Beberapa tahun setelah ibu nya pergi kini Alesya melangkah perlahan di jalan setapak menuju rumahnya. Jalanan yang setiap hari ia lalui terasa semakin menyesakkan. Bukan karena letih di tubuhnya, tetapi karena beban di hatinya yang tak kunjung surut. Rumah yang ia tuju bukanlah tempat untuk pulang, melainkan penjara yang dingin, penuh dengan kenangan menyakitkan dan suara-suara yang hanya ada dalam pikirannya.
Ayahnya, Rudi, duduk di ruang tamu seperti biasa, ditemani televisi yang menyala tanpa suara. Tidak ada sapaan, tidak ada pertanyaan tentang bagaimana harinya. Hanya tatapan kosong seorang pria yang telah lama menyerah pada hidupnya. Alesya bahkan tak berharap ada perhatian darinya. Ia tahu, kehadirannya di rumah ini lebih seperti beban daripada anak.
Di kamarnya, Alesya menyalakan lampu kecil di sudut meja tulis. Di atas meja itu, tumpukan buku harian dan pena yang mulai usang adalah pelarian satu-satunya. Ia membuka salah satu buku, menuliskan kata-kata yang memenuhi pikirannya. "Jika aku menghilang, apakah hidup ayah akan lebih baik? Apakah rumah ini akan terasa lebih ringan tanpa kehadiranku?" Ia menulis tanpa henti, mencoba meredakan gejolak di dadanya.
Malam itu, saat ia hendak keluar untuk mengambil makan malam, suara ketukan dan obrolan samar-samar terdengar dari luar. Alesya mengintip melalui jendela kecil di dapur dan melihat seorang pria muda sedang mengangkat kardus besar ke rumah sebelah. Cahaya lampu jalan membuat sosoknya terlihat jelas-tinggi, berpenampilan rapi, dan tampak tenang.
"Tetangga baru," gumamnya dalam hati. Tidak ada ketertarikan untuk mencari tahu lebih lanjut. Hidupnya sudah cukup penuh dengan kekacauan, dan satu tetangga baru tidak akan mengubah apa pun.
Namun, pandangan sekilas itu meninggalkan jejak di pikirannya. Saat kembali ke kamar, wajah pria itu entah bagaimana tetap membayangi benaknya. Siapa dia? Kenapa ia terlihat begitu tenang, seolah dunia tidak pernah menyakitinya?
Beberapa hari kemudian, Alesya melihat pria itu lagi. Kali ini, ia sedang berbicara dengan ibu-ibu tetangga mereka, tersenyum sambil mengangguk sopan. Nama pria itu akhirnya terungkap dalam obrolan kecil yang didengar Alesya secara tidak sengaja. Dava. Nama itu terdengar asing, tetapi juga meninggalkan kesan mendalam yang tak bisa ia jelaskan.
Suatu malam, ketika Alesya sedang duduk di beranda rumahnya untuk menghirup udara malam, langkah kaki terdengar mendekat. Ia menoleh, dan di sanalah Dava berdiri di depan pagar rumahnya, membawa senyum hangat yang terlihat tulus.
"Hai, Alesya. Aku Dava, tetangga baru. Kalau kamu butuh bantuan, jangan ragu untuk bilang ya," katanya ramah.
Alesya terkejut. Ia tidak ingat pernah memperkenalkan diri atau menyebutkan namanya pada pria itu. Namun, sebelum ia sempat bertanya, Dava melanjutkan, "Ibu-ibu tetangga tadi cerita sedikit tentang kamu. Maaf kalau aku lancang menyapa duluan."
"Oh... iya, terima kasih," jawab Alesya singkat, suaranya pelan dan canggung.
Keduanya terdiam. Alesya menunduk, sementara Dava menggaruk belakang lehernya dengan kikuk. Akhirnya, Dava mengucapkan salam dan melangkah pergi. Alesya hanya duduk terpaku, mencoba memahami perasaan aneh yang mulai tumbuh di hatinya.
Hari-hari berikutnya, Dava sering terlihat di sekitar rumah. Kadang ia sedang merapikan taman kecil di depan rumahnya, kadang hanya berjalan santai melewati rumah Alesya. Setiap kali mata mereka bertemu, Dava selalu tersenyum hangat. Dan setiap kali itu pula, hati Alesya berdebar lebih kencang dari biasanya.
Satu sore, hujan turun deras. Alesya yang sedang mengamati tetesan air di jendela terkejut ketika mendengar suara ketukan di pintu depan. Saat membuka pintu, Dava berdiri di sana, basah kuyup dengan payung di tangan.
"Maaf mengganggu," katanya, "Aku cuma mau bilang, kelihatannya talang air rumahmu bocor. Aku bisa bantu kalau kamu mau."
Alesya mengangguk tanpa banyak bicara, membiarkan Dava masuk untuk berteduh. Meski awalnya canggung, mereka akhirnya berbicara lebih banyak. Dava bercerita bahwa ia pindah ke sini untuk mencari suasana baru setelah hidup di kota besar yang terlalu sibuk. Sementara Alesya hanya menjawab seadanya, merasa tak nyaman membicarakan kehidupannya yang jauh dari bahagia.
Namun, ada sesuatu yang berbeda dengan kehadiran Dava. Cara bicaranya yang tenang, tatapan matanya yang penuh perhatian, membuat Alesya merasa untuk pertama kalinya ada seseorang yang benar-benar melihatnya.
Hari-hari berikutnya, mereka semakin sering bertemu. Terkadang hanya sapaan singkat, terkadang percakapan ringan di pagar rumah. Alesya mulai merasa bahwa hidupnya sedikit berubah. Ada secercah warna di tengah kelabu yang selama ini menyelimutinya.
Namun, rasa takut juga mulai muncul. Alesya tahu, ia tidak bisa membiarkan dirinya terlalu dekat dengan orang lain. Luka di hatinya terlalu dalam, terlalu rumit untuk dibagikan pada orang lain. Ia takut, jika ia membuka diri, maka pada akhirnya ia hanya akan terluka lagi.
Malam itu, ketika Alesya kembali ke kamar dan membuka buku hariannya, ia menuliskan sesuatu yang berbeda.
"Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa ada seseorang yang peduli. Tapi aku takut, terlalu takut untuk berharap. Apakah aku bisa percaya lagi pada dunia yang sudah menghancurkanku?"
Di seberang jendela kamarnya, lampu di rumah Dava masih menyala. Alesya memandanginya sejenak sebelum memejamkan mata. Ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai, dan ia belum tahu bagaimana akhirnya. Tapi setidaknya, untuk sekarang, ia memiliki seseorang yang membuat hatinya terasa sedikit lebih ringan.