Chereads / KEJEBAK CINTA / Chapter 16 - Bab 16

Chapter 16 - Bab 16

Helaian rambut Naura tertiup angin, merepotkan jemari lentiknya menyelipkan ke daun telinga.

Disadari Naura banyak bergerak, Rahsya menepikan sepeda dekat penjual aksesoris di pinggir jalan.

"Kenapa berhenti di sini, katanya mau ke taman?" tanya Naura.

"Gue atasi dulu kerisihan Lo," jawab Rahsya ambigu.

"Gue nyaman kok dibonceng gini, maju aja terus," kata Naura.

Tangan Rahsya mencabut bando merah bertelinga kelinci. "Harganya berapa Bang?" tanyanya.

"Beli itu aja? Tambah lagi dong biar dagangan saya cepat abis," melas penjual.

"Gue butuh benda ini, dijual enggak? Kalau enggak, mau lanjut ngayuh lagi," acuh Rahsya.

"Buat cewek di belakang? Ambil aja gratis," ucap penjual.

"Makasih." Rahsya merusak kemasan, berbalik badan memakaikan bando di kepala istrinya.

"Cantik," puji Rahsya tersenyum bangga.

Wajah Naura bersemu merah, tertular senyum membalas kasih sayang dicurahkan Rahsya.

"Cuacanya panas, kita nyari yang dingin-dingin, suka ice cream enggak?" sambung Rahsya kembali mengayuh sepeda setelah membayar sepuluh ribu benda dipakai Naura meski tukang aksesoris pura-pura menolak tak butuh uang tetap diambilnya.

"Suka."

Tiba di lokasi, Rahsya mengerem sepeda, berhenti di kawasan taman Asteena yang ramai pengunjung.

"Neduh di pohon rindang itu aja, gue beli ice cream dulu," kata Rahsya.

"Cepetan ya."

"Iya."

Naura menghampiri pohon berdaun lebat, bernaung di bawahnya menunggu Rahsya memesan ice cream.

Rahsya mendorong sepeda ke arah Naura sambil menenteng plastik berisi ice cream bergagang stick.

"Gue borong semua varian ice satu-satu, tinggal Lo pilih suka ice cream rasa apa," ucap Rahsya menyerahkan jajanan.

"Makasih ya, cuma ini banyak banget kayak bakal abis aja," kekeh Naura merobek kemasan ice cream rasa anggur dan menggigit sedikit ujungnya.

"Kalau enggak habis di makan Lo, bagiin aja ke anak kecil di sini," santai Rahsya duduk menyandar bersebelahan.

Naura tersenyum, menggangguk polos menyetujui solusi Rahsya.

"Lo enggak nyobain? Icenya manis tahu, kalau mau gue bukain satu?" tawar Naura.

"Gue enggak suka ice cream," geleng Rahsya.

"Eh, gue jadi malu nikmatin ice cream sendirian, terus kesukaan Lo apa?"

Rahsya mengubah posisi, membaringkan tubuh dihamparan rerumputan kecil dengan kepala diletakkan di pangkuan Naura.

"Favorit gue minum kopi espresso," jawab Rahsya.

"Kalau gitu nyari kopi dulu? Biar Lo enggak kehausan," ajak Naura.

"Gue enggak haus, butuhnya dikasih cium," gumam Rahsya.

Dengan senyum mengembang Naura menunduk mencium hidung mancung Rahsya.

"Udah," kata Naura perlahan mengangkat wajah.

"Makasih," senyum Rahsya.

Disela menikmati ice cream, Naura mengelus lembut surai hitam Rahsya.

"Lo bertanya-tanya kenapa Bu Salma hadir di pernikahan kita?" cakap Rahsya.

"Lo baca pikiran gue? Kok tebakannya benar," curiga Naura.

"Kegugupan Lo waktu di hotel menjelaskan keterkejutan yang hinggap jadinya gampang gue tebak," jujur Rahsya.

"Hehehe."

"Papa gue namanya Evander, bunda gue, Salma, adik gue, Adara Lathesia. Kami ditinggal papa delapan tahu silam dalam keadaan ekonomi sedang bagus-bagusnya. Pada saat itu, gue masih kanak-kanak belum ngerti apapun tentang keluarga, ketika pesawat ditumpangi almarhum papa jatuh tenggelam di laut, gue pelanga-pelongo dengar tangis histeris bunda yang dapat kabar duka bersumber dari televisi. Begitu jenazah papa di pulangkan ke rumah kami, oleh petugas ambulance rumah sakit tempat mengotopsi para korban, barulah tangis gue dan Adara pecah. Kepergian papa menorehkan luka trauma bagi kami. Bunda jatuh depresi saking mencintai sosok almarhum. Di fase itu, gue sama Adara sedih banget, gue menderita kehilangan kasih sayang seorang ibu, kehilangan peran papa. Yang lebih menyedihkan adalah Adara, kehilangan kasih sayang dari anggota keluarganya sebab bunda belum mampu terima kenyataan pahit dan gue justru ikutan murung mengabaikan dia," curhat Rashya.

"Semenjak kehilangan papa, bunda sedikit pilih kasih menyayangi anak-anaknya. Selaku putra sulung, gue dituntut hidup mandiri dan mencintai Adara tanpa harus mengeluh. Bunda bilang, kasih sayang gue pengganti peran papa buat Adara, bertahun-tahun gue turuti kemauan bunda sampai menginjak kelas sembilan SMP, gue stop ngasih perhatian ke adik gue karena ngerasa apa yang gue lakukan kepada Adara salah."

Tidak ingin memotong cerita langsung mengalir keluar mulut Rahsya, Naura menyimak seksama sembari mengemut ice cream.

"Perlakuan salah gimana?" tanya Naura.

"Gue tidur sekamar sama Adara bahkan memperlakukan dia layaknya princess, sampai-sampai kasih sayang gue dijadikan ketergantungan emosionalnya," jelas Rahsya.

Usapan jemari Naura terhenti.

"Ketergantungan Adara berubah obsessive love disorder. Lo tahu artinya?" sambung Rahsya.

"A-apa?" tercekat Naura.

"Kondisi seseorang mengalami cinta yang obsesif dan tidak seimbang terhadap orang lain. Itu hasil pemeriksaan psikiater yang menangani Adara waktu kelas sepuluh," imbuh Rahsya membagi rahasia keluarganya selama ini ditutupi.

Naura menutup mulut, seketika matanya menguap panas, tidak menyangka Adara terkena gangguan psikologis dan Rahsya berjuang sendirian menjaga kewarasannya agar tidak terkontaminasi oleh obsesi dimiliki Adara.

"Kenapa Lo sembunyiin masalah sebesar ini? Gue benci sikap tertutup Lo yang enggak mau terbuka kepada siapapun, dampaknya jadi rumit!" marah Naura bersamaan dengan pertahanan air matanya luruh.

Rahsya membuang pandang, melihat perempuan menangis adalah hal buruk paling tidak disukainya.

"Hapus air mata Lo, gue benci," desis Rahsya.

Naura mengusap kasar air matanya, mengalihkan pandang menghindari kontak mata agar tidak melukai perasaan Rahsya.

"Gue orangnya emang gini apa adanya, enggak terlalu mudah cerita ke siapapun kecuali orang terdekat. Gue mau terbuka sama Lo karena Lo adalah dunia barunya gue. Kalau Lo mau tahu lebih dalam seberantakan apa hidup gue, banyakin sabar nunggu gue bicara tanpa paksaan," tukas Rahsya.