Chereads / KEJEBAK CINTA / Chapter 34 - Selalu Mencintaimu

Chapter 34 - Selalu Mencintaimu

"Dokter, pasien megap-megap!" teriak Pak Satpam.

Dokter tergesa-gesa memasuki ruangan, menangani Adara yang belum lama dilaporkan suster sudah sadar.

"Mohon tunggu di luar Pak," ucap Suster menutup rapat pintu.

Kemudian derap langkah terdengar bersahutan menghampiri, Pak Satpam menoleh kaget menyambut Bu Salma menggiring Rahsya dan Naura.

"Adara gimana Pak? Dia baik-baik aja kan? Sekarang kita bisa menemuinya bareng-bareng?" berondong Rahsya.

Pak Satpam meneguk ludah, menggaruk tengkuk mendadak kebingungan.

"Pak, sekarang Adara udah mau ketemu keluarganya?" desak Bu Salma.

"I-itu Bu," ringis Pak Satpam.

Naura mengguncang tangan Pak Satpam, ingin melontar tanya secara baik-baik tetapi malah ditarik mundur oleh Rahsya.

"Ngapain pegang-pegang cowok lain?" bisik Rahsya menegur.

"Pegang bapak-bapak masa enggak boleh? Niatnya juga umum kok, mau nanya kadan Adara bukan mau berbuat aneh-aneh," bantah Naura dengan suara pelan.

"Nurut apa kata suami kalau enggak—"

"Apa?" Naura menyela ancaman.

Rahsya merundukan wajah berbisik berat di telinga kiri Naura. "Dihukum pakai baju dinas setiap malam selama sebulan."

Dasar crocodile penyuka espresso! Naura sontak merinding terbayang langsung bagaimana tiap malam digempur nonstop oleh Rahsya.

Melihat Naura tak berkutik lagi, Rahsya meluruskan pandangan menunggu Pak Satpam angkat bicara.

"Di dalam, dokter dan suster sedang meriksa pasien karena Adara tiba-tiba sesak nafas," cicit Pak Satpam memberitahu.

"Apa!"

Lutut Bu Salma melemas untungnya Rahsya menahan kedua sisi bahunya agar tidak ambruk di lantai.

"Tenang Bu, serahkan semuanya kepada Tuhan. Semoga melalui perantara dokter enggak terjadi sesuatu buruk terhadap Adara," ucap Pak Satpam coba menenangkan.

Rahsya mendudukkan Bu Salma di kursi. Tidak tega membiarkan air mata mertuanya mengalir membasahi pipi, Naura mengeluarkan tisu dari tas selempangnya.

"Kamu capek sini duduk, air mata Bunda biar aku hapus," kata Rahsya mengambil alih sebungkus tisu kering.

Mematuhi perintah, Naura duduk di dekat Rahsya menunggu kabar baru dari dokter.

"Kenapa baru perduli hari ini Mas? Kemarin-kemarin, kamu abaikan isak tangisan dan perasaan terluka Bunda, seharusnya sikap kamu tidak berubah selembut ini memperlakukan Bunda kalau hanya didasari kebencian," ratap Bu Salma.

"Soal itu kita bahas di rumah sekarang fokus utamanya adalah Adara sudah stabil atau belum," lirih Rahsya.

"Adara akan stabil seandainya kamu menuruti apa saran dokter, bukankah selalu Bunda peringatkan padamu bahwa menyayangi kunci kesembuhan dia, namun begitulah kamu. Keras kepala tak mau mendukung perintah Bunda," lanjut Bu Salma menyalahkan.

Rahsya terhenyak, apa kesalahannya sefatal ini mengambil keputusan meninggalkan keluarga sementara waktu?

*

Bongkahan kertas berserakan di lantai kamar. Remaja berkacamata memijat pangkal hidungnya, kewalahan belajar.

"Sekarang hari libur berhenti memaksakan berpikir keras, Gib. Gue khawatir saat semester dua mulai, Lo overdosis duluan sebelum pada waktunya," sindir Dimas.

Gibran melirik ke tempat tidur, tampaknya cowok tak diundang seenak jidat tiduran telentang di atas kasur.

"Akhir-akhir ini Gibran enggak asyik!" seru laki-laki berkaus oblong putih, datang-datang menimpali, ngeloyor masuk ke ruangan pribadi teman rasa saingannya.

Setelah capek keliling asrama pakai sepeda, Kevin menjatuhkan bobot tubuhnya ke tempat tidur ikutan memenuhi kasur dengan Dimas.

"Keringetan Lo, geser dikit!" usir Dimas.

"Gue udah di pinggiran!" ujar Kevin.

"Geser dikit lagi, gue sempit!"

"Mata Lo sempit! Tempat kosong selega itu dianggap kurang, semakin gue geser yang ada ujungnya gue jatuh!"

Gibran memutar bola matanya malas, kehadiran dua makhluk rese mengacaukan suasana belajar sekaligus memberantakan tempat tidur.

"Vin, sejak Rahsya dan Naura putus sekolah, Gibran jadi kurang bertingkah, sekarang lebih sering menyibukkan diri membaca materi pelajaran dan ngumpet di perpustakaan ketimbang main-main sama kita," papar Dimas.

"Padahal gue kangen main basket di lapangan sama anak Gib. Lagian apa untungnya mikirin satu cewek yang udah dimiliki cowok lain," sahut Kevin.

"Dimiliki temen kelas Lo sendiri," koreksi Dimas.

"Gue dan Rahsya enggak ada satu golongan darah jadi tetap aja namanya cowok lain!" ngegas Kevin.

"Ampun suhu," gumam Dimas.

Kevin bangun, beranjak mendekati meja belajar Gibran dan memungut sebuah remasan kertas di lantai.

"Kertas mahal disobek-sobek, Lo nyari rumus apaan Gib sampai-sampai bikin batu sebanyak ini?" tembak Kevin.

"Bikin batu enggak tuh? Ada-ada aja Lo, Vin!" tawa Dimas.

Kevin berbalik badan melempar bongkahan kertas ke arah Dimas, tepat mengenai muka. "Makan, tuh, batu."

"Sialan, Lo," umpat Dimas.

Gibran geleng-geleng kepala, konsentrasinya terpecah berai gara-gara manusia pengganggu.

Puas membuat Dimas kesal hingga mengeluarkan makian, Kevin kembali menghadap Gibran yang anteng duduk di kursi belajar.

"Lo belum jawab pertanyaan pertama gue, Gib. Nyari rumus apaan?" ulang Kevin.

"Mencoba memecahkan satu rumus terdiri dari huruf, angka dan hastag," balas Gibran.

"Coba lihat soalnya," pinta Kevin.

Dimas penasaran ikutan kumpul melihat tulisan tangan Gibran di buku catatan.

(1+L+0+V+3 plus n+@+u+r+4= ...+...)

x/y=?

"Sialan."

Umpat Kevin dan Dimas, bersamaan.