Vaira memapah pemuda yang terlihat lebih tua dan lebih tinggi darinya. Meskipun agak kesulitan, Vaira tetap berusaha dengan segenap tenaga, merasa tanggung jawab untuk membantu. Ternyata, pria itu tinggal di rumah utama, pikir Vaira. Ia sempat melihat bangunan besar dari kejauhan, dan kini semakin yakin setelah mengantar pemuda itu ke depan pintu rumah yang megah.
"Terima kasih banyak, Vaira. Aku rasa aku bisa berjalan sendiri sekarang," kata pria itu sambil tersenyum lemah.
Vaira mengangguk. "Aku harus pergi, kata ayah sebenarnya aku tidak boleh kesini. Byeee, hati-hati yaa lain kali," ucap Vaira sambil berlari kembali ke rumahnya, dengan sedikit khawatir karena telah melanggar peraturan ayahnya.
Laki-laki itu terdiam, menatap kepergian Vaira dengan rasa terima kasih dan sedikit kebingungan. Siapa anak itu sebenarnya? Kenapa ia begitu peduli meskipun mereka baru bertemu?
Sesampainya di rumah, Vaira langsung disambut dengan senyuman hangat dari ibunya, Marie.
"Baru selesai main di hutan lagi ya, peri kecil ibu?" tanya Marie sambil tersenyum.
"Iya, bu," jawab Vaira dengan ceria, "Tadi aku memetik berry, tapi lupa membawanya. Hehehe."
Marie tertawa pelan. "Tidak apa-apa, berry yang kau petik kemarin masih banyak. Ibu sudah membuat pie berry kesukaanmu, makan dulu sana. Ibu mau melanjutkan menjemur kain."
"Wah, enaknya! Terima kasih, ibu," ucap Vaira dengan gembira. Ia segera berlari menuju dapur dan menyantap potongan pie berry dengan lahap. Rasa manis pie itu langsung membuatnya merasa lebih baik setelah kegiatan di luar yang cukup menguras tenaga.
Malam harinya, saat makan bersama, suasana penuh tawa dan canda. Dakron dan Marie bercerita tentang hari mereka, dan Vaira sesekali ikut menimpali dengan cerita tentang sekolah dan teman-temannya. Tiba-tiba, terdengar ketukan pintu yang keras.
"Kalian dipanggil oleh nyonya besar. Bersama dengan anak itu," kata pelayan rumah bangsawan yang datang.
Dakron dan Marie saling bertukar pandang. "Mengapa tiba-tiba nyonya besar memanggil kami, dan mengapa tiba-tiba dia mengetahui tentang anak ini?" pikir Dakron dengan cemas. Namun, mereka tidak berani melanggar perintah majikan. Tanpa banyak bicara, Dakron dan keluarganya segera berangkat menuju Istana utama.
Sesampainya di sana, mereka memberi hormat kepada nyonya besar yang duduk di ruang utama dengan sikap elegan. Nyonya besar memandang mereka dengan tatapan tajam, dan matanya kemudian beralih ke arah Vaira yang dibawa bersama orang tuanya.
Tidak mungkin itu anak pelayan itu, pikirnya. Anak ini sangat cantik. Kulitnya putih, hampir terlihat sangat pucat, pinggulnya ramping, matanya berwarna biru cerah, dan rambut coklat bergelombang yang terurai dengan indah. Pantas saja Ethan meminta untuk menemui anak ini, pikir nyonya besar, menyelidiki setiap detail penampilan Vaira dengan penuh perhatian.
Dakron dan Marie tetap berdiri diam, menunggu perintah dari nyonya besar yang belum berbicara. Suasana hening, hanya terdengar suara angin yang masuk melalui jendela yang sedikit terbuka. Vaira merasa canggung, berada di tengah-tengah perhatian nyonya besar yang begitu memikat.
"Anak ini..." Nyonya besar akhirnya berbicara, suaranya lembut namun penuh otoritas, "Sepertinya kita perlu berbicara lebih lanjut. Ada hal yang perlu dibicarakan tentang dia."
"Mengapa kau berani membawa seorang anak di lingkungan wilayah tanahku tanpa seizinku?" tanya Nyonya Besar dengan nada tajam, suaranya penuh kekuasaan yang membuat ruangan terasa lebih sempit.
Dakron dan Marie saling berpandangan sejenak, ragu untuk menjawab. Akhirnya, Dakron membungkukkan tubuhnya dan berkata dengan penuh hormat, berusaha menjelaskan dengan hati-hati. "Mohon maaf, Nyonya. Kami tidak berniat seperti itu. Anak ini adalah anak dari saudara jauh kami yang sudah lama meninggal. Seharusnya ia tinggal dengan kakeknya, namun kakeknya menyiksanya. Kami tidak sanggup melihat itu, dan akhirnya kami memutuskan untuk merawatnya dan menjadikannya anak kami. Sebenarnya kami ingin memberitahu pada Nyonya, tapi Nyonya tampak sangat sibuk, jadi kami merasa sangat segan mengganggu Nyonya dengan permasalahan sepele ini."
Nyonya Besar mendengarkan dengan serius, matanya tetap tajam menatap mereka. Wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda kesabaran. "Tapi tetap saja kau salah, Dakron. Kau tidak memberitahukan hal ini padaku. Ada orang yang tinggal di tanahku, tapi aku tidak tahu. Itu bukan hal yang sepele, itu hal yang sangat penting!" Suaranya semakin tinggi, penuh penekanan.
Dakron menundukkan kepala lebih dalam. "Kami mohon maaf, Nyonya," jawabnya dengan suara rendah, penuh penyesalan.
Nyonya Besar melanjutkan dengan suara yang lebih tegas dan penuh perintah. "Aku ingin anak itu, selama Ethan sedang berlibur, untuk membantu Ethan. Apapun yang diperintahkan oleh Ethan, dia harus melakukannya. Ia akan menjadi pembantu Ethan." Nyonya Besar menyandarkan tubuhnya pada kursi besar dengan tatapan yang penuh perhitungan.
Dakron terkejut mendengar perintah tersebut. Tanpa berpikir panjang, ia segera membalas dengan nada yang penuh keberatan. "Maaf, Nyonya, tetapi yang terikat kontrak budak hanya saya dan Marie, bukan anak itu. Dia bebas, tidak seharusnya diperlakukan seperti itu."
Namun, Nyonya Besar tidak tergoyahkan. Matanya yang tajam seolah menembus pikiran Dakron. "Aku mau dia, Dakron. Aku dengar dia sekolah, bukan? Sepulang sekolah, selama Ethan masih berlibur di sini, dia harus datang ke rumah utama dan membantu Ethan. Itu adalah perintahku, Dakron. Jangan berdebat lagi."
Keputusan Nyonya Besar sudah pasti. Dakron bisa merasakan beratnya situasi ini, hatinya bergejolak. Ia tak ingin kebebasan putri angkatnya, Vaira, diambil begitu saja. Vaira sudah cukup banyak menderita di tangan kakeknya yang jahat, dan kini ia harus menghadapi kenyataan baru yang lebih sulit.
Dakron menghela napas panjang, berusaha menahan perasaan yang bercampur aduk. "Baik, Nyonya. Kami akan mematuhi perintah Nyonya," jawabnya dengan suara berat, walaupun jelas ada kekhawatiran di hatinya.
Nyonya Besar mengangguk pelan, menyadari bahwa ia telah mendapatkan apa yang ia inginkan. "Sudah pergilah, Dakron. Jangan kembali tanpa anak itu setelah sekolah selesai. Aku akan mengawasi kalian," ucapnya dengan nada dingin, yang menandakan bahwa pertemuan ini telah berakhir.
Dakron dan Marie saling berpandangan, tidak tahu harus berbuat apa. Mereka tahu bahwa Nyonya Besar adalah wanita yang tidak bisa dilawan. Setelah memberikan hormat terakhir, mereka berdua perlahan-lahan mundur dan keluar dari ruangan dengan hati yang berat.
Vaira, yang tidak tahu apa yang telah terjadi, tetap berada di rumah. Ketika orang tuanya kembali, mereka tak langsung menceritakan apa yang telah terjadi. Namun, di wajah mereka, Vaira bisa melihat kekhawatiran yang mendalam. Ia tak tahu apa yang akan terjadi padanya, tetapi ia merasa ada sesuatu yang berubah setelah pertemuan dengan Nyonya Besar.
Di malam hari, saat mereka kembali ke rumah kecil mereka, Vaira merasa cemas. "Ayah, Ibu, apa yang terjadi? Kenapa kalian terlihat khawatir?" tanyanya dengan suara yang lembut, mencoba mengungkapkan perasaannya.
Dakron dan Marie saling berpandangan, dan akhirnya Dakron menjawab dengan suara lembut, "Nyonya Besar ingin kamu bekerja di rumah utama selama Tuan Ethan berlibur. Dia ingin kamu membantu Tuan Ethan, melakukan apa pun yang dia perintahkan."