Sekembalinya dari rumah Marhatsel, Dakron dan Marie segera pulang untuk melihat kembali Vaira yang berada di rumah mereka.
"Sayang, bagaimana? Masih ada yang sakit? Kita ke dokter lagi?" tanya Marie lembut sambil memeriksa tubuh gadis kecil itu.
Vaira hanya menggeleng pelan, menyatakan bahwa ia tidak mau dibawa ke rumah sakit. "Aku baik-baik saja, Bibi," jawabnya lirih. Ia tidak ingin merepotkan kedua orang di depannya, yang telah begitu baik merawatnya.
Marie menghela napas, matanya berkaca-kaca melihat wajah kecil itu yang masih tampak memar. Sementara itu, Dakron berlutut di hadapan Vaira, menatap gadis kecil itu dengan lembut. "Vaira, dengarkan Paman baik-baik. Mulai hari ini, kau adalah putri dari Paman dan Bibi. Jangan panggil kami Paman atau Bibi lagi, tapi panggil Ibu dan Ayah. Kamu mau, kan, sayang?" tanyanya dengan suara penuh kasih.
Vaira terdiam sejenak. Kata-kata Dakron menggema di kepalanya. Ia yang selama ini merindukan sosok ayah dan ibu tiba-tiba merasa seperti mimpi. Air matanya mulai mengalir. "Benarkah? Aku akan punya Ayah dan Ibu?" bisiknya, seolah tidak percaya.
Dakron mengangguk, tersenyum lembut. "Benar, sayang. Mulai sekarang, kami adalah orang tuamu. Tidak ada lagi rasa sakit, tidak ada lagi ketakutan. Kamu aman di sini bersama kami."
Vaira menangis, kali ini bukan karena rasa sakit atau ketakutan, melainkan haru yang begitu mendalam. Benarkah ia tidak akan disiksa lagi seperti sebelumnya? Benarkah ia akan memiliki keluarga seperti anak-anak lain?
Melihat Vaira menangis, Marie dan Dakron segera memeluk gadis kecil itu. Pelukan mereka hangat, memberikan rasa aman yang sudah lama hilang dari kehidupan Vaira. "Kami menyayangimu, Vaira," bisik Marie sambil membelai rambutnya.
Dakron dan Marie memang tidak memiliki anak. Mereka adalah saudara jauh dari Marhatsel dan sudah lama mengenal Vaira. Gadis kecil itu selalu dikenal ramah dan lembut. Sejak lama, mereka ingin mengasuh Vaira sebagai anak mereka, tetapi mereka segan untuk mengutarakan niat itu kepada Marhatsel. Meskipun Marhatsel memperlakukan Vaira dengan buruk, mereka tahu lelaki tua itu tidak memiliki siapa pun selain cucunya. Vaira adalah satu-satunya pengingat dari Laura, putrinya yang telah tiada.
Namun, melihat kondisi Vaira yang semakin parah dan mendengar pengakuan dari gadis itu sendiri, mereka tidak bisa lagi tinggal diam. Hati mereka hancur mengetahui bahwa Vaira telah begitu lama menderita dalam diam. Kini, mereka tidak ingin lagi membiarkan gadis itu kembali ke lingkungan itu.
Setelah memeluk Vaira, Dakron berdiri dan berkata dengan tegas, "Marie, kita harus mengurus semuanya. Aku tidak ingin Marhatsel memiliki kesempatan lagi untuk menyakiti anak ini."
Marie mengangguk setuju. "Kita akan pastikan Vaira tumbuh dengan cinta dan kebahagiaan, seperti seharusnya anak-anak lain."
Hari-hari berlalu, dan Vaira perlahan mulai merasa nyaman dengan kehidupan barunya. Marie mengajarinya cara memasak makanan sederhana, sementara Dakron mengajari Vaira membaca cerita-cerita menarik sebelum tidur. Mereka melakukan segala cara untuk membuat Vaira merasa dicintai.
Beberapa bulan kemudian, kehidupan Vaira berjalan dengan penuh keceriaan. Suatu pagi yang cerah, terdengar suara lembut dari ibunya, Marie, yang membangunkannya.
"Selamat pagi, sayang. Sudah bangun?" tanya Marie dengan senyuman hangat.
"Iya, bu," jawab Vaira sambil menguap.
"Hari ini hari pertama kau sekolah, kan? Sarapan dulu sebelum pergi," kata Marie dengan penuh perhatian.
Vaira hanya mengangguk dan segera duduk di meja makan. Mereka pun sarapan bersama, diiringi canda tawa yang membuat suasana pagi terasa hangat dan penuh kebahagiaan. Setelah selesai sarapan, Vaira bersiap untuk berangkat ke sekolah.
Hari pertama di sekolah pun tiba, dan Vaira merasa sedikit cemas, namun ia berusaha untuk tetap tenang. Dengan semangat, ia berjalan menuju sekolah. Sepulang sekolah, ayahnya, Dakron, menjemputnya. Dakron menunggu di depan gerbang sekolah dengan sepeda tua kesayangannya.
"Bagaimana tadi sekolahnya?" tanya Dakron sambil tersenyum.
"Baik, ayah. Aku bisa menjawab pertanyaan guru dengan benar. Aku juga dijadikan sekretaris kelas, dan aku punya banyak teman!" jawab Vaira dengan penuh semangat.
Mendengar itu, Dakron tertawa kecil, bangga dengan pencapaian putrinya. Mereka pun melanjutkan perjalanan pulang dengan sepeda, sambil bercerita tentang kegiatan di sekolah. Sesampainya di rumah, Vaira merasa ingin segera bermain, seperti biasanya. Ia selalu merasa nyaman berada di hutan dekat rumah mereka, di tepi sungai kecil yang mengalir dengan tenang. Hutan itu selalu memberinya kedamaian, dan ia bisa menikmati keindahan alam sambil bermain.
Vaira berjalan menuju hutan, menyusuri jalan setapak yang sudah dikenalnya. Ia senang sekali melihat bunga-bunga hutan yang bermekaran dan serangga-serangga kecil yang berlarian. Ketika berjalan lebih jauh, Vaira tiba-tiba melihat seorang pemuda yang sedang berjalan terseok-seok. Kakinya terlihat berdarah, dan pemuda itu tampak kesulitan berjalan.
Tanpa berpikir panjang, Vaira segera menghampiri pemuda itu. Kebiasaannya yang ramah kepada orang lain membuatnya langsung merasa ingin membantu.
"Hei, kamu kenapa? Kaki kamu berdarah," tanya Vaira dengan khawatir.
Pemuda itu tersenyum lemah, namun jelas terlihat rasa sakit di wajahnya. "Aku tersandung batu dan terjatuh, tapi aku baik-baik saja," jawabnya pelan.
Namun, Vaira tak tega membiarkan pemuda itu berjalan sendiri. Dengan hati-hati, ia membantunya untuk berdiri dan memapahnya menuju tempat yang lebih aman. "Ayo, aku bantu kamu," kata Vaira, tetap dengan senyuman di wajahnya.
Pemuda itu terkejut melihat kebaikan hati Vaira.
Vaira mendudukkan pemuda itu di bawah pohon besar, berusaha memberikan rasa nyaman. "Tunggu sebentar, aku akan bantu agar lukamu tidak terlalu sakit," kata Vaira dengan lembut.
Dengan cepat, Vaira mulai mempraktikkan apa yang biasa dilakukan ayahnya jika ia terluka. Ia mengambil sapu tangan kesayangannya, sapu tangan yang memiliki bordiran namanya, Vaira, yang dijahit penuh kasih oleh ibu angkatnya, Marie. Saputangan itu selalu menjadi barang yang sangat berarti bagi Vaira.
Ia kemudian mencari daun-daun di sekitar tempat itu, daun yang ia tahu bisa membantu mengobati luka. Informasi ini ia dapatkan dari ayahnya yang selalu mengajarkan tentang obat-obatan alami. Setelah menemukan daun-daun yang tepat, Vaira meremasnya dengan hati-hati, lalu mengoleskannya pada luka di kaki pemuda itu.
Pemuda itu sedikit meringis menahan rasa perih, namun Vaira hanya tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, sedikit perih. Tapi daun ini sangat bagus untuk menyembuhkan luka," jelas Vaira, sambil menunduk dan dengan lembut mengembuskan nafasnya di atas kaki pemuda yang terluka.
Setelah beberapa saat, Vaira merasa cukup dan kemudian mengambil sapu tangannya yang sudah dibasahi dengan cairan daun untuk mengikat luka pemuda itu agar tetap tertutup. Ia mengikatnya dengan hati-hati, memastikan agar lukanya terlindungi.
"Nah, sudah selesai," kata Vaira dengan senyuman puas. "Sekarang kamu bisa istirahat, luka kamu sudah lebih baik."
Pemuda itu menatap Vaira dengan rasa terima kasih yang mendalam. Ia tak bisa menyangka akan bertemu seseorang sebaik dan sepenuh hati seperti Vaira. "Terima kasih banyak," ucapnya pelan, mencoba berdiri.