Chereads / KEJEBAK CINTA / Chapter 35 - Selalu Mencintaimu

Chapter 35 - Selalu Mencintaimu

Lengan Naura dicekal Bu Salma.

"Suster bilang sementara waktu, Adara tidak ingin diganggu," cegah Bu Salma.

"Aku enggak bermaksud mengganggu ketenangan istirahat Adara cuma mau lihat gimana kondisinya," sanggah Naura.

"Bertingkah ataupun tidak sama saja kehadiran kamu menganggu suasana hati putri saya," sarkas Bu Salma.

Naura mengerjap kaget tidak menyangka mertuanya akan berkata demikian menyinggung perasaan.

"Pak, jangan loloskan perempuan ini ikut masuk ke dalam ruangan," perintah Bu Salma seraya menghempas kasar.

Naura terhuyung segera ditangkap Pak Satpam. Pintu putih di depan kembali tertutup rapat setelah dokter memberi ijin kepada anggota keluarga Adara untuk menemui, detik itu juga Rahsya tadi lebih dulu menerobos masuk dan kemudian disusul Bu Salma baru saja.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Pak Satpam.

Masih dalam setengah kaget, Naura menegakkan tubuh, menjawab dengan gelengan kepala.

"Kalau enggak salah kamu mantan murid Asrama Nusa Bangsa? Waktu itu yang pernah dibonceng Den Rahsya malam-malam?" tembak Pak Satpam saat mengamati wajah familiar di sampingnya.

"Iya Pak." Naura tersenyum canggung.

"Namanya Naura?" tambah Pak Satpam.

"Kok, Bapak tahu nama aku?"

"Jelas tahu, Den Rahsya sendiri yang ngasih kartu izin bepergian ke saya. Dan baca nama tertera di kartu, namanya Naura Natasha," jelas Pak Satpam.

Senyum Naura sedikit mengembang cukup bangga terhadap Rahsya selama ini tidak malu mengakui dirinya sebagai pasangan sungguhan.

"Saya sudah dengar gosip beredar di Asrama tentang status pacaran kamu dan Den Rahsya sampai kalian berdua nikah diam-diam pun sudah saya ketahui," sambung Pak Satpam.

"Enggak heran anak-anak Asrama memperbincangkan hubunganku dengan Rahsya. Kata guru BK, kasus seperti ini memang langka terjadi bukan? Maka enggak aneh begitu aku putus sekolah, orang-orang gencar bergosip," sahut Naura.

"Kalian berdua sabar saja tidak perlu mendengarkan perkataan orang lain yang sukanya asal menghakimi. Juga, jangan terlalu ambil hati atas perlakuan kasar mertuamu barusan, di sini kita tunggu saja Bu Salma dan, Den Rahsya keluar," hibur Pak Satpam.

"Iya, Pak."

Berat hati Naura duduk di tempat semula, menunggu suaminya keluar membawa suatu kabar.

...

Rahsya menghembus nafas, tertular sedih melihat perempuan bertubuh kurus terbaring lemah di atas brankar.

"Adara ... aku pulang," sendu Rahsya membungkuk badan mengecup lama kening saudarinya.

Merasakan kehangatan menyentuh dahi, Adara meredam tangis sudah lama merindukan momen dekat begini.

Bu Salma tersenyum perih menyembunyikan goresan luka di sanubari, menyaksikan kebahagiaan putrinya memeluk erat sosok Rahsya.

"Aku kangen," ungkap Adara mulai terisak.

Rahsya tidak membalas ucapan rindu menyiksa perasaan adiknya, kenyataan ini sangat pahit membuatnya terisak pelan.

"Kamu pergi ninggalin rumah tanpa bilang ke aku, kenapa semudah itu ambil keputusan putus sekolah? Apakah di hidupmu, aku adalah beban yang harus dibuang agar langkahmu ringan? Tahukah kamu betapa aku menyayangimu, aku tulus memperlakukanmu sepenuh hati, aku rela melawan siapapun yang coba merusak hubungan kita, aku selalu ada buat kamu tapi kenapa disaat aku membutuhkanmu, kamu enggak ada untukku? Dan malah memilih cewek lain belum lama kamu kenal?" luap Adara mengutarakan kesakitan mengganjal di hati.

"Maaf," sesal Rahsya.

"Aku selalu maafin kamu karena kasih sayangku enggak terbatas. Please habis ini jangan ninggalin aku lagi," tersedu Adara.

Rahsya menarik diri mengusap lelehan air mata, ini tidak lucu menangis di depan perempuan bahkan Naura notabene istrinya belum ditangisi sedalam ini.

Ah, nyaris melupakan seseorang. Rahsya mengedarkan pandangan mencari Naura.

"Bun, di mana Naura?" tanya Rahsya.

Bu Salma mengkode dengan gelenan kepala agar putranya mengesampingkan Naura beberapa jam kedepan. "Perhatikan Adara," ucapnya.

"Enggak bisa Bun, aku—"

"Bukannya kamu mengkhawatirkan Adara? Kita lama terpisah seenggaknya mulai sekarang kamu banyak menghabiskan waktu bersama Adara dan Bunda," tegas Bu Salma memotong cepat bantahan anaknya.

Rahsya terbungkam, menangkap sinyal permohonan bundanya sudah lelah menghadapi Adara.

"Aku enggak sudi ketemu Naura. Dia orang jahat enggak punya perasaan!" ujar Adara.

"Lihat Mas, masih mau protes menolak permintaan Bunda?" sedih Bu Salma menunjuk putrinya dengan dagu.

"Dari pagi, Adara Lathesia belum makan, dokter menyarankan Bunda untuk membujuk Adara agar mau mengisi perut. Mas, jika tidak keberatan tolong suapi Adara makan bubur, ini demi kesembuhan Adara," mohon Bu Salma.

"Aku mau makan kalau buburnya hasil beli Mas Rahsya," syarat Adara.

Mematung. Rahsya terguncang bimbang, apakah Naura mengizinkannya menyuapi Adara?

...

"Gimana perkembangan Adara?" tanya Naura.

Rahsya menarik kepala Naura dan mendaratkan kecupan di kening.

"Cukup baik. Kita pulang sekarang? Aku capek pengen tidur di pelukan kamu."

Pak Satpam berpaling muka, malu sendiri menonton adegan pasutri muda.

"Tapi aku belum ketemu Adara, ijinkan aku sebentar masuk, ya?" mohon Naura menatap harap.

"Nengok nya cancel jadi esok pagi sambil bawa oleh-oleh buat Adara. Gibran, Kevin, Kinan, juga belum pada tahu kalau temennya dirawat di sini, tadi aku udah kirim pesan via WhatsApp ke nomor Dimas supaya mampir ke sini gantiin aku jaga Adara," jelas Rahsya.

"Berarti saya udah dibolehin pulang, Den?" timpal Pak Satpam.

"Bapak kembali pulang jaga gerbang asrama, terimakasih udah nolongin kesusahan keluarga saya. Oh, ya, sedikit berbagi informasi kapan-kapan kalau Bapak penasaran mau jenguk Adara, kamarnya udah enggak di UGD lagi, kata bunda bakal dipindah ke ruang inap lantai dua," tutur Rahsya.

"Siap, Den," angguk Pak Satpam.

"Kalau kita pulang terus Bunda gimana? Masa, kita tega ninggalin beliau di sini nungguin Adara sendirian? Kalau Bunda butuh keperluan apa-apa buat Adara, siapa yang akan dimintai bantuan?" khawatir Naura.

"Dimas ke sini gantiin tugasku sampai magrib, jadi Bunda enggak sendirian nungguin Adara," balas Rahsya.

"Gitu ya," gumam Naura.

"Pak, ke parkirannya kita bareng," ajak Rahsya.

"Ayok, Den."

...

Suasana Cafe bertambah ramai, didominasi orang-orang kenalan Pak Aksan. Rahsya memijit pelipis, pertemuannya dengan Adara malah memusingkan kepala.

"Kamu duluan masuk laporan ke papa kalau kita selesai jenguk Adara di rumah sakit. Dan, ini ... aku titip handphone," kata Rahsya sembari mengulurkan ponsel.

Naura mengantongi ponsel ke tas selempang kecilnya. "Di rumah sakit ngajak pulang alasannya pengen bobo, sekarang ngantuknya ilang? Kamu mau ke mana lagi?"

Rahsya membuka kuncian helm pada Naura dan menyerahkannya agar di bawa. "Nyari udara segar," bohongnya.

"Balik lagi ke sini," pesan Naura.

"Iya."

Sebelum pergi ke suatu tempat, Rahsya mengelus pipi Naura.

"Eh, handphone nya enggak di bawa seandainya ada apa-apa gimana cara aku hubungin kamu? Bawa aja nih," ucap Naura berubah pikiran.

"Perginya enggak akan lama," jawab Rahsya lalu menancap gas motor.

*

Rahsya melepas helm dan menaruhnya di stang motor.

"Bang, pesan bubur ayam dua kap, bumbunya dipisah, cepetan enggak pake lama," suruh Rahsya.

"Sepuluh ribu per porsi," obral pedagang bubur di pinggir jalan raya.

"Dua puluh ribu per mangkuk juga gue beli, cepetan!" ujar Rahsya.

"Deal, dua puluh ribu, total empat puluh ribu."

"Terserah."

Kurang lebih lima menit, bubur pesanan terkemas rapi. Rahsya menerima plastik dan membayar cash senilai harga biasa dijajakan pedagang.

"Kurang dua puluh ribu, Mas, sini tambahannya," protes tukang bubur.

"Harga umumnya segitu'kan?" tanya Rahsya.

"Barusan Mas udah deal empat puluh ribu."

"Gue bercanda." lantas Rahsya menaiki kendaraan roda duanya.

"Makasih atas pelayanannya Bang!" seru Rahsya sambil melesat kabur.

Abang pedagang kaki lima berdecak sebal, berhasil dikibuli.