diterapkan Tuan Aksan mirip kerja rodi!" balas Bik Inem.
"Pekerja rumah aja dikerasin, apa kabar dengan nasibku menjadi suaminya non cantik?" tawa Rahsya.
Bik Inem ketawa. "Mentalnya wajib diasah tiap hari."
Puas menata tampilan, Naura meninggalkan kamar, membuka pintu rumah menemukan Pak Aksan tengah membaca koran di depan teras.
"Bacaannya seru Pa?" basa-basi Naura.
Fokus Pak Aksan teralihkan, putrinya berjalan mendekat.
"Papa menikmati artikel terkini, jadi dapat dibilang seru," kata Pak Aksan.
"Emangnya Papa baca tentang apa?"
"Seputar banjir bandang terjadi di negara tetangga, miris sekali baca kelanjutannya di mana para penduduk terancam punah. Susah payah mereka mendirikan rumah-rumah, mengumpulkan barang-barang berharga, namun dalam sekejap mata mereka dipaksa merelakan itu semua karena habis digusur air," cerita Pak Aksan.
Gagasan pokok diucapkan Pak Aksan melemparkan Naura pada kenangan masa belajar di asrama, di mana Bu Salma meminta semua murid mendefinisikan arti 'bencana', dan dijawab berlomba-lomba oleh dirinya, Kevin, Rahsya serta Adara.
'Bencana adalah sesuatu sebab disengaja atau tidak akibat adanya perbuatan campur tangan manusia!'
'Bencana adalah sesuatu hanya Tuhan yang tahu!'
'Bencana adalah suatu hal yang masih bisa dipastikan kapan akan terjadinya, setelah manusia melakukan observasi terlebih dahulu menggunakan alat pendeteksi khusus, juga sesuatu sulit dihindari karena bencana merupakan teman setia alam yang mustahil bisa kita cegah terjadinya kalau alam sudah berhendak!'
'Bencana adalah menakutkan!'
Gerangan, apa kabar teman-temannya di sana? Mendadak Naura rindu.
"Duduk sini temani Papa diskusi bencana alam," pinta Pak Aksan.
"Bencana disebabkan perbuatan lalai manusia, Pa. Kita enggak bisa menolaknya tetapi masih bisa mencegahnya lantas apa lagi yang mau kita bahas?" senyum Naura.
Pak Aksan meletakkan koran, beranjak maju memeluk putrinya.
"Kita berangkat sekarang?" tanya Pak Aksan.
"Ayok. Tapi, di mana Rahsya? Aku belum ketemu dia setelah selesai dandan. Apa mungkin Rahsya makan di dapur? Soalnya di meja makan, aku enggak ada lihat dia."
"Nyari suami?"
Pak Aksan dan Naura melerai peluk, menoleh kompak mendapati pemuda 18 tahun tersenyum manis.