Jam 22:30. Malam.
Rahsya mencabut kunci motor usai memarkirkan kendaraan roda dua kesayangannya, menunduk silau ketika tersorot cahaya putih berasal dari sebuah mobil yang mendekat dan berhenti di pekarangan rumah.
Pengemudi mobil berwarna silver turun, menghampiri remaja di seberangnya.
"Ada kepentingan apa malam-malam mampir ke rumah saya?" tanya Pak Aksan.
Mengenali bariton menyapanya, Rahsya membalik tubuh meraih tangan mertuanya dan mengecup sopan.
"Sangga Rahsya? Ini kamu ngapain malam-malam keliaran datang ke sini, bukannya menginap di asrama?" terkejut Pak Aksan.
Dengan santai Rahsya melepas tangan Pak Aksan, lalu mengantungi sepasang tangannya ke saku celana. "Aku meninggalkan asrama sambil membawa pulang Naura. Ceritanya panjang Pak enggak akan selesai di bahas di luar, jadi sebaiknya kita masuk ke dalam dan menceritakan semuanya."
Pak Aksan menerima ajakan menantu bocahnya bersama-sama memasuki rumah, seperti biasa Bik Inem membukakan pintu setelah kepala pemimpin kediaman menekan tombol bel.
"Selamat malam Tuan," sambut Bik Inem.
"Malam."
"Naura mana Bik?" tanya Rahsya mengedarkan mata mencari keberadaan perempuan cantik pengusik hatinya.
"Non cantik udah tidur di kamar, Den," jawab Bik Inem.
"Sebelum tidur Naura sudah makan?" tambah Pak Aksan.
"Sudah Tuan."
Pintu kembali ditutup, Bik Inem tergopoh-gopoh menyusul Pak Aksan sekadar mengambil alih tas kerja.
"Taruh di ruang kerja saja Bik," titah Pak Aksan.
"Baik, Tuan."
Rahsya mengekor di belakang Pak Aksan, mengambil tempat duduk di kursi kosong menghadap meja makan.
"Barusan habis dari mana?" tanya Pak Aksan setelah memposisikan duduk berlawanan dengan remaja di depannya.
"Nyari job sekitar sini. Aku berencana membahagiakan Naura dengan cara kerja keras, menghidupi Naura lebih tepatnya," jelas Rahsya.
Pak Aksan tersenyum sarat makna, membalik gelas tersedia di atas meja dan mengisinya penuh air putih.
"Bagaimana hasilnya sudah dapat kerjaan?" tanya Pak Aksan.
Rahsya menyandarkan punggung, menggeleng samar merespon keingintahuan mertuanya.
"Jika benar-benar ingin bekerja, Papa bisa bantu kamu mendapat kerjaan, cukup menjadi barista cafe, di sekolah Graha, tertarik?" cetus Pak Aksan.
"Kalau enggak salah kerjaan seorang barista menyeduh kopi?" gumam Rahsya.
"Tepat. Kerjaannya sangat mudah menyajikan kopi untuk para tamu, plus mengurus kebersihan cafe. Dapat dikatakan nanti tugas kamu bertanggung jawab mengelola cafe tersebut," jelas Pak Aksan.
"Lalu benarnya yang mana, cuma jadi barista atau pengelola cafe?" lontar Rahsya.
"Semuanya di tangani kamu."
"Aku penasaran dengan pemilik cafe itu, sepertinya Papa error' memberi info lowongan pekerjaan padaku. Sebutuh-butuhnya pemilik cafe mencari pegawai, enggak mungkin menempatkan bawahannya pada semua bidang? Mataku memang mengantuk, tapi pemahamanku mencerna perkataan masih bagus patut diacungi jempol," ujar Rahsya meragukan bualan pria gagah di hadapannya.
Lelah Pak Aksan seketika hilang terhapus oleh tawa membahana. "Baik lah, sepertinya menipu pemuda pintar sepertimu akan sia-sia. Sebenarnya, pemilik cafe di sana adalah saya," ungkapnya saat reda ketawa.
Rahsya tersenyum miring, dugaannya akurat. "So, kapan aku mulai bekerja di tempat Papa?" lanjutnya the point.
"Besok juga tidak masalah."
Obrolan seputar pekerjaan berlalu, Pak Aksan meneguk tandas air putih, tenggorokan keringnya lega terbasahi.
"Usahaku bertahan tinggal di asrama enggak kuat lama. Aku tahu, keputusanku memutus pendidikan merugikan pihak Naura, tetapi akan percuma juga seandainya kita berdua terus sekolah di sana sambil merahasiakan pernikahan. Kurasa, tanpa berputar-putar menceritakan apa yang terjadi menimpa kehidupanku dan Naura hingga berujung keluar sekolah, Papa udah mengerti gimana rumitnya masa SMA, aku sama Naura," singkat Rahsya mengganti topik pembicaraan.
"Masih ingat kah, perjanjian awal sempat kita ucapkan? Jika kamu tidak sanggup memberi kebahagiaan kepada putri saya, balasannya perpisahan ke luar negeri. Saya tidak main-main membawa Naura pergi dan menyekolahkannya di sana," sambung Pak Aksan.
Ah, perbincangan sebelum ijab qobul. Rahsya makin bersalah sudah gagal membahagiakan Naura.
"Aku ingat. Papa boleh memutuskan apapun atas hidup Naura demi kebaikannya, dari awal berjumpa, aku sadar bukan siapa-siapanya Naura, kita terikat hanya karena kesalah pahaman, itu yang kutahu. Selebihnya, aku minta maaf udah merepotkan Papa dan Naura," lirih Rahsya diam-diam menyisakan ruang kosong dalam hati berjaga-jaga satu waktu kekecewaan menyambar hidup. Dan kini, mungkin saatnya.
"Kamu siap kehilangan Naura?" senyum Pak Aksan.
"Ditanya siap jawabannya tentu aja enggak, karena aku sangat menyayanginya, kalau keadaan memaksaku melepas Naura, aku bisa apa?" jawab Rahsya, ketakutannya dibenci oleh Naura menghantui benak mampu membuka mindset cara berpikirnya mendadak bijak.
"Saya sudah menitipkan Naura padamu, jagalah dia sebaik mungkin," tegas Pak Aksan.
Memahami permintaan tak terbantahkan Pak Aksan, senyum lebar Rahsya terbit, jantung bertalunya normal kembali setelah pernikahannya mantap direstui.
"Pergilah tidur, saya tahu kamu kangen Naura," usir Pak Aksan menyelipkan godaan halus.
Rahsya tertawa serak, mengangguk pamit beranjak menuju kamar. Pemandangan pertama dilihat mata sayunya adalah Naura ketiduran sambil duduk di lantai dengan punggung sandaran di pinggir ranjang.
Perlahan Rahsya mendekat mengangkat Naura pindah ke tempat tidur, sialnya hendak bangkit menjauh, pandangannya justru terpaku pada jenjang leher.
'Sorry.'
Tanggung posisi sudah menguntungkan engan dirubah, Rahsya menyesap lembut leher putih Naura.
Perempuan tengah dikurung melenguh samar, Rahsya mencari tangan Naura lalu menahannya di samping kepala.
Naura terjaga setengah sadar, mendorong bahu Rahsya dengan satu tangannya agar menjauh berhenti mengganggu tidur.
"Gue ngantuk."
"Diam," bisik Rahsya terpaksa menindih Naura.