Chereads / saat cinta berakhir dalam darah / Chapter 4 - bab 5 : api yang berkobar

Chapter 4 - bab 5 : api yang berkobar

Rudi duduk di ruang tamu, wajahnya penuh amarah. Ia memukul meja dengan keras, membuat gelas di atasnya bergetar. Pikirannya tidak memikirkan luka atau ketakutan Alesya. Baginya, anak perempuan hanyalah beban—sesuatu yang harus tunduk pada aturan yang ia tetapkan.

Rudi: (menggeram, marah)

"Beraninya mereka ikut campur dalam urusan keluargaku! Alesya itu tanggung jawabku. Nggak ada yang bisa mengambilnya!"

Ia berdiri, berjalan mondar-mandir di ruangan itu, pikirannya terus terbakar oleh penghinaan yang ia rasakan. Bagi Rudi, campur tangan keluarga Dava adalah pelanggaran besar—bukan karena ia peduli pada Alesya, tapi karena itu melukai egonya.

Rudi: (berbicara sendiri, penuh kebencian)

"Aku nggak butuh orang lain buat ngajarin gimana ngurus anak! Alesya bakal tahu tempatnya. Kalau mereka pikir bisa menyelamatkan dia, mereka salah besar."

---

Di rumah Dava:

Alesya duduk di ruang makan bersama keluarga Dava, merasa lebih tenang meski pikirannya masih penuh ketakutan. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa ada orang yang melindunginya.

Alesya: (pelan, gemetar)

"Tante Clara, aku takut... Ayahku nggak akan tinggal diam."

Clara, dengan senyum lembut, menggenggam tangan Alesya.

Clara: (penuh kasih sayang)

"Sayang, kamu aman di sini. Kalau ayahmu datang, biar Tante yang hadapi."

Dava, yang duduk di sebelahnya, memandang Alesya dengan serius.

Dava: (tegas)

"Kamu nggak perlu balik ke rumah itu. Kalau dia datang, aku nggak akan tinggal diam."

Alesya menatap Dava, merasa ada kekuatan baru di balik kata-katanya. Namun, rasa takut akan amarah ayahnya tetap menghantui pikirannya.

---

Rencana Rudi:

Malam itu, Rudi menyalakan rokoknya, duduk di kursi dengan tatapan dingin. Tidak ada rasa bersalah di hatinya—hanya amarah yang semakin membara. Ia tidak memikirkan Alesya sebagai anaknya, melainkan sebagai orang yang harus tunduk pada aturan.

Rudi: (berbicara sendiri, dingin)

"Kalau mereka pikir bisa ngambil anakku, mereka salah besar. Besok, aku akan tunjukkan siapa yang berkuasa di sini."

Rudi memikirkan cara untuk mengambil alesya kembali dan balas dendam pada nya, karena dirinya telah di cap buruk oleh tetangga ini.

Ia berniat untuk menyuruh bodyguard nya menculik alesya pada larut malam

Rudi duduk di ruang tamu dengan rokok menyala di tangan. Ia menghubungi Toni, bodyguard-nya, dengan tatapan penuh amarah.

Toni: (mengangkat telepon, suara rendah)

"Iya, Pak Rudi. Ada perintah apa?"

Rudi: (dengan nada dingin dan tajam)

"Toni, malam ini aku mau kamu ambil Alesya dari rumah keluarga Dava."

Toni: (sedikit terkejut, tapi mencoba tetap tenang)

"Rumah orang yang ikut campur urusan Bapak itu? Tapi, Pak... rumah mereka ada penjaga malam."

Rudi: (menggeram, memukul meja)

"Penjaga malam itu urusanmu! Aku nggak peduli ada siapa di sana. Aku nggak mau ada orang sok pahlawan yang ngurusin hidupku. Mereka pikir bisa lindungi anak itu dari aku? Mereka salah besar."

Toni: (nada hati-hati)

"Baik, Pak. Tapi ini butuh rencana matang. Apa saya harus langsung masuk lewat depan?"

Rudi: (tertawa sinis)

"Bodoh! Tentu saja tidak. Kamu harus masuk dari belakang rumah. Tunggu sampai larut malam, saat mereka semua lengah. Jangan buat suara sekecil apa pun, Toni. Aku nggak mau ada satu tetangga pun yang tahu soal ini."

Toni: (mengangguk pelan, meski Rudi tidak bisa melihatnya)

"Saya mengerti, Pak. Kalau Alesya melawan?"

Rudi: (dengan dingin)

"Kalau dia berontak, bungkam dia. Aku nggak peduli dia menangis atau memohon. Anak itu harus kembali ke rumah ini malam ini juga. Mereka nggak punya hak buat ambil dia dariku."

Toni: (menghela napas pendek, mencoba menyembunyikan keraguannya)

"Baik, Pak. Saya akan jalankan perintah Bapak. Jam berapa saya bergerak?"

Rudi: (dengan tegas)

"Tunggu sampai lewat tengah malam. Perhatikan rumah itu dulu. Pastikan semua lampu sudah mati. Begitu sepi, langsung eksekusi. Aku nggak mau dengar alasan apa pun kalau kamu gagal."

Toni: (dengan suara mantap)

"Dimengerti, Pak. Saya akan pastikan semuanya beres."

Rudi: (tertawa kecil, penuh kebencian)

"Bagus. Ingat, Toni, ini bukan cuma tentang anak itu. Ini tentang harga diriku. Jangan kecewakan aku."

Toni: (dengan nada tegas)

"Saya paham, Pak. Saya akan lakukan apa yang diperlukan."

Rudi: (menutup telepon tanpa basa-basi, lalu menghembuskan asap rokok dengan wajah penuh kemarahan)

"Keluarga sok pahlawan itu akan tahu akibatnya ikut campur urusanku."