Pagi yang Cerah di Antara Mawar Putih
Matahari pagi menyinari pekarangan rumah, embun masih menempel di daun-daun. Alesya, gadis cantik berusia 14 tahun, sedang menyirami bunga mawar putih di pagar rumahnya. Rambutnya yang panjang terurai, sesekali tergerai tertiup angin. Mawar-mawar itu tampak bermekaran indah, seolah menjadi saksi bisu dari perjalanan hidupnya yang penuh luka.
Di seberang, Dava Narendra Pratama, tetangga baru yang diam-diam selalu memperhatikannya, sedang duduk di beranda rumahnya. Pemuda tampan itu memiliki kulit putih bersih, hidung mancung, dan tubuh atletis yang membuat siapa pun terpikat. Hari ini, keberaniannya muncul untuk menghampiri Alesya.
Dava: (tersenyum, berjalan mendekat)
"Hai, Alesya."
Alesya: (terkejut sedikit, lalu tersenyum malu-malu)
"Ehh... hai, Dava."
Dava: (menatap bunga-bunga di sekelilingnya)
"Kamu sering banget aku lihat di sini, nyiram bunga mawar putih. Kamu suka banget ya sama bunga ini?"
Alesya: (tersenyum samar, sambil melanjutkan menyiram)
"Hehe... iya, ini bunga favorit Ibu aku dulu. Sejak Ibu pergi, aku ngerasa bunga ini jadi kenangan yang bisa aku simpan."
Dava terdiam sejenak, merasakan beban di balik senyuman Alesya. Ia pernah mendengar dari tetangga bahwa keluarga Alesya tidak harmonis. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh.
Dava: (berusaha mencairkan suasana, sambil bercanda)
"Kalau gitu, mau aku beliin mawar putih yang lebih banyak nggak? Biar kamu makin inget sama Ibu kamu."
Alesya: (tertawa kecil, lalu menggeleng cepat)
"Ehh... nggak usah, Dava. Segini aja udah cukup kok. Aku udah seneng."
Obrolan mereka terus berlanjut, sesekali diselingi tawa kecil. Namun, di balik senyum Alesya, ada kesedihan yang sulit disembunyikan. Setelah beberapa menit, mereka mengakhiri percakapan, dan Alesya kembali masuk ke dalam rumah.
Malam yang Mencekam
Malam itu, suasana di rumah Alesya berubah drastis. Ayahnya, Rudi, duduk di meja makan dengan wajah merah padam. Kekalahan besar di judi online membuat emosinya memuncak. Gelas-gelas di depannya sudah kosong, menandakan bahwa ia telah menenggak minuman keras.
Rudi: (berteriak dari ruang makan)
"Alesya! Cepat masak makanan buat Ayah! Jangan ngelamun terus!"
Alesya, yang sedang membereskan dapur, segera menyiapkan makanan seadanya. Ia tahu tidak ada gunanya menolak atau menjelaskan apapun. Setelah beberapa menit, ia membawa sepiring nasi goreng ke meja makan. Namun, lantai dapur yang licin membuatnya terpeleset, dan piring yang ia bawa jatuh ke lantai. Makanan itu berantakan, dan suara piring pecah menggema di rumah.
Rudi berdiri dengan cepat, menatap tajam ke arah Alesya.
Rudi: (berteriak, penuh kemarahan)
"Kamu tuh nggak pernah bisa bener, ya?! Apa susahnya masak makanan doang?!"
Alesya: (berlutut di lantai, matanya berkaca-kaca)
"Ma-maaf, Ayah... Aku nggak sengaja."
Rudi: (mendekat, wajahnya semakin gelap)
"Nggak sengaja? Hidup kamu isinya cuma bikin susah orang! Kamu yang bikin Ibu kamu pergi! Kamu bikin aku nggak punya apa-apa lagi! Dasar anak nggak berguna!"
Ucapan itu menghantam hati Alesya seperti palu besar. Tubuhnya gemetar, air mata mengalir tanpa bisa ia tahan. Rudi meraih rotan dari sudut ruangan, lalu mengayunkannya ke tubuh Alesya yang masih terjatuh di lantai.
Alesya: (menjerit kesakitan, mencoba melindungi tubuhnya dengan tangan)
"Ayah, tolong... Aku nggak sengaja... Maaf, Ayah!"
Namun, Rudi terus memukulinya tanpa ampun. Bentakan dan suara rotan yang menghantam kulit Alesya memenuhi ruangan.
---
Kedatangan Dava
Di rumah sebelah, Dava duduk di ruang tamu bersama kedua orang tuanya. Malam itu terasa tenang hingga suara jeritan dari rumah Alesya membuyarkan suasana.
Dava: (menoleh ke arah jendela, wajahnya cemas)
"Itu... suara dari rumah Alesya."
Suara teriakan semakin keras, diikuti dengan bunyi benda pecah. Dava langsung berdiri, tubuhnya tegang.
Dava: (berbicara cepat kepada orang tuanya)
"Ada yang nggak beres di sana. Aku harus ke sana sekarang!"
Ibu dan ayahnya mencoba menahannya, tapi Dava sudah melangkah keluar. Sesampainya di depan rumah Alesya, suara tangisan dan bentakan semakin terdengar. Tanpa ragu, Dava mengetuk pintu dengan keras.
Dava: (berteriak dari luar, panik)
"Alesya! Alesya, buka pintunya!"
Tidak ada jawaban. Dava memutuskan untuk mendobrak pintu. Begitu masuk, ia melihat pemandangan yang membuatnya terdiam. Alesya terbaring di lantai, tubuhnya penuh luka, sementara Rudi berdiri dengan rotan di tangannya.
Dava: (berjalan cepat mendekat, matanya tajam menatap Rudi)
"Berhenti! Apa yang kamu lakukan?! Dia anakmu sendiri!"
Rudi menoleh dengan wajah yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.
Rudi: (sinis, dengan suara penuh kebencian)
"Anak?! Dia cuma beban buat aku!"
Dava tidak lagi mempedulikan Rudi. Ia segera menghampiri Alesya, mengangkat tubuhnya yang lemah.
Dava: (berbisik lembut, suaranya bergetar)
"Alesya... kamu aman sekarang. Aku nggak akan biarkan ini terjadi lagi."
Orang tua Dava yang tiba tidak lama kemudian membantu menenangkan situasi. Ibu Dava memeluk Alesya dengan penuh kasih, sementara ayah Dava berbicara tegas kepada Rudi. Di saat itu, Dava tahu ia harus melakukan sesuatu untuk melindungi Alesya dari neraka yang disebut rumah
Alesya hanya bisa menunduk, air mata mengalir di pipinya. Rasa sakit di tubuhnya terasa sebanding dengan luka yang ada di dalam hatinya. Ia tidak tahu harus berbuat apa
"Kata nya ayah adalah cinta pertama anak perempuan nya, tapi kenapa ayah ku menjadi luka pertama ku"
Alesya zeartha