Chereads / KEJEBAK CINTA / Chapter 25 - Meninggalkan Asrama

Chapter 25 - Meninggalkan Asrama

Selesai menulis surat pengunduran diri atas namanya dan Natasha. Sangga menyelundupkan amplop putih di tangannya ke celah pintu bawah ruangan kepsek, beres menuntaskan langkah pertama, Sangga menutup kepala dengan tudung sweater, kembali menelusuri lorong sepi menuju gedung kesehatan.

Pukul 00:00 malam, cocok digunakan tidur, tetapi lain dengan remaja nekad kabur itu. Kesunyian malam dijadikan waktu tepat merampok obat-obatan.

Pintu depan digembok, Sangga meraba-raba kaca jendela terpasang di ruang kesehatan dan mendapati jendela paling tengah longgar kurang terkunci.

Disungkalnya sisi jendela menggunakan kunci lemari perlahan tapi pasti terbuka. Sangga memaksa naik menghiraukan anggota tubuhnya lecet ketika mendarat di lantai.

Cahaya temaram di seluruh ruangan membuatnya menelan ludah sejenak.

'Gue enggak boleh takut, apapun di depan sana terobos!' batin Sangga memaksa bangkit nyali sempat menciut.

Berbekal keberanian, Sangga merogoh ponsel menyalakan lampu senter dan mulai berkeliaran mencari obat serbuk, pil ngantuk, cairan bius dan suntikan. Semua perlengkapannya dicari di deretan lemari.

15 menit, Sangga menyelesaikan misinya dan meninggalkan gedung dengan jendela tertutup sedia kala.

Alasan Sangga nekat membobol gedung kesehatan untuk mencampurkan obat tidur ke cangkir berisi kopi milik Pak Satpam yang berjaga depan gerbang Asrama.

Menghalangi acara kabur.

Persembunyian Sangga di bawah kolong pos tak diketahui penjaga gerbang ketika bapak bertopi biru itu kehausan meneguk kopi.

Kaki Pak Satpam nampak bergetar goyah, obatnya bereaksi sempurna, rupanya cangkir dipegangan Pak Satpam jatuh pecah di permukaan paving, untungnya tak dihiraukan oleh peminumnya. Tidak lama kemudian, suara gedebuk jatuh di lantai pos membuat Sangga tersenyum puas.

'Berhasil!'

Sangga merangkak keluar memastikan Pak Satpam tepar sungguhan. Setelah itu, menyedot air kopi dengan suntikan dan membuang cairannya ke hamparan tanah yang ditumbuhi tanaman hijau disekitar halaman.

"Harusnya dengan cara merepotkan ini, gue enggak ketahuan melarikan diri," monolog Sangga.

Berhasil melumpuhkan Pak Satpam, Sangga mendekati pos sepi jaga asrama putri, aman. Langkahnya dipercepat menyisir pinggiran jalan, akhirnya mencapai loby, tekad membawa pergi Natasha makin menguat.

Lorong berpenerangan putih yang kanan—kiri temboknya terdapat puluhan pintu kamar tertutup rapat cukup menjelaskan kepada Sangga bahwa situasi mendukung, takkan ketahuan.

Diselimuti waspada Sangga mengetuk pelan pintu kamar Natasha sebanyak belasan kali karena tak kunjung di buka, nyaris putus asa tidak diindahkan akhirnya pintu, pun, dibuka penghuni ruangan.

Sangga mendorong masuk Natasha ke kamar lagi, seperti maling takut ketangkap basah, pintu sengaja di kunci kembali.

"Ada keperluan apa Lo mampir tengah malam ke sini? Mau ngintip cewek-cewek lagi bobo? Ngaku!" selidik perempuan berwajah bantal, khas bangun tidur.

"Gue ngendap-ngendap ke sini berusaha bawa Lo kabur. Dengarin suami ngomong, gue lakuin ini penuh keterpaksaan, kepala gue udah tertekan banget, gue enggak mampu tinggal seatap lagi dengan bunda dan Lathesia. Lo tahu cerita versi gue tentang masalah keluarga. Sekarang gue udah mutusin, sementara waktu ninggalin mereka berdua agar mereka pada nyadar betapa kehadiran gue berarti di hidup bunda, dan gue menderita di perlakukan tak wajar oleh Lathesia. Lo tahu pundak gue terlalu kecil menanggung beban sebesar itu," cerocos Sangga.

"Tolong temani gue."

*

Sepasang tangan Natasha tersembunyi di saku sweater Sangga kenakan.

"Lo mau bawa gue, ke mana?" tanya Natasha, suaranya berggetar kedinginan.

"Nikah sambil sekolah bukan harapan gue. Cepat lambat orang-orang tahu status kita. Gue enggak mau ambil resiko daripada bertahan lama di bangku kelas sebelas, kita putus sekolah aja dan pergi ikut papa, Lo," sahut Sangga disela mengemudi motor.

"Kalau ini jalan keluar dari segala permasalahan Lo, gue sedia ikut ke mana Lo pergi," balas Narasha.

"Ke mana pun?"

"Iya. Ke mana pun, asal di situ gue enggak sendiri."

"Yang tahu kepergian kita cuma bunda selebihnya orang lain enggak tahu kenapa reaksi Lo biasa, enggak marah-marah, nyekik leher gue, pukul, tendang atau semacam lainnya?" heran Sangga.

"Buat apa reaksi berlebihan kalau sesuatu paling berharga udah bersama gue, walaupun keputusan Lo memutuskan studi, itu enggak sebanding dengan hubungan kita," jelas Natasha semakin lengket menempelkan dagu di pundak suaminya.

Sangga a mengembang senyum, perasaan gundahnya terbalut hangat.

"Lo mengakui hubungan kita?" tanya Sangga.

"Sangga suami terbaik Natasha. Natasha, istri bocahnya Sangga," ungkap Natasha.

Sangga tertawa serak dan menggumam,"Nikah muda dapatnya istri bocah, imbasnya suami enggak kalah bocah."

"Sama-sama bocah, unyu tahu!"

"Unyu sih, iya, masalahnya di antara kita cara pemikirannya belum pada matang, sementara kata bapak penghulu, kehidupan setelah menikah ibarat survival. Gue suka mikir gimana misalnya Lo atau gue, suatu saat enggak sengaja bikin kesalahan, karena faktor pemahaman kita belum dewasa, akhirnya kita pisah?" sambung Sangga berandai.

"Gampang, tinggal salaman tangan saling maafin," jawab Natasha.

"Gimana kalau kesalahannya fatal, contohnya diam-diam menduakan? Apa namanya, selingkuh?"

"Enggak akan dimaafin setahu gue, selingkuh itu penyakit."

Tiba di kediaman megah berhalaman luas, gadis berbando kelinci senada memakai baju tidur bermotif kodok perlahan menjatuhkan dua ransel ke permukaan paving.

"Gue tekan bel rumah dulu," pamit Natasha.

"Hmm," angguk Sangga.

Mesin motor dimatikan, Sangga memungut ransel miliknya dan ransel perempuannya, kemudian menyusul gontai.

"Den ganteng, makasih udah antar selamat majikan Bibik," ucap wanita bertubuh gempal.

Sangga mengangguk dengan senyuman tipis, kelopak matanya sudah lumayan berat ingin segera tidur.

"Ngobrolnya besok aja Bik. Aku capek sepanjang perjalanan nahan kantuk sekarang mau langsung istirahat," senyum Natasha menolak halus enggan bercerita.

"Ndak apa-apa Non, Bibik ngerti. Silakan masuk!" senang Bik Inem membuka lebar pintu rumah.

Natasha menggenggam tangan Sangga menuntun masuk ke dalam rumah.

"Papa ada di rumah, Bik?" tanya Natasha.

"Ndak ada Non. Tuan kerja lembur," jawab Bik Inem seraya mengunci pintu.

"Ya udah, Bibik lanjut tidur," titah Natasha.

"Baik, Non."

Bik Inem kembali ke kamar, begitu pula dengan pasangan muda yang menghilang setelah meniti undakan tangga penghubung ke lantai dua.

Natasha memutar handle pintu kamar dan menguap kecil.

"Tidurnya jangan ngorok, gue enggak suka," beritahu Natasha.

"Emang gue ayam," ujar Sangga sembari menaruh ransel di lantai.

Usai menutup pintu, Natasha membaringkan tubuh lelahnya di atas spring bed.

"Lo punya simpanan baju tidur cowok? Gue enggak nyaman, mau ganti," keluh Sangga kegerahan.

"Adanya baju papa, mau coba?" tawar Natasha.

"Enggak deh, size baju Papa Lo besar-besar, adanya kedodoran di tubuh gue," tolak Sangga.

"Kalau ujungnya nolak ngapain nanya," sebal Natasha.

Kekehan Sangga mengalun bak melodi membuat Natasha merotasikan bola mata.

"Kita tidur setempat ya? Gue penasaran gimana rasanya meluk cewek semalam suntuk ketemu pagi," kata Sangga sambil melepas sweater, menyisakan kaus merah berlengan pendek.

"Dengan syarat tahu batasan!" peringat Natasha.

"It's okay."

Sangga naik ke tempat tidur, rebahan di samping penguasa ruangan.

"Boleh peluk?" ijin Sangga.

"Terserah," acuh Natasha.

Diberi kesempatan, Sangga antusias menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Natasha dengan sebelah tangan memeluk erat pinggang.

"Wangi Lo enggak pernah gagal bikin gue mabuk," racau Sangga.

"Maka dari itu gue ingatin, jangan melampaui batas. Cepetan tidur, udah larut!" galak Natasha.

Kurang kenyang menghirup wanginya saja, Sangga iseng menggigit kulit leher Natasha.

Mulai terbiasa mendapat gigitan dan hisapan pada area leher, Natasha hanya melenguh pelan meredam seluruh sensasi dirasakannya.

Dengkuran halus menerpa leher, Natasha menatap lekat wajah damai Sangga saat didapati sudah tertidur pulas.

'Diperhatikan dari jarak sejengkal, Lo ganteng banget. Pantesan Lathesia nangis kejer enggak mau kehilangan Lo, gue aja terpesona,' puji Natasha dalam hati.

Jemari lentik Natasha bergerak membelai rahang Sangga, sapuan nakalnya berhenti di bibir.

'Makasih atas hadiah terindahnya, my sweet.'