Terbayang wajah sendu Naura, tiba-tiba Gibran berhenti menggedor daun pintu.
"Ini salah," lirih Gibran perlahan mundur.
Kinan menoleh. "Lo kenapa, Gib?"
Gibran diam seribu bahasa, berlari menjauh membawa perasaan tak menentu. Kinan gegas mengejar, terkesiap dikagetkan seruan tinggi suara Kevin. "Mau ke mana, Gib!"
Tidak digubris.
Kevin nengok ke arah Kinan tampak berusaha mencegah kepergian Gibran yang mendadak mematung.
"Ada apa dengan Gibran? Kenapa tuh, anak, ngeloyor pergi?" tanya Kevin.
"Gue enggak tahu Gibran kenapa," jawab Kinan seadanya, lantas menyambung pengejaran sempat terjeda.
"Ada yang enggak beres. Bu, kami pamit dulu!" ucap Kevin beranjak kabur menyusul teman-temannya meninggalkan kediaman gurunya.
Di tengah jalan Asrama, Kinan meraih lengan Gibran dan membalik paksa tubuh lawan bicaranya yang berhasil membuatnya bingung.
"Lo kenapa main pergi? Kita belum tahu kondisi Adara gimana!" sentak Kinan.
"Mengkhawatir orang egois seperti Adara enggak ada gunanya bagi gue. Apa Lo ingat, berkat Adara menjebak Rahsya dan Naura, mereka berdua jadi nikah. Adara melakukan itu dengan perencanaan disengaja lantas untuk apa kita repot-repot memperdulikannya? Dia terluka karena ulahnya sendiri, andai Adara enggak melakukan hal bodoh semacam itu kepada Naura, perasaan sakit hati enggak mungkin dia dapat!" ujar Gibran.
"Ini alasan Lo memilih pergi karena Naura korban penjebakan Adara. Lo belum bisa memaafkan kesalahan Adara? Jawab gue, Lo suka, kan, sama Naura?" tebak Kinan menangkap kemarahan terpancar jelas dari tingkah laku orang sedang diam-diam diperhatikannya.
"Iya. Gue sadar menyukai Naura," desis Gibran seraya menepis pelan cekalan tangan Kinan pada lengannya.
Kevin berada lima langkah di belakang Kinan dan Gibran, menyaksikan dalam keheningan interaksi serius keduanya, pendengarannya tidak mungkin salah menyimak pengakuan Gibran menaruh perasaan lebih kepada Naura.
Sadar tengah diperhatikan, Gibran meluruskan pandangan, membalas tajam tatapan Kevin.
*
"Gue salut atas kenekatan Lo memilih kabur dari asrama. Lo tahu? Gibran, Kevin, Kinan dan penghuni kelas lainnya sukses dibikin repot mencari jawaban mengenai kepergian Lo sama Naura," kata seseorang yang baru saja datang.
Espresso kaleng tak sampai diteguk habis, Rahsya mengulurkan tangan menawarkan minum kepada Dimas.
"Thanks."
"Gue enggak perduli kecemasan mereka," gumam Rahsya.
"Lalu, apa kepentingan Lo ngajak gue ketemu di taman Asteena?" tembak Dimas.
"Menjadikan Lo wadah penampungan curhat gue," jawab Rahsya.
Dimas menandas habis kopi dingin, kemudian duduk menyilang kaki di hamparan rerumputan kecil samping Rahsya.
"Tentang gadis cantik iseng Lo tantangin? Gimana perkembangannya, apa Naura kalah dalam permainan atau kalian game over?" terka Dimas.
Rahsya mendongak, menatap langit cerah berawan. "Gue kejebak cinta Naura," akunya.
Dimas tergelak tawa. "Rencana taklukkan anak baru kurang lebih satu bulan gagal total? Iseng Lo balik lagi ke diri sendiri. Rasain, senjata makan tuan. Lo tenggelam dalam pesona gadis itu, padahal gue ngiranya Naura duluan jatuh hati sama Lo!"
"Kalau gue berterus-terang sama Naura, setelah itu apa dia akan membenci gue?" monolog Rahsya.
Tawa Dimas memudar, turut berpikir menerka reaksi seperti apa kalau Naura diberi kejutan semengecewakan ini oleh Rahsya.
"Pernikahan ini harusnya enggak terjadi karena sejak awal niat gue sebatas iseng agar Naura baper, tapi semesta enggak tanggung-tanggung bikin gue kejebak beneran. Saat di panggil ke ruang BK, gue ingin mengungkapkannya sama dia bahwa melalui cara itu gue sedang menjahilinya, tapi enggak tahu kenapa, lidah gue kaku beku enggak mampu mengucapkannya, gue menolak siap membongkar semuanya di hadapan Naura. Sesudah gue nikahin dia, perasaan gue makin tumbuh menyayanginya, namun disamping kemenangan gue rasakan, ada setumpuk penyesalan membukit dihati, gue menyesal mendapatkan Naura dengan cara berbohong," cerita Rahsya.
"Sejauh ini, apa Naura udah balik suka sama Lo?" penasaran Dimas.
"Dia bilang belum, mengingat hubungan yang menjerat kita atas kesalahpahaman. Waktu Naura ngomong gitu, dada gue nyesek, gue akui enggak ada salahnya Naura merasakan hal biasa cuma jadi masalahnya perasaan gue kena efeknya perkataan dia hingga detik ini buat coba ungkapin segalanya ke dia, gue selalu berpikir lagi takut akhirnya dibenci Naura," sahut Rahsya.
"Kalau gitu ceritanya mending Lo cari waktu tepat buat jelasin baik-baik ke Naura, buat Naura mengerti alasan Lo menjahilinya segila ini, kalau Naura merespon dengan amukan, Lo terima aja konsekuensinya," saran Dimas.
"Maksud Lo giliran gue mengalah? Digebukin pakai sapu ijuk, pun, gue harus pasrah? Gue wajib terima perlakuan kasar Naura?" sinis Rahsya tidak terima.
"Mau gimana lagi? Satu-satunya cara terbaik Lo mengakui kesalahan dan rela menerima hukuman dari buah perbuatan," nasehat Dimas.
*
Kenyang menceritakan Rahsya kepada Bi Inem, kini Naura kembali ke kamar dan tak sengaja menginjak sweater tergeletak di lantai.
"Ups." Naura mengangkat sebelah kaki, memungut sweater abu.
"Rahsya ceroboh banget asal naruh sembarangan, enggak tahu apa, fungsi lantai diinjak-injak gimana kalau debunya nempel badan terus gatal-gatal? Masuk rumah sakit gegara debu?" dumel Naura sembari melipat sweater.
Dahi Naura mengkerut tipis begitu suatu benda bergesekan dengan lengannya.
"Rahsya bawa apa? Keras banget," gumam Naura.
Dipimpin rasa penasaran, Naura duduk di tepi tempat tidur dan merogoh saku sweater suaminya.
"Lupa atau gimana, Rahsya bepergian ninggalin handphone," lanjut Naura menekan tombol nyala.
Gambar Rahsya terpampang manis di layar, Naura tercengang melihat lima puluh panggilan dari Bu Salma serta dari sebuah nomor tak dikenal masuk terabaikan.
Ingin coba call ulang sayangnya ponsel dikunci sandi. Naura mendesah pelan, solusi mengetahui kabar di sana harus menunggu kepulangan Rahsya.