Tiga tahun berlalu dengan cepat. Kini, Vaira telah berusia 18 tahun dan tumbuh menjadi seorang gadis muda yang cerdas. Salah satu hal yang paling menarik minatnya adalah pengobatan. Sejak kecil, ia sering merawat binatang yang terluka di hutan, dan minat itu terus berkembang seiring waktu. Setiap kali ia melihat seseorang atau hewan yang sakit, hatinya selalu tergerak untuk membantu. Cita-citanya menjadi seorang dokter.
Suatu malam, saat makan malam bersama di meja kayu sederhana rumah mereka, Dakron memulai pembicaraan penting. "Vaira, kamu mau terus melanjutkan pendidikanmu, kan? Jangan khawatir tentang biaya. Ayah dan ibu sudah mempersiapkan segalanya."
Vaira yang sedang mengunyah makanannya terdiam sejenak. Ia menundukkan kepala, ragu-ragu untuk mengungkapkan isi hatinya. Dakron dan Marie saling bertukar pandang, merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan putri mereka.
"Kenapa sayang?" tanya Dakron dengan lembut.
Vaira mengangkat wajahnya dan berkata dengan suara pelan, "Ayah, aku ingin menjadi dokter. Tapi, kalau aku mau masuk akademi kedokteran, biayanya pasti mahal, kan?"
Nada suaranya terdengar sedih. Ia tidak ingin menjadi beban bagi ayah dan ibu angkatnya yang telah bekerja keras untuk membesarkannya. Ia tahu biaya pendidikan kedokteran sangat tinggi, apalagi dengan latar belakang keluarga mereka yang sederhana.
Marie menggenggam tangan Vaira, memberikan rasa tenang. "Sayang, ayah dan ibu akan selalu berusaha untukmu. Jangan khawatir soal biaya."
Dakron mengangguk, menatap Vaira dengan penuh kasih. "Ayah sudah menduga kau akan ingin masuk akademi kedokteran, Vaira. Ayah tahu sejak kecil kau suka merawat binatang yang terluka. Jadi, selama bertahun-tahun, ayah sudah menabung untuk itu. Tenang saja, kami akan mendukungmu."
Mata Vaira mulai berkaca-kaca. Ia merasa sangat terharu dan bersyukur memiliki orang tua angkat yang begitu pengertian dan peduli padanya. "Terima kasih, Ayah, Ibu. Aku janji akan belajar dengan sungguh-sungguh. Aku tidak akan mengecewakan kalian."
Marie tersenyum hangat. "Kami sayang padamu Vaira".
Percakapan malam itu membuat Vaira termotivasi untuk mengejar cita-citanya. Hari-hari berikutnya, ia mulai fokus mempersiapkan diri untuk ujian masuk akademi kedokteran. Dakron dan Marie selalu memberikan dukungan penuh. Dakron bahkan menyempatkan diri untuk mengajarkan Vaira beberapa hal tentang pengobatan tradisional yang ia ketahui. Sementara itu, Marie selalu memastikan Vaira memiliki makanan yang bergizi dan suasana belajar yang nyaman di rumah.
Waktu terus berlalu, dan saat ujian masuk akademi kedokteran semakin dekat, Vaira semakin giat belajar. Ia sering begadang hingga larut malam, membaca buku-buku medis dan mempelajari materi yang dibutuhkan. Tidak jarang ia merasa lelah, tetapi setiap kali ia mengingat dukungan orang tua angkatnya, semangatnya selalu kembali tersulut.
Suatu sore, Dakron menemui Vaira di ruang belajarnya. Ia membawa secangkir teh hangat dan meletakkannya di meja Vaira. "Vaira, ayah tahu kau bekerja keras, tapi jangan lupa istirahat juga, ya. Kesehatanmu lebih penting."
Vaira tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih, Ayah. Aku akan berhenti sebentar setelah ini."
"Ayah percaya kamu pasti bisa, sayang," kata Dakron sambil mengusap lembut kepala Vaira. "Kamu adalah kebanggaan kami."
Hari ujian akhirnya tiba. Dengan doa dan harapan, Dakron dan Marie mengantar Vaira ke tempat ujian. Meskipun gugup, Vaira merasa percaya diri karena ia telah mempersiapkan diri dengan baik.
Setelah ujian selesai, Vaira pulang dengan perasaan campur aduk. Ia merasa lega karena telah menyelesaikan ujian, tetapi juga khawatir dengan hasilnya. Dakron dan Marie mencoba menenangkannya, meyakinkan bahwa apapun hasilnya, mereka tetap bangga padanya.
Beberapa minggu kemudian, surat pengumuman diterima. Dengan tangan gemetar, Vaira membuka surat itu di hadapan Dakron dan Marie. Matanya membesar saat membaca isinya. "Aku diterima, Ayah, Ibu! Aku diterima di akademi kedokteran!"
Tangis bahagia pecah di ruangan kecil itu. Dakron dan Marie memeluk Vaira erat. Malam itu, mereka merayakan pencapaian Vaira dengan penuh sukacita. Bagi keluarga kecil itu, mimpi Vaira adalah mimpi mereka juga, dan perjuangan mereka bersama akhirnya mulai membuahkan hasil.
Pagi itu, Vaira mengayuh sepedanya menuju kampus dengan semangat. Ia mengenakan pakaian sederhana—atasan biru muda dan rok putih—yang mempertegas pesonanya. Kulitnya putih pucat, hampir seperti porselen, matanya berwarna biru cerah yang tampak bersinar di bawah sinar matahari pagi, dan rambut cokelat bergelombang miliknya terurai indah, melambai-lambai diterpa angin. Sepeda tua yang ia gunakan mungkin sederhana, tetapi semangat dan kepercayaan dirinya membuat kehadirannya mencuri perhatian.
Di jalan, sebuah mobil mewah melintas dari arah berlawanan. Kaca jendela yang sedikit terbuka memperlihatkan seorang pemuda di dalamnya. Matanya menangkap sosok Vaira yang tengah melaju dengan anggun di atas sepedanya. "Dia sudah tumbuh menjadi gadis dewasa rupanya," gumamnya, matanya tak lepas memandang gadis itu hingga mobilnya menjauh.
—
Hari pertama Vaira di akademi berjalan dengan baik. Ia merasa puas dengan pengalamannya—teman-teman baru dan suasana belajar yang menyenangkani. Sepanjang perjalanan pulang, senyumnya tak pernah pudar. Ia begitu bersemangat untuk menceritakan semuanya kepada ayah dan ibu angkatnya, Dakron dan Marie. Baginya, mereka adalah alasan ia bisa berada di tempat ini, dan kebahagiaannya tak lengkap tanpa berbagi dengan mereka.
Namun, setibanya di rumah, bukannya disambut dengan pelukan dan perhatian seperti biasa, ia malah disambut oleh seorang pelayan. Wajahnya tampak kaku, seolah membawa kabar yang tidak biasa.
"Nona Vaira, anda dipanggil oleh Tuan ke rumah utama," kata pelayan itu dengan sopan.
Vaira mengerutkan kening, kebingungan mendengar perintah mendadak itu. "Tuan? Rumah utama?" tanyanya, setengah berpikir keras. "Tuan Ethan sudah kembali?"
"Benar, Nona. Tuan Ethan telah kembali dan beliau memanggil anda," jawab pelayan itu dengan nada tegas.
Degup jantung Vaira terasa meningkat. Sudah bertahun-tahun sejak ia terakhir kali bertemu dengan Tuan Ethan. Bayangan pemuda itu, dengan sikap dinginnya yang penuh wibawa, kembali menghampiri pikirannya. Kenapa Ethan tiba-tiba memanggilnya? Apa yang diinginkannya kali ini?
Meski bingung, Vaira tahu ia tak bisa menolak panggilan itu. Dengan hati-hati, ia meninggalkan tasnya di rumah dan bersiap menuju rumah utama.
Vaira segera membungkuk hormat begitu melihat Ethan duduk di ruang utama, mengenakan setelan jas hitam yang rapi. "Selamat sore, Tuan," ucapnya sopan, suaranya sedikit bergetar.
Ethan menatapnya dengan mata dingin dan tajam, seolah mencoba membaca pikirannya. "Kau berkuliah di fakultas kedokteran, ya?" tanyanya singkat, namun nada bicaranya mengandung tekanan yang membuat Vaira merasa diinterogasi.
Vaira mengangguk pelan. "Iya, Tuan. Saya mengambil jurusan kedokteran," jawabnya, mencoba tetap tenang meski jantungnya berdegup kencang.
Ethan yang kini ada di depannya tampak berbeda dari sosok yang ia kenal beberapa tahun lalu. Ia kini lebih berwibawa, sikapnya lebih tenang, namun jauh lebih dingin. Postur tubuhnya menunjukkan kedisiplinan dan kekuatan, dengan otot yang jelas terlihat meskipun tersembunyi di balik pakaian formalnya.
Tatapan matanya begitu menusuk, membuat Vaira merasa kecil di hadapannya. Namun, ia mencoba mempertahankan sikap hormat dan tidak menunjukkan rasa gentarnya. "Bagus," jawab Ethan akhirnya, dengan nada datar.