Malam yang Mencekam di Rumah Alesya
Malam itu begitu sunyi, tapi di ruang keluarga, badai amarah tengah berkecamuk. Alesya duduk di balik pintu kamarnya, bersembunyi sambil memeluk lutut. Jantungnya berdetak kencang mendengar suara ayah dan ibunya yang semakin tinggi.
Ayah Alesya: (dengan suara keras, penuh kebencian)
"Aku udah muak, Zura! Udah aku bilang dari awal, aku nggak mau anak perempuan! Kenapa kamu malah kasih aku beban kayak gini?! Tiap aku lihat dia, aku cuma merasa hidupku hancur!"
Ibu Alesya: (air matanya sudah mengalir, mencoba menahan suaranya agar tidak pecah)
"Rudi! Dia anakmu! Darah dagingmu! Bagaimana mungkin kamu bicara seperti itu? Apa salah Alesya sampai kamu membencinya begitu dalam?"
Ayah Alesya: (menyentak, matanya penuh amarah)
"Salah dia karena lahir! Aku mau anak laki-laki, Zura, bukan perempuan yang nggak berguna!"
Alesya menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan tangis yang semakin memuncak. Kata-kata itu menghantam jiwanya seperti ribuan pisau yang menusuk sekaligus.
Ibu Alesya: (dengan nada putus asa, air matanya semakin deras)
"Rudi, kalau kamu nggak bisa menerima Alesya, itu artinya kamu juga nggak bisa menerima aku! Aku nggak sanggup lagi hidup sama laki-laki yang kejam seperti kamu!"
Ayah Alesya: (tertawa sinis, menghentakkan kakinya ke lantai)
"Bagus kalau kamu nggak sanggup, Zura! Aku juga udah muak! Kalau kamu mau pergi, pergi saja! Tapi jangan bawa dia! Aku nggak peduli lagi!"
Pintu kamar Alesya terbuka perlahan. Gadis kecil itu berdiri dengan tubuh gemetar, air matanya mengalir tanpa henti.
Alesya: (dengan suara kecil, hampir berbisik)
"Kenapa, Ayah? Apa aku salah? Kenapa Ayah nggak mau aku?"
Ayah Alesya menoleh, matanya dingin tanpa sedikit pun belas kasihan.
Ayah Alesya: (dengan nada datar tapi mematikan)
"Karena kamu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku."
Ibu Alesya menahan napas, tubuhnya bergetar. Ia segera menghampiri Alesya, memeluknya erat seolah ingin melindunginya dari kata-kata tajam itu. Tapi luka sudah terlanjur menganga.
Alesya: (tersedu-sedu dalam pelukan ibunya)
"Aku cuma pengen Ayah sayang sama aku... Apa itu terlalu sulit?"
Ibu Alesya: (mencoba menenangkan, meski suaranya juga bergetar)
"Sayang, dengarkan Mama. Kamu nggak salah. Kamu adalah hadiah terindah dalam hidup Mama. Jangan pernah percaya kata-kata Ayahmu, ya?"
Ayah Alesya: (mencibir, berjalan keluar ruangan)
"Kalian mau nangis semalam suntuk, silakan saja. Aku nggak peduli. Hidup kalian bukan urusanku lagi."
Ayahnya pergi, membanting pintu begitu keras hingga membuat dinding bergetar. Alesya memandang punggung ayahnya yang semakin jauh, merasa seperti dunianya ikut runtuh bersamanya.
---
Beberapa Hari Kemudian
Rumah itu kini hanya diisi oleh keheningan. Ibu Alesya berdiri di ruang tamu dengan koper di tangannya. Ia akan pergi, tapi tidak membawa Alesya bersamanya.
Alesya: (dengan mata berkaca-kaca, memegangi tangan ibunya)
"Ma... Mama mau kemana? Jangan tinggalin aku, Ma... Aku nggak punya siapa-siapa lagi..."
Ibu Alesya: (berusaha tersenyum meski air matanya terus mengalir)
"Sayang, Mama harus pergi. Mama nggak bisa tinggal di sini lagi. Tapi Mama janji, Mama akan selalu sayang sama kamu, ya?"
Alesya: (menarik tangan ibunya semakin erat, suaranya pecah)
"Jangan pergi, Ma! Aku nggak mau sendiri. Aku nggak kuat, Ma! Aku janji akan jadi anak yang baik, aku nggak akan bikin Ayah marah lagi. Jadi tolong jangan tinggalin aku!"
Namun, ibu Alesya perlahan melepaskan genggamannya, meninggalkan Alesya yang berlutut dengan tangis yang menghancurkan.
Ibu Alesya melangkah keluar rumah tanpa menoleh ke belakang, dan malam itu menjadi awal dari kehancuran hidup Alesya.
"Tuhan.. Jika aku bukan anak yang di inginkan, mengapa aku harus dilahirkan??!!"
Alesya zeartha..