Selesai menulis surat pengunduran diri atas namanya dan Naura. Rahsya menyelundupkan amplop putih di tangannya ke celah pintu bawah ruangan kepsek, beres menuntaskan langkah pertama, Rahsya menutup kepala dengan tudung sweater, kembali menelusuri lorong sepi menuju gedung kesehatan.
Pukul 00:00 WIB, cocok digunakan tidur, tetapi lain dengan remaja nekad kabur itu. Kesunyian malam dijadikan waktu tepat merampok obat-obatan.
Pintu depan digembok, Rahsya meraba-raba kaca jendela terpasang di ruang kesehatan dan mendapati jendela paling tengah longgar kurang terkunci.
Disungkalnya sisi jendela menggunakan kunci lemari lalu perlahan terbuka. Rahsya memaksa naik tak perduli anggota tubuhnya lecet ketika mendarat di lantai.
Cahaya temaram di seluruh ruangan membuatnya menelan ludah sejenak.
'Gue enggak boleh takut, apapun di depan sana terobos!' batin Rahsya memaksa bangkit nyali sempat menciut.
Berbekal keberanian, Rahsya merogoh ponsel menyalakan lampu senter dan mulai berkeliaran mencari obat serbuk, pil ngantuk, cairan bius dan suntikan. Semua perlengkapannya dicari di deretan lemari.
15 menit, Rahsya menyelesaikan misinya dan meninggalkan gedung dengan jendela tertutup sedia kala.
Alasan Rahsya rela membobol gedung kesehatan adalah mencampurkan obat tidur ke cangkir berisi kopi milik Pak Satpam yang berjaga depan gerbang.
Menghalangi acara kabur.
Persembunyian Rahsya di bawah kolong pos tak diketahui penjaga gerbang ketika bapak bertopi biru itu kehausan meneguk kopi.
Kaki Pak Satpam nampak bergetar goyah, obatnya bereaksi sempurna, rupanya cangkir di pegangan Pak Satpam jatuh bercerai pecah di permukaan paving, namun untungnya tak dihiraukan oleh peminumnya. Tidak lama kemudian, suara gedebuk jatuh di lantai pos membuat Rahsya tersenyum puas.
'Berhasil!'
Rahsya merangkak keluar memastikan Pak Satpam tepar sungguhan. Setelah itu, menyedot air kopi dengan suntikan dan membuang cairannya ke hamparan tanah yang di tumbuhi tanaman hijau disekitar halaman.
"Harusnya dengan cara merepotkan ini, gue enggak ketahuan melarikan diri," monolog Rahsya.
Berhasil melumpuhkan Pak Satpam, kini Rahsya mendekati pos sepi jaga asrama putri, aman. Langkahnya dipercepat menyisir pinggiran jalan, ketika akhirnya mencapai loby, tekad membawa pergi Naura makin menguat.
Lorong berpenerangan putih yang kanan—kiri temboknya terdapat puluhan pintu kamar tertutup rapat cukup menjelaskan kepada Rahsya bahwa situasi mendukung, takkan ketahuan.
Diselimuti waspada Rahsya mengetuk pelan pintu kamar Naura sebanyak belasan kali karena tak kunjung di buka, nyaris putus asa tidak diindahkan akhirnya pintu, pun, dibuka penghuni ruangan.
Rahsya mendorong masuk Naura ke kamar lagi, seperti maling takut ketangkap basah, pintu sengaja di kunci kembali.
"Ada keperluan apa, Lo, mampir tengah malam ke sini? Mau ngintip cewek-cewek lagi bobo? Ngaku!" selidik perempuan berwajah bantal, khas bangun tidur.
"Gue ngendap-ngendap ke sini berusaha bawa Lo kabur. Dengarin suami ngomong, gue lakuin ini penuh keterpaksaan, kepala gue udah tertekan banget, gue enggak mampu tinggal seatap lagi dengan bunda dan Adara. Lo tahu, kan, cerita versi gue tentang masalah keluarga. Sekarang gue udah mutusin, sementara waktu ninggalin mereka berdua agar mereka pada nyadar betapa kehadiran gue berarti di hidup bunda, dan menderita di perlakukan tak wajar oleh Adara. Lo tahu, pundak gue terlalu kecil menanggung beban sebesar itu," cerocos Rahsya.
"Tolong temani gue."
*
Sepasang tangan Naura tersembunyi di saku sweater Rahsya kenakan.
"Lo mau bawa gue, ke mana?" tanya Naura, menggetar kedinginan.
"Nikah sambil sekolah bukan harapan gue. Cepat lambat orang-orang akan tahu status kita. Gue enggak mau ambil resiko, daripada bertahan lama di bangku kelas sebelas, kita putus sekolah aja dan pergi ikut papa, Lo," sahut Rahsya disela mengemudi motor.
"Kalau ini jalan keluar dari segala permasalahan Lo, gue sedia ikut ke mana pun pergi," balas Naura.
"Ke mana pun?"
"Iya. Ke mana pun, asal di situ gue enggak sendiri."
"Yang tahu kepergian kita cuma bunda selebihnya orang lain enggak tahu, kenapa reaksi Lo biasa aja? Enggak marah-marah, nyekik leher gue, pukul, tendang atau semacam lainnya?" heran Rahsya.
"Buat apa reaksi berlebihan kalau sesuatu paling berharga udah bersama gue, walaupun keputusan Lo memutuskan studi, itu enggak sebanding dengan hubungan kita," jelas Naura semakin lengket menempelkan dagu di pundak suaminya.
Rahsya mengembang senyum, perasaan gundahnya terbalut hangat.
"Lo mengakui hubungan kita? Coba ulang, gue mau dengar hati kecil Lo berbisik di dengar hati gue," kata Rahsya.
"Sangga Rahsya, suami terbaik Naura Natasha. Naura Natasha, istri bocahnya Sangga Rahsya," ungkap Naura berbisik.
Rahsya tertawa serak dan menggumam,"Nikah muda dapatnya istri bocah, imbasnya suami enggak kalah bocah."
"Sama-sama bocah, unyu tahu!"
"Unyu sih, iya, cuma masalahnya di antara kita cara pemikirannya belum pada matang, sementara kata bapak penghulu, kehidupan setelah menikah ibarat survival. Gue suka mikir gimana misalnya Lo atau gue, suatu saat enggak sengaja bikin kesalahan, karena faktor pemahaman kita belum dewasa, akhirnya kita pisah?" sambung Rahsya menerawang dalam.
"Gampang, tinggal salaman tangan saling maafin," jawab Naura.
"Gimana kalau kesalahannya fatal, contohnya diam-diam menduakan? Apa sih, namanya, selingkuh?"
"Enggak akan dimaafin, karena setahu gue, selingkuh itu penyakit."
Tiba di kediaman megah berhalaman luas, gadis berbando kelinci senada memakai baju tidur bermotif kodok perlahan menjatuhkan dua ransel ke permukaan paving.
"Gue tekan bel rumah dulu," pamit Naura.
Setelah mematikan mesin motor, Rahsya memungut ransel miliknya dan ransel perempuannya, kemudian menyusul gontai.
"Den ganteng, makasih udah antar selamat majikan Bibik," ucap wanita bertubuh gempal.
Rahsya mengangguk dengan senyuman tipis, kelopak matanya sudah lumayan berat ingin segera tidur.
"Ngobrolnya besok aja ya, Bik? Aku capek sepanjang perjalanan nahan kantuk sekarang mau langsung istirahat," senyum Naura menolak halus enggan bercerita.
"Ndak apa-apa Non, Bibik ngerti. Silakan masuk!" senang Bik Inem membuka lebar pintu rumah.
Naura menggenggam tangan Rahsya menuntun masuk ke dalam rumah.
"Papa ada di rumah, Bik?" tanya Naura.
"Enggak ada Non. Tuan kerja lembur," jawab Bik Inem seraya mengunci rapat pintu.
"Ya udah, Bibik lanjut tidur aja," titah Naura.
"Baik, Non."
Bik Inem kembali ke kamar, begitu pula dengan pasangan muda yang menghilang setelah meniti undakan tangga penghubung ke lantai dua.
Naura memutar handle pintu kamar dan menguap kecil.
"Tidurnya jangan ngorok, gue enggak suka," beritahu Naura.
"Emang gue ayam!" ujar Rahsya sembari menaruh ransel di lantai.
Usai menutup pintu, Naura membaringkan tubuh lelahnya di atas spring bed.
"Lo punya simpanan baju tidur cowok? Gue enggak nyaman, mau ganti," keluh Rahsya kegerahan.
"Adanya baju papa, mau coba?" tawar Naura menyorot sayu.
"Enggak deh, size baju papa Lo pasti besar semua nantinya kedodoran di tubuh gue," tolak Rahsya.
"Kalau ujungnya nolak ngapain nanya," sebal Naura.
Kekehan Rahsya mengalun bak melodi membuat Naura merotasikan bola mata.
"Kita tidur setempat ya? Gue penasaran gimana rasanya meluk cewek semalam suntuk ketemu pagi," goda Rahsya sambil melepas sweater, memperlihatkan kaus merah bertangan pendek.
"Dengan syarat tahu batasan!" peringat Naura.
"It's okay."
Rahsya naik ke tempat tidur, rebahan di samping penguasa ruangan.
"Boleh peluk?" ijin Rahsya.
"Terserah," acuh Naura.
Diberi kesempatan, Rahsya antusias menenggelamkan sepenuh wajahnya di ceruk leher Naura dengan sebelah tangan memeluk erat pinggang.
"Wangi Lo enggak pernah gagal bikin gue mabuk," racau Rahsya tak berdaya.
"Maka dari itu gue ingatin, jangan melampaui batas. Cepetan tidur, udah larut!" galak Naura.
Kurang kenyang menghirup wanginya saja, Rahsya iseng menggigit kulit leher Naura.
Mulai terbiasa mendapat gigitan dan hisapan pada area leher, Naura hanya melenguh pelan meredam seluruh sensasi dirasakannya.
Dengkuran halus menerpa leher, Naura menatap lekat wajah damai Rahsya saat tengah tertidur pulas.
'Diperhatikan dari jarak sejengkal, Lo ganteng banget. Pantesan Adara nangis kejer enggak mau kehilangan Lo, gue aja terpesona,' puji Naura dalam hati.
Jemari lentik Naura bergerak membelai rahang Rahsya, sapuan nakalnya berhenti di bibir.
'Makasih atas hadiah terindahnya, my sweet.'