Pagi itu, Vaira bergegas keluar dari rumahnya dengan senyum cerah. "Aku pergi dulu ya, Bu, Ayah!" serunya sambil melambaikan tangan. Ia mengayuh sepedanya dengan semangat menuju akademi kedokteran, menikmati udara pagi yang segar dan cahaya matahari yang hangat menerpa wajahnya.
Sesampainya di kampus, Vaira bertemu dengan Anton, teman sekelas yang selalu berusaha dekat dengannya sejak hari pertama kuliah. Anton adalah pria yang selalu ramah, dengan senyuman yang tampaknya tak pernah hilang dari wajahnya.
"Naik sepeda lagi ya? Besok biar aku jemput pakai mobil, gimana?" tawar Anton sambil melirik sepeda tua yang dikendarai Vaira.
Vaira tersenyum tipis. "Enggak, Anton. Naik sepeda itu olahraga, tahu. Sehat buat badan!"
Anton tertawa kecil, melirik keringat yang membasahi dahi Vaira. "Iya, sehat banget, sampai pagi-pagi begini badanmu udah penuh keringat."
Vaira terkikik sambil mengusap peluhnya dengan tisu. "Hehehe... Aku cuma takut kalau aku bau aja."
Anton menatapnya dengan mata berbinar. "Tidak bau kok," katanya meyakinkan, lalu menambahkan dengan nada bercanda, "Tapi kalau menurut anak lain, mungkin saja bau."
Vaira berhenti berjalan, menatap Anton dengan raut wajah khawatir. "Hah? Jadi aku bau ya? Padahal aku sudah mandi, loh! Masa cuma karena keringat aja aku jadi bau?"
Anton tertawa lepas. "Enggak, enggak. Aku cuma bercanda. Kamu tetap wangi, kok."
"Jangan bohong!" rajuk Vaira, mengerucutkan bibirnya.
"Wangi, serius! Enggak ada bau sama sekali. Aku nggak bohong," jawab Anton, berusaha meyakinkannya.
Laboratorium anatomi pagi itu dipenuhi atmosfer yang khas—campuran bau bahan pengawet dari kadaver, suara bisik-bisik mahasiswa, dan denting alat-alat di meja kerja. Ruangan itu dikelilingi model kerangka manusia berdiri tegak di sudut-sudut, dengan meja-meja besar tempat kadaver diletakkan. Di tengah suasana ini, mahasiswa sudah bersiap-siap memulai pelajaran hari itu.
Bu Arnit, dosen anatomi yang tegas namun ramah, memasuki ruangan dengan senyuman kecil. "Selamat pagi semua," sapa beliau, suaranya memenuhi ruangan. "Hari ini kita akan membahas tentang anatomi makroskopis, khususnya sistem skeletal atau sistem tulang. Sistem ini adalah fondasi tubuh manusia. Coba perhatikan kerangka di depan ini. Ada berapa banyak tulang yang menyusunnya?"
Anton, yang duduk di barisan depan, mengangkat tangan sambil melirik cepat ke kerangka. "Kalau tidak salah, sekitar 206 tulang pada orang dewasa, Bu," jawabnya yakin.
"Tepat sekali," kata Bu Arnit, tersenyum puas. "Saat lahir, kita memiliki sekitar 270 tulang. Namun, seiring pertumbuhan, beberapa tulang menyatu. Sistem skeletal ini tidak hanya memberikan bentuk dan dukungan, tetapi juga melindungi organ vital, menghasilkan sel darah, dan menyimpan mineral seperti kalsium."
Vaira, yang duduk di barisan tengah, mengangkat tangan ragu-ragu. "Bu, saya ingin bertanya tentang klasifikasi tulang. Saya membaca bahwa ada tulang panjang, pendek, pipih, dan tidak beraturan. Bisakah Ibu menjelaskan lebih detail?"
"Bagus sekali, Vaira," kata Bu Arnit, matanya berbinar senang. "Klasifikasi ini memang berdasarkan bentuk tulang. Tulang panjang, seperti femur di paha dan humerus di lengan atas, berfungsi sebagai pengungkit. Tulang pendek, seperti karpal di pergelangan tangan, memberikan stabilitas. Tulang pipih, seperti tulang tengkorak dan tulang rusuk, melindungi organ dan menjadi tempat perlekatan otot. Sedangkan tulang tidak beraturan, seperti tulang belakang atau vertebra, memiliki bentuk kompleks untuk berbagai fungsi."
Anton mengangkat tangan lagi. "Bu, saya lihat banyak lubang di tengkorak. Apa fungsi lubang-lubang itu?"
"Pertanyaan yang menarik," kata Bu Arnit, mendekati tengkorak di meja. "Lubang-lubang itu disebut foramen. Fungsinya adalah memberikan jalur bagi saraf, pembuluh darah, dan ligamen. Contohnya, foramen magnum di dasar tengkorak, tempat sumsum tulang belakang terhubung dengan otak. Ada juga foramen optikum untuk saraf optik menuju mata. Coba perhatikan tengkorak ini. Bisakah kalian mengidentifikasi beberapa foramen?"
Vaira maju mendekati tengkorak dan mengamati dengan cermat. "Sepertinya ini foramen ovale, tempat saraf mandibularis lewat. Dan ini foramen rotundum, untuk saraf maksilaris."
"Excellent, Vaira!" puji Bu Arnit. "Mengidentifikasi foramen sangat penting, terutama dalam bedah saraf. Sekarang mari kita beralih ke tulang belakang. Kompleksitasnya luar biasa."
Anton mengangguk sambil memandang model tulang belakang di meja. "Saya lihat ada banyak ruas tulang. Apa saja bagian-bagiannya, Bu?"
"Tulang belakang, atau kolumna vertebralis, terdiri dari 33 ruas yang terbagi menjadi lima bagian: servikal di leher, torakal di dada, lumbal di pinggang, sakrum di panggul, dan koksigis di ekor. Setiap ruas memiliki bentuk dan fungsi unik. Contohnya, ruas servikal memungkinkan gerakan fleksibel leher, sedangkan ruas lumbal menopang beban tubuh bagian atas," jelas Bu Arnit.
"Bagaimana dengan persendian di tulang belakang, Bu?" tanya Vaira, kembali penasaran. "Saya dengar ada berbagai jenis persendian."
"Tepat sekali," jawab Bu Arnit. "Ada dua jenis utama persendian: sendi intervertebralis, yang menghubungkan antar ruas dengan bantalan cakram sebagai peredam kejut; dan sendi facet, yang memungkinkan gerakan antar ruas. Kombinasi ini memungkinkan gerakan seperti membungkuk, meluruskan, membengkok ke samping, dan memutar."
Anton mengangguk sambil mencatat. "Jadi, pemahaman detail tentang sistem skeletal ini sangat penting, ya, Bu, untuk diagnosis dan penanganan masalah kesehatan."
"Benar sekali, Anton. Pengetahuan ini adalah dasar bagi seorang dokter untuk memahami berbagai kondisi seperti patah tulang, dislokasi, skoliosis, dan lainnya," kata Bu Arnit, sambil memandu mahasiswa untuk mengamati lebih detail pada kerangka dan kadaver di meja.
Setelah kelas selesai, Vaira mengayuh sepedanya kembali ke rumah. Ketika tiba di rumah, Vaira disambut dengan senyum hangat oleh Marie. "Bagaimana harimu di kampus, Sayang?" tanya ibunya.
Vaira meletakkan tasnya di meja dan menghela napas panjang. "Lancar, Bu."
Rasa lelah setelah seharian belajar mulai terasa, namun ia tak pernah mengeluh.
Di ruang kerjanya, Ethan menunggu. Saat Vaira mengetuk pintu dan masuk, tatapan dingin Ethan langsung menyapu dirinya. "Kau terlambat," katanya singkat.
"Maaf, Tuan. Jalanan agak ramai tadi," jawab Vaira dengan kepala tertunduk.
Ethan tidak menjawab, hanya mengisyaratkan Vaira untuk duduk di kursi yang sudah disiapkan. Malam itu, Vaira menghabiskan waktunya mengerjakan tugas-tugas akademi di bawah pengawasan Ethan, yang sibuk dengan dokumen bisnisnya.
Di ruang kerja Ethan yang luas, pencahayaan dari lampu gantung kristal memberikan kehangatan pada interior kayu mahoni yang mewah. Jendela besar di sisi ruangan memperlihatkan pemandangan kebun yang tenang di malam hari, sementara suara jam dinding sesekali memecah kesunyian.
Di meja besar di tengah ruangan, Vaira duduk dengan serius. Buku-buku anatomi terbuka di depannya, kertas-kertas berserakan dengan coretan-coretan detail tentang struktur tulang. Ia memegang pensil dengan erat, menggambar garis-garis halus pada sketsa tulang lengan bawah. Wajahnya yang putih pucat tampak bercahaya dalam keheningan, alisnya sedikit berkerut, menunjukkan fokus yang mendalam.
Ethan, yang duduk di seberang meja, mengamati tanpa sepatah kata. Pandangannya tidak lepas dari Vaira, yang terlalu sibuk untuk menyadari bahwa dirinya sedang diperhatikan. Rambut cokelat bergelombangnya tergerai lembut di bahu, sesekali bergerak karena gerakan kecil tangannya. Bibir ranum itu bergerak pelan saat ia menggumamkan sesuatu, mungkin mencoba menghafal istilah medis.
Hati Ethan bergemuruh. Ada sesuatu yang mengganggu, sesuatu yang menguasainya setiap kali ia melihat gadis ini. Gadis ini begitu berbeda. Begitu... sempurna. Satu hal yang Ethan tahu dengan pasti: ia ingin memilikinya, sepenuhnya.
Keinginan itu bercampur dengan sebuah keyakinan yang sudah lama ia genggam. Gadis ini memang miliknya. Vaira tumbuh di lahan miliknya, di bawah perlindungan dan kekuasaan keluarganya.
Ethan bersandar di kursinya, mengamati bagaimana jemari lentik Vaira mencoretkan garis terakhir pada sketsanya. Dalam benaknya, satu hal berputar dengan jelas: tidak ada yang akan memisahkannya dari gadis ini. Vaira adalah miliknya—dan ia akan memastikan hal itu tetap seperti itu, apapun yang terjadi.