"Mau mampir ke ruang musik?" tawar Naura, hati-hati.
Rahsya sedang membereskan alat tulis, mengangkat wajah memandang Naura yang membungkuk di depan mejanya, tepat menghadap Gibran.
"Lain kali," tolak Gibran cepat-cepat menarik resleting ransel.
"Gue bisanya sekarang, kalau lain kali gue enggak tahu masih ada kesempatan atau enggak," kata Naura.
Gibran menyampir ransel di pundak kanan, beranjak pergi tanpa memperdulikan ucapan gadis penyebab hatinya galau. Walau sejujurnya sangat ingin ke ruang musik bersama Naura.
Adara merapikan helaian rambutnya lalu menggandeng Kinan dan berjalan mendekati Rahsya.
"Aku pulang duluan," pamit Adara, mendaratkan kecupan di pipi sang pencuri hati.
Sambaran kecupan Adara membuat Rahsya meraba pelan sebelah pipi, atensi semula terpaku pada Naura kini beralih menatap dua punggung cewek mulai menghilang di balik pintu kelas.
"Adara gantiin posisi gue, malam nanti Lo nikah sama dia. Kalian serasi kok, jadi pasangan beneran," celetuk Naura.
"Kedekatan gue dan Adara cuma sebatas adik dan Abang, rumor pacaran enggak pernah terjadi," sanggah Rahsya.
"Terjadi juga bodoh amat bukan urusan gue," acuh Naura berbalik badan melanjutkan langkah sempat terjeda.
"Jangan coba beri pilihan apapun ke gue, akibatnya bisa nyakitin Lo kalau gue udah ambil keputusan," balas Rahsya seolah memperingati.
Naura menoleh sinis, tidak menggubris perkataan menakut-nakuti Rahsya.
"Lo pulang bareng gue, ada hal penting mau gue bahas tentang kita," sambung Rahsya.
"I don't care."
Gadis itu ke luar kelas di susul Rahsya di belakang.
"Resmi nikah, Lo harus patuhi peraturan-peraturan buatan gue salah satunya jauhi semua cowok di asrama ini. Mau enggak mau Lo wajib pulang bareng tiap hari sama gue, makan sama gue, curhat sama gue, ngerjain pr sama gue, happy sama gue, nangis sama gue, susah sama gue, apa-apa harus sama gue, no bantahan," celoteh Rahsya.
"Selama Lo bukan donatur yang ngasih gue uang jajan, Lo enggak berhak ngatur-ngatur kehidupan gue sekalipun nanti status Lo jadi suami, modal label enggak cukup membeli kehidupan gue," sarkas Naura.
"Cewek matre," gumam Rahsya.
"Apa? Lo enggak terima hidup gue realistis? Kalau Lo enggak mampu nafkahin gue setelah nikah, mundur sana ke pojokan, ngumpet di bawah kolong meja, batalin rencana kawin konyol nanti malam. Gue bakal makasih pake banget kalau kita sampai jadi enggak nikah!" kesal Naura.
"Sensi banget, Lo lagi pms?"
Pernyataan Rahsya menghentikan langkah gadis di depannya, Naura menelan ludah, bagaimana human menyebalkan itu mengetahui bulan para ciwi.
"Sok tahu!"
Seulas senyum menghias wajah, Rahsya melepas almamater melapisi seragam putihnya, membungkuk rendah mengikatkan jas abunya ke pinggang Naura, menutupi rok bagian belakang bernoda pekat.
"Lo bocor."
Deg!
Naura menggigit bibir, mematung kaku di depan cowok menyandang calon suami.
*
"Insiden di kamar mandi sudah bunda dengar dari cerita guru BK. Bunda cemas membayangkan Adara mengetahui perkara serius menimpamu, kenapa kamu nekad menjebak diri sendiri, Mas? Apakah sebenci itu, kamu kepada Adara sehingga melukai perasaan rapuhnya sedalam ini," tercekat Bu Salma.
"Keputusan menikah enggak akan pernah tercetus kalau aku dan Naura enggak dikunci orang lain dari luar. Bantahanku menolak menikah enggak diindahkan bapak berkumis, dia ngotot menghendaki keputusannya mengantarkanku pada sebuah pernikahan. Katanya kasusku memakan kerugian bagi asrama kalau aku menolak menikah, terpaksa aku menyetujuinya maka dari itu, tolong kerjasamanya menjaga rahasia ini dari Adara," jeda. Rahsya memasang kilat jam tangan silver di pergelangan kiri. "Aku pamit ke asrama putri, jangan lupa Bunda datang saksiin aku nikahin Naura," pungkasnya.
Rahsya memungut kunci motor serta handphone di atas nakas, menyalimi tangan Bu Salma, kemudian ke luar kamar.
"Tunggu Mas!"
Pemilik nama memutar setengah leher, melihat Bu Salma berjalan lebar.
"Kamu minta sebuah kerjasama, berarti kamu menyanggupi permintaan diajukan Bunda. Hubunganmu dengan Naura bisa Bunda simpan dengan syarat kamu menepati janji berusaha membahagiakan Adara. Kamu tidak perlu membalas perasaannya, cukup berikan kasih sayang sebagaimana kamu menyayangi seorang adik," pesan Bu Salma.
"Menyayangi Adara sepenuh hati?" simpul Rahsya.
"Tepat."
*
Rahsya menepikan kendaraan roda duanya di luar gerbang utama, menghindari kecurigaan penjaga Asrama putri ketika nanti menjemput Naura.
"Pak, titip sebentar," kata Rahsya.
"Mau jalan jauh? Udah dapat kartu ijinnya?" todong Pak Satpam.
"Kartu ijin saya dan Naura," ucap Rahsya menyerahkan dua carik kertas berwarna putih sempat di berikan guru BK saat di gedung.
"Oke-oke," manggut Pak Satpam.
Rahsya menelusuri pekarangan asrama, celingak-celinguk memastikan keadaan sekeliling sepi, lalu menghampiri Naura yang stay di mulut gang asrama putri.
"Kak Dita tau malam ini, gue rencana nyulik Lo? Kalau belum, gue ke pos jaga situ dulu minta ijin," ucap Rahsya.
Naura mencubit perut Rahsya yang bisa-bisanya bercanda di detik-detik menegangkan malam ini.
"Lo kdrt mulu, sakit tau!" ringis Rahsya.
"Abisnya Lo nyebelin!" kesal Naura. "Dengar, gue udah ijin, kak Dita membatasi waktu di luar asrama sampai tengah malam. Lo harus pulangin gue ke sini sebelum subuh," bisiknya menjelaskan.
"Naura, garis bawahi ini, kita enggak lagi peranin drama kartun Cinderella versus pangeran yang alur hidupnya bergantung pada sebuah labu ajaib. Kak Dita, manusia biasa pemakan nasi kayak kita berdua, bukan peri khayangan turun dari langit, Lo enggak usah takut pulang sedikit telat," ujar Rahsya.
"Pulangin gue sebelum subuh atau kita enggak jadi nikah?" ancam Naura.
"Iya-iya, gue balikin tengah malam!" pasrah Rahsya.