"Pada kesempatan hari ini, terimakasih kepada Bapak terhormat Aksan yang telah menunjuk saya sebagai panitia pembawa acara pesta pemotongan tali pita. Pertama-tama, mari kita panjatkan puji—syukur atas kehadirat Tuhan pencipta alam semesta yang memberikan nikmat tiada tara kepada kami semua berupa kesehatan sehingga kita dapat berkumpul di bawah langit kota Jakarta!" Panitia mengucap pembukaan.
"Selanjutnya para hadirin tamu undangan, dimohon perhatiannya! Langsung saja kita persilakan waktu dan tempat kepada Bapak Aksan menaiki panggung untuk peresmian SARASA COFFE!" seru panitia.
Pak Aksan maju mendekat, menerima sebuah mic disodorkan panitia lalu naik ke atas panggung di tengah-tengah pekarangan Cafe.
"Terimakasih kepada teman-teman yang saya hormati dan sayangi sudah memenuhi permintaan kami untuk bersama-sama memeriahkan pesta. Seperti kita lihat, cafe di seberang sana akan dikelola oleh menantu saya bernama Sangga Rahsya," jelas Pak Aksan.
Pandangan tamu tersita ke arah pemuda berpakaian formal, menggandeng perempuan cantik bergaun putih meniti undakan anak tangga dan berhenti di teras cafe, menghadap garis tali pita.
"Silakan Den." Pelayan berbaju formal mengangkat nampan berlapis kain putih.
Rahsya berbisik di telinga kanan Naura. "Kita potong sama-sama."
Naura mengangguk senyum, mengambil gunting berhias pita dan mengarahkannya ke objek hendak di putus. Rahsya memegang punggung tangan Naura, menunggu hitungan mundur diserukan Pak Aksan.
"Hitung mundur tiga sampai satu!" komando panitia.
"Tiga!" mulai Pak Aksan.
"Dua!" hitung hadirin.
"Satuuu!"
Huff!
Pemutusan tali berjalan lancar. Tiupan terompet, hamburan kelopak bunga mawar serta pelepasan puluhan balon mewarnai.
"Sarasa Coffe resmi dibuka!" lantang Pak Aksan.
"Musik!" teriak Panitia memberi kode.
Juru pemilih musik mengotak-atik keyboard laptop dan memutar instrumen "Groove—Drew Banga", alunan santai keras mendengung berasal dari dua biji sound, menemani semua orang menyerbu hidangan manis.
"Mau dansa?" tawar Rahsya mengulurkan telapak tangan.
Senyum Naura mengembang lebar, menggenggam tangan Rahsya dengan satu tangannya tersimpan di pundak.
Rahsya meraih pinggang Naura, bergerak pelan mengikuti irama musik.
"Jangan kalah romantis dengan pasangan muda di ujung situ, mari ikut berdansa!" intrufsi Pak Aksan semakin girang menikmati pesta.
Ajakan berbuah manis, orang-orang di bawah panggung gegas berhamburan mencari teman dansa. Pak Aksan tersenyum bangga menyaksikan kebahagiaan di depan mata.
"Berputar," bisik Rahsya.
Laksana penari handal, Naura berputar tanpa melepas tautan jemari, menarik tubuh ke belakang kemudian menabrak dada bidang Rahsya dengan sepasang tangan mengalung ke leher.
"I love you," lirih Naura.
"Love you too," balas Rahsya.
Tatapan keduanya terkunci, Rahsya melirik sekitaran lalu mencium terang-terangan bibir Naura.
*
"Buruan Pak, tolong putri saya!" panik Bu Salma.
Pak Satpam mengecek denyut nadi pergelangan tangan perempuan bersimbah darah.
"Nadinya lemah, saya usul lebih baik dibawa ke rumah sakit terdekat aja Bu, agar pasien menerima pertolongan tepat!" usul Pak Satpam.
"Asrama memiliki tenaga medis, ke mana dokter Aga serta rekan-rekannya?" marah Bu Salma.
"Dokter Aga dapat panggilan ke rumah sakit biasa beliau tugas, Bu. Rekan-rekannya pada pergi liburan menikmati waktu cuti sebelum minggu depan asrama kembali di buka melanjutkan kegiatan belajar semester dua," jelas Pak Satpam.
Bu Salma mengerang frustasi, menatap khawatir putri kesayangannya ditemukan tergeletak pingsan di lantai kamar mandi dengan darah segar mengalir berasal dari bekas sayatan.
"Gendong putri saya, kita larikan Adara ke rumah sakit!"
...
Sekitar satu jam menunggu, Bu Salma dan Pak Satpam bangkit dari kursi besi tersedia depan ruang rawat pasien, ketika dokter pria yang menangani Adara membuka pintu.
"Dokter, bagaimana kadan putri saya?" tanya Bu Salma.
"Bisa kita bicarakan di ruang tertutup? Saya ingin memberitahukan kondisi sesungguhnya putri ibu."
"Jika saya tinggal, bagaimana dengan Adara? Bukankah, pasien harus selalu berada dalam pantauan tim medis selama dua puluh empat jam?" ragu Bu Salma.
"Ada partner saya jaga di ruangan mengawasi perkembangan pasien."
Melalui pintu berkaca bening, Bu Salma mengintip ruang rawat putrinya, tampak seorang wanita berseragam putih sedang mengecek alat pembaca detak jantung pasien.
"Ibu pergi saja saya pastikan Adara aman," ucap Pak Satpam.
"Terjadi apa-apa sama Adara cepat panggil saya," pesan Bu Salma.
"Baik, Bu."
Akhirnya Bu Salma dan dokter meninggalkan unit gawat darurat, berpindah menuju gedung utama rumah sakit Sinar Abadi, di mana ruang privat terletak di sana.
"Tidak perlu sembunyi sejauh ini, Dokter bisa mengatakan banyak hal di sana secara langsung pada saya," sindir Bu Salma.
Dokter mempersilakan Bu Salma duduk lalu mengeluarkan note kecil dan sebuah pena dari laci meja.
"Profesi saya dan Ibu jelas berbeda. Kita sama-sama memegang kode etik, setiap individu diwajibkan menjaga privasi antar sesama. Saya menghormati pasien, tidak mungkin asal memberitahukan kadannya kesembarang orang dan di sembarang tempat sekalipun keluarganya meminta di ruang terbuka," balas dokter.
Bu Salma membuang kegusaran dan berkata, "Saya mau tahu gimana kondisi Adara."
"Tahan pada penjelasan, ada beberapa pertanyaan ingin saya ketahui jawabannya dari Ibu. Sebelumnya, apa Adara pernah memeriksakan diri ke rumah sakit?"
"Belum pernah, tapi menemui seorang psikiater sudah satu kali, itupun waktu Adara kelas sepuluh," jawab Bu Salma.
"Adara mengkonsumsi obat anti depresan?"
"Saya tidak menyukai topik ini! Katakan, seperti apa kondisi Adara?" geram Bu Salma.
"Baik, simak penjelasannya. Menurut hasil pemeriksaan Adara mengidap penyakit hipertensi tahap dua. Obat anti depresan disebutkan saya adalah pereda syaraf tegang otak saat pikiran pasien tertekan. Pemicu hilangnya keseimbangan pola makan dan gaya hidup sehat menyebabkan pasien mengalami penurunan berat badan drastis. Bila dibiarkan terus-menerus terjebak dalam beban pikirannya, besar kemungkinan penyakit jantung, ginjal, dan kelumpuhan total bisa menyerang pasien."
"Hipertensi, penyakit mematikan urutan kesekian setelah kanker, tidak sedikit para pengidap hipertensi di usia tua atau muda, mereka berujung merenggang nyawa akibat menyepelekan pantangan sudah diketahui. Ibu menginginkan kesembuhan bagi Adara? Perhatikan asupan gizinya, pola makannya teratur, suasana hatinya terjaga bagus, mulai hentikan menyantap sajian berlemak dan perbanyak minum air putih."
"Dehidrasi dialami Adara menguras semua cairan dalam tubuhnya, terlebih sayatan cutter di lengannya membuat kondisinya semakin lemah, jika Ibu berkenan, lain waktu sering-seringlah membawanya kepada psikiater lagi untuk cek–up," demikian penjelasan dokter.
Naluri seorang ibu tak pernah menyalahi, kepergian Rahsya meninggalkan kediaman menorehkan luka bagi Adara.
"Apakah putri saya dianjurkan rawat jalan di sini, Dok?" tercekat Bu Salma.
"Dua sampai tiga hari sebaiknya kami rawat dulu putri Ibu, setelah kondisinya stabil saya sarankan pasien rawat jalan di rumah."
"Baik terimakasih," tutup Bu Salma beranjak lunglai keluar ruangan.
...
"Surat pengunduran Rahsya dan Naura ...."
"Jangan baca Adara!" bunda merebut selembar kertas.
"Itu bo'ong, Bun? Mereka enggak ninggalin aku? Naura enggak putus sekolah demi mas Rahsya? Beri aku jawaban memuaskan atas keterangan sudah kubaca, sanggah asumsi buruk bermunculan dibenakku kalau mas Rahsya ada di sini, bersama kita!"
Air mata bunda merebak merespon kegelisahan, mendapat reaksi termangu, Adara menggeleng keras.
"Kenapa Bunda membiarkan mas Rahsya pergi ninggalin aku! Kenapa tidak dicegah? Kenapa Naura dibiarkan ikut ke mana mas Rahsya pergi! Bunda enggak sayang aku! Bunda tega membiarkan sumber kebahagiaanku dicuri cewek lain!" teriak Adara.
"Bunda berusaha menahan kepergian mas Rahsya, tetapi dia ngotot! Bunda mesti gimana lagi menggenggam Rahsya untuk bertahan di rumah ini? Bunda stres memikirkan hubungan diantara kalian berdua, kamu itu adiknya Rahsya, tidak sepantasnya menyukai berlebihan! Kapan kamu mengerti arti adik dan kakak!" isak bundanya.
"Bunda sama aja kayak semua orang yang aku temui, mengira aku sakit jiwa!" pekik Adara, mendorong tanpa segan bundanya hingga tersungkur.
Adara melesat lari mendobrak pintu kamar saudaranya lalu tercengang tidak mendapati Rahsya.
Air mata Adara mencuat netes. Panik mengecek kolong ranjang, menyibak tirai kaca, membuka jendela berpintu dua, mencari di kamar mandi, kosong.
"Enggak mungkin, enggak mungkin aku ditinggal pergi!" histeris Adara.
Mengedarkan pandangan mencari tempat belum di cek. Lemari pakaian. Adara menarik kasar gagang pintunya, menelan ludah semakin panik melihat susunan baju Rahsya berantakan.
"Ini enggak mungkin!"
Adara mengeluarkan semua pakaian milik saudaranya dan menemukan kotak beludru merah tersembunyi di sudut lemari.
Tangan gemetar Adara mengambil benda merah mungil tersebut, membukanya dan mendapati cincin polos bermaterial emas.
"Cincin untuk siapa? Kenapa mas Rahsya enggak bilang-bilang punya simpanan benda cantik ini?" lirih Adara.
Semenjak hari itu, Adara mengunci mulut enggan berinteraksi dengan siapapun.
'Milik siapa?'
'Untuk siapa?'
'Kenapa aku enggak dikasih tahu?'
'Apa mungkin mas Rahsya diam-diam menaruh perasaan sama Naura?'
''Lalu nasibku gimana?'
Kalut.
Perempuan berwajah pucat baru saja sadar, menangis tak bersuara, menatap sendu langit-langit bernuansa serba putih.