Rudi berdiri di tengah ruang kerjanya, memegang gelas whisky dengan tangan bergetar. Bukan karena takut, melainkan karena amarah yang membara. Di hadapannya, Toni dan dua anak buahnya berdiri dengan kepala tertunduk, tahu bahwa kegagalan mereka akan memancing murka sang majikan.
Rudi: (membanting gelas ke lantai, suaranya menggema)
"Dasar kalian tidak berguna! Apa sulitnya membawa seorang anak perempuan keluar dari rumah itu?!"
Toni: (dengan nada menyesal)
"Maaf, Pak Rudi. Kami sudah berusaha, tapi keluarga itu terbangun. Situasinya tidak memungkinkan."
Rudi: (menatap Toni dengan tatapan tajam)
"Alasan! Kalian bahkan tidak bisa menyelesaikan tugas sederhana ini! Aku bayar kalian mahal, dan kalian mempermalukan aku!"
Toni mencoba membuka mulut untuk menjelaskan, tetapi Rudi menunjuknya dengan jari gemetar.
Rudi: (berteriak keras)
"Diam! Aku tidak mau dengar apa-apa lagi. Kegagalan kalian ini membuatku semakin muak! Anak itu... anak itu memang tidak tahu diri sejak lahir!"
Rudi mulai berjalan mondar-mandir dengan gelisah, pikirannya penuh kebencian terhadap Alesya.
Rudi: (berbicara pada dirinya sendiri, penuh dendam)
"Dia anak yang membawa sial. Seharusnya aku menyingkirkan dia sejak awal. Sekarang dia malah berlindung di rumah orang lain, seperti pengemis tak tahu malu."
Toni: (hati-hati bertanya)
"Jadi, apa perintah selanjutnya, Pak?"
Rudi: (menghentikan langkah, menatap Toni tajam)
"Tidak ada lagi perintah untuk sekarang. Aku akan membuat rencana baru. Tapi ingat ini, Toni: aku tidak akan kalah dari siapa pun yang mencoba melawan aku."
Toni dan anak buahnya hanya bisa mengangguk sebelum Rudi mengusir mereka keluar dengan satu gerakan tangan penuh kebencian.
Sementara setelah kejadian itu, Alesya duduk di sudut kamar tamu, tubuhnya masih gemetar. Peristiwa tadi sore kembali terulang dalam pikirannya, seperti mimpi buruk yang tak kunjung selesai. Bayangan dua pria asing yang mencoba menariknya keluar dari rumah terus menghantui. Ia ingat bagaimana mereka memegang lengannya erat, memaksanya keluar, sementara ia berteriak meminta tolong.
Beruntung, Nyonya Clara keluar tepat waktu, memergoki aksi mereka dan memanggil tetangga untuk menolong. Para pria itu akhirnya kabur, meninggalkan Alesya yang terguncang. Namun, rasa takut dan trauma itu tetap membekas, membuat Alesya merasa tak lagi aman di mana pun, bahkan di rumah Dava yang sebelumnya membuatnya nyaman.
Alesya menggenggam erat lututnya, mencoba menahan air mata yang terus mengalir. Di atas meja kecil di samping tempat tidur, ia melihat gunting yang tadi ia gunakan untuk memotong label baju. Sebuah ide gelap mulai tumbuh di benaknya.
"Aku nggak bisa terus seperti ini," bisiknya pelan, suaranya hampir tak terdengar. "Kalau aku pergi, semuanya akan selesai. Aku nggak akan jadi beban lagi."
Dengan tangan gemetar, Alesya mengambil gunting itu. Ia menatap bilah tajamnya, merasa campuran takut dan putus asa yang semakin menyesakkan dada. Air matanya terus mengalir, membasahi pipinya yang masih terlihat pucat.
Namun, tepat saat ia mengangkat gunting itu ke pergelangan tangannya, pintu kamar terbuka perlahan.
"Alesya?" suara lembut Nyonya Clara memecah keheningan.
Alesya terkejut, tubuhnya menegang. Ia buru-buru menyembunyikan gunting itu di balik tubuhnya, tapi gerakannya yang terburu-buru membuat Nyonya Clara langsung curiga. Wanita paruh baya itu berjalan mendekati Alesya dengan hati-hati, membawa segelas susu hangat di tangannya.
"Tante cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja," kata Nyonya Clara lembut, meletakkan gelas susu di meja. Tatapan matanya jatuh pada tangan Alesya yang tampak gemetar di balik tubuhnya. "Alesya, apa yang kamu sembunyikan?"
"Nggak... nggak ada, Tante," jawab Alesya gugup, suaranya bergetar.
Nyonya Clara duduk di tepi ranjang, mendekati Alesya perlahan. "Sayang, Tante tahu kamu sedang sangat takut. Tapi Tante ada di sini untuk kamu. Apa pun yang kamu rasakan, kamu nggak sendirian."
Alesya tak sanggup lagi menahan emosinya. Tangannya yang memegang gunting mulai melemah, dan ia menyerahkannya pada Nyonya Clara dengan air mata yang tak henti mengalir.
"Aku... aku cuma ingin semua ini selesai, Tante," ujarnya di antara isak tangis. "Aku nggak bisa lagi. Aku terlalu capek."
Nyonya Clara mengambil gunting itu dengan hati-hati dan meletakkannya di atas meja, jauh dari jangkauan Alesya. Kemudian, ia memeluk Alesya erat, membiarkan gadis itu menangis di pelukannya.
"Alesya, apa yang terjadi tadi memang menakutkan, tapi kamu selamat sekarang. Kamu di tempat yang aman," ujar Nyonya Clara dengan suara lembut. "Tante tahu semuanya terasa berat, tapi menyerah bukan jawabannya. Kamu lebih kuat dari apa yang kamu pikirkan."
Alesya terus menangis, mencurahkan semua ketakutan dan kesedihannya. Ia merasa begitu kecil, begitu tidak berarti.
"Tapi kenapa mereka ingin menculik aku, Tante?" tanya Alesya di sela isaknya. "Apa aku memang nggak punya hak untuk hidup normal?"
Nyonya Clara mengusap lembut rambut Alesya. "Itu bukan salah kamu, Sayang. Orang-orang jahat di luar sana mungkin ingin menyakitimu, tapi kamu punya orang-orang yang peduli. Tante, Dava, dan lainnya akan selalu ada untuk kamu."
Alesya mengangkat wajahnya yang penuh air mata, menatap Nyonya Clara dengan tatapan bingung. "Tante yakin... aku pantas hidup?"
"Lebih dari itu, Sayang," jawab Nyonya Clara sambil menggenggam tangan Alesya erat. "Kamu pantas bahagia."
Alesya hanya bisa menangis dalam pelukan Clara, mengeluarkan semua rasa sakit yang selama ini ia pendam.
Saat Clara memeluk Alesya dengan erat, tubuh gadis itu tiba-tiba melemas. Tangannya yang tadinya menggenggam lengan Clara jatuh perlahan. Clara terkejut saat merasakan berat tubuh Alesya yang sepenuhnya bersandar padanya.
Clara: (panik, mengguncang tubuh Alesya)
"Alesya! Alesya, bangun, sayang! Tolong, bangun!"
Clara berteriak histeris. Dava yang sedang berada di kamar mendengar suara ibunya dan langsung berlari menuju kamar tamu.
Dava: (kaget melihat kondisi Alesya)
"Ibu! Ada apa? Kenapa Alesya?!"
Clara: (menangis, sambil memeluk tubuh Alesya yang tak sadarkan diri)
"Dia pingsan, Dava! Cepat panggil Papa, kita harus bawa dia ke rumah sakit!"
Dava segera berlari keluar kamar untuk memanggil ayahnya. Beberapa menit kemudian, Dava dan ayahnya datang dengan tergesa-gesa. Mereka membawa Alesya ke mobil dan melaju menuju rumah sakit.
---
Di rumah sakit
Di ruang tunggu, Clara duduk gelisah, tangannya terus menggenggam tangan Dava. Sementara suaminya berdiri, berjalan mondar-mandir dengan cemas.
Tidak lama kemudian, dokter keluar dari ruang pemeriksaan. Clara segera berdiri, begitu pula Dava dan suaminya.
Dokter: (dengan nada serius)
"Apa kalian keluarga Alesya?"
Clara: (dengan gugup)
"Kami yang merawatnya sekarang, Dok. Bagaimana keadaannya?"
Dokter: (menarik napas panjang sebelum menjawab)
"Secara fisik, dia tidak mengalami luka serius. Namun secara psikologis, kami menemukan tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dia sedang mengalami gangguan mental akibat stres yang berat. Sepertinya ini sudah berlangsung cukup lama."
Clara menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan tangis.
Dava: (tidak percaya, dengan suara bergetar)
"Gangguan mental? Tapi... bagaimana, Dok? Apa yang harus kami lakukan?"
Dokter: (menatap Dava dengan serius)
"Dia membutuhkan dukungan emosional yang sangat besar. Jika tidak segera ditangani, kondisinya bisa semakin parah. Saya sarankan untuk menemui psikolog atau psikiater untuk membantu proses pemulihannya."
Clara: (dengan suara pelan, hampir tidak terdengar)
"Tuhan, kasihan sekali dia..."
---
Di ruang rawat inap
Clara masuk ke kamar Alesya, yang kini terbaring dengan selang infus di tangannya. Matanya masih terpejam, tetapi wajahnya terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Clara duduk di kursi di samping ranjang, menggenggam tangan Alesya dengan penuh kasih.
Clara: (berbisik, dengan air mata menetes)
"Alesya, kamu nggak sendirian. Tante di sini, Dava di sini, kami semua sayang sama kamu. Tolong jangan menyerah, ya, sayang?"
Dava yang berdiri di belakang ibunya hanya bisa menatap dengan mata yang berkaca-kaca. Di hatinya, ia berjanji untuk selalu melindungi Alesya, apa pun yang terjadi.
Dava: (dalam hati)
"Aku nggak akan biarkan siapa pun menyakiti kamu lagi, Les. Aku janji."
Malam itu menjadi awal baru bagi Alesya. Meskipun perjalanan ke depannya tidak mudah, keluarga Dava memutuskan untuk menjadi tempat yang aman bagi Alesya, mengangkatnya dari kegelapan menuju harapan