Chereads / KEJEBAK CINTA / Chapter 24 - Bab 24

Chapter 24 - Bab 24

Uhuk!

Bu Salma terbatuk kala memasuki kamar temaram putranya, hidungnya menghirup pekat aroma nikotin di area tersebut.

"Mas merokok?" tanya Bu Salma dengan tangan mengibas-ngibas di udara.

Cowok dalam keremangan cahaya mematahkan sebatang rokok yang terselip diantara jari telunjuk dan tengah, menjatuhkan ke lantai kemudian menginjak bekasnya.

"Enggak."

Tidak percaya pengakuan putranya, Bu Salma mencari saklar lampu dan menekan nyala.

"Matikan kembali Bunda," suruh Rahsya, keberatan ruangan pribadinya terang benderang.

"Menyendiri dalam kegelapan tidak baik untuk kinerja otak, Mas sedang melamunkan apa sampai-sampai berani merokok segala?" ujar Bu Salma berjalan mendekati.

"Mikirin hidup," dingin Rahsya.

"Angkat kakinya, Bunda tahu kamu menginjak puntung rokok?" terka Bu Salma.

Remaja tengah duduk di tepi kasur menggeser kaki kirinya, sehingga Bu Salma dapat menemukan banyak abu dan potongan kecil puntung.

"Berapa batang kamu habisin Mas? Banyak begini bekasnya," rutuk Bu Salma.

"Setengah bungkus," jawab Rahsya.

Terkejut anaknya menyesap rokok sebanyak itu, Bu Salma memeriksa kantung celana Rahsya.

"Mana setengahnya lagi? Serahin ke Bunda!" pinta Bu Salma.

"Habis."

Terlambat menyita benda mengandung zat adiktif, Bu Salma memijat kening mendadak pening.

"Stop mengkonsumsi barang seperti itu, Mas. Efeknya tak bagus bagi kesehatan, kamu bisa terpapar penyakit berbahaya seperti kardiovaskular, radang paru, asam lambung dan lainnya, sejak kapan kamu nakal seperti ini?" tukas Bu Salma.

"Kelas sebelas semester satu."

Mata Bu Salma melebar sempurna. "Ulang sekali lagi, jangan bohongi Bunda!" bentaknya.

Rahsya menghembus nafas, kesal. "Aku ketergantungan dari kelas sebelas semester satu!"

Kejujuran Rahsya berhasil membuat Bu Salma lemas terkulai duduk.

"Bunda enggak perlu kaget kalau aku diam-diam nakal di belakang semua orang. Aku seperti ini gara-gara kurang didikan seorang ayah dan ibu, lingkungan hidupku juga berperan penting membentuk diriku yang sekarang lebih buruk. Aku enggak sebaik penilaian orang-orang di luar sana, bahkan Kevin yang Bunda anggap bandel enggak ada apa-apanya dibanding dengan kewarasanku yang udah setengah hilang tertekan," tutur Rahsya.

"Mas bicara apa? Bunda tidak mengerti," geleng Bu Salma.

"Hidupku udah berantakan Bun. Aku berusaha menjaga kewarasan di tengah-tengah banyaknya masalah datang silih berganti, namun apa hasilnya? Aku tertekan dari berbagai arah, aku capek menghadapi ketidakadilan dalam hidup. Aku putuskan tengah malam meninggalkan kediaman dan asrama," sambung Rahsya.

"Jangan gegabah mengambil keputusan Mas, kalau kamu pergi, bagaimana dengan pendidikan mu di sini?" tercengang Bu Salma.

"Aku enggak tertarik melanjutkan studi, semenjak pernikahan terjadi, yang ku pikirkan setiap hari bukan lagi mata pelajaran, bukan fakultas kedokteran di ujung pandang, bukan cita-cita ku ingin menjadi seorang dokter seperti om Aga. Tetapi, gimana caraku menghidupi Naura, memberikan kebahagiaan untuknya, sekarang prioritasku udah berbeda, hidupku enggak sendiri lagi, perjalananku membawa anak pak Aksan. Tamat atau enggaknya sekolah, pada akhirnya hubunganku dan Naura akan terungkap diketahui satu asrama. Aku malas meladeni omongan orang yang sangat mudahnya mengomentari tanpa merasakan seberat apa masalah ditanggung ku," jelas Rahsya panjang lebar.

"Mungkin Bunda udah dengar cerita klarifikasiku tentang Adara. Aku enggak tahan lagi menyembunyikan hubunganku yang sebenarnya, teman-temanku sampai memukuliku saking tidak terimanya dibohongi selama itu. Setelah pengeroyokan terhadapku ... aku sadar kalau mempertahankan kebohongan hanya semata ketenangan sesaat, termasuk merahasiakan pernikahan ini. Mulutku gatal ingin menyebarkan berita ini kepada mereka bahwa aku dan Naura udah nikah, namun aku menimbang ulang gimana perasaan istriku kalau aku membocorkannya, seperti apa reaksi Naura nanti? Marah-marah, kah? Mengutuk hidupku, atau mencekik leherku? Memikirkannya bikin kepalaku serasa mau pecah!" gerutu Rahsya.

Bu Salma menyeka air mata, turut terluka melihat putranya belum cukup umur dipaksa keadaan memiliki pasangan hidup hingga tertekan seperti malam ini.

"Keputusanku udah bulat Bun. Malam ini, ijinkan aku pergi membawa Naura. Jangan risaukan aku yang nanti tinggal di mana, jagalah Adara sebaik mungkin karena aku mana sanggup menatap matanya lagi, obsesi diidap Adara cukup membuatku nyaris gila. Semoga dengan aku berjauhan dari Adara, hubungan kita dirasakannya semesti kekeluargaan tak pernah putus. Bunda bilang, sifat mandiri adalah kunci keberanian dalam menghadapi berbagai kondisi hidup, mulai hari ini, aku ingin menerapkannya dalam kehidupan baruku. Besok, terserah Bunda mau membongkar statusku dengan Naura kepada semua murid, aku pasrah."

Beranjak menuju lemari, Rahsya membuka ransel dan mengemas beberapa setelan pakaiannya ke dalam.

"Tolong jangan pergi, Mas! Adara belum sembuh kalau tahu kamu meninggalkan rumah, perasaanya akan semakin hancur!" isak Bu Salma.

"Justru itu, aku muak harus menuruti permintaan Bunda! Aku enggak mampu memberikan kasih sayangku pada Adara, aku takut dia menyalah artikan ketulusan yang kuberi, aku takut dia tenggelam dalam obsesinya dan tak bisa membedakan antara peduli dan jatuh hati! Kepalaku mengepul panas mencari solusinya, dan mungkin jalan terbaik untuk kesembuhan adikku melalui perpisahan ini," tegas Rahsya memukul pintu lemari.

"Aku tahu Bunda ingin kesembuhan Adara dengan mengorbankan kepedulian ku, tapi apa pernah ... bunda memikirkan dampak mental diriku? Apa pernah, bunda mencemaskanku kalau aku mencurahkan kasih sayangku kepada Adara nantinya kewarasanku stabil atau enggak? Bukan Adara yang wajib diperhatikan, tapi aku 'pun butuh! Selama ini, yang Bunda pikirkan cuma Adara dan Adara, selain itu, aku bukan apa-apa," keluh Rahsya meluapkan emosi.

"Bunda tidak pilih kasih! Bunda hanya mengikuti saran psikiater! Dokter menyarankan agar keluarga Adara mendukung terapi penyembuhan, sebagai ibu dan kakak, tidak ada salahnya membantu Adara sembuh dari fase abnormalnya!" sahut Bu Salma menangis tersedu.

"Enggak Bun, langkahku udah jauh, aku enggak bisa bantu Adara. Aku takut perasaan dimilikiku bersemayam untuk Adara! Aku takut mencintai balik adikku sendiri!" ungkap Rahsya diambang frustasi.

Wajah Bu Salma banjir air mata, meratapi kegagalannya menjadi ibu dalam mendidik anak-anaknya. Putri kesayangannya mengidap obsessive love disorder sementara putranya frustasi menelan berbagai macam problem.

"Palsukan kepergianku pada Adara. Aku pamit!" pungkas Rahsya menarik resleting, menyambar kunci lemari, kunci motor, dompet, sweater hitam serta sebuah earphone.

Remaja di ujung tanduk kemarahan pada beberapa hal melengos pergi berencana membawa kabur Naura.