Michael tersenyum hangat, menatapku yang terlihat semakin nyaman. "Aku juga senang bisa ketemu Jyia. Kadang hal-hal kecil yang nggak terduga malah jadi pengalaman paling menyenangkan," katanya sambil menyesap kopinya yang mulai mendingin.
Aku mengangguk, setuju dengan kata-katanya. "Iya, bener juga. Aku nggak nyangka hari ini bakal seindah ini. Aku cuma niat jalan-jalan, eh, malah ketemu teman baru yang seru."
Michael tertawa kecil. "Bandung punya caranya sendiri buat bikin orang-orang terhubung. Apalagi di hari hujan kayak gini."
Kami berdua kembali terdiam sejenak, menikmati suasana hujan yang mulai mereda. Tetes-tetes air yang tersisa mengalir pelan di jendela, dan langit yang tadinya gelap mulai hilang. Udara di luar terasa sejuk, dan di dalam kafe, suasana semakin tenang.
"Setelah ini, rencananya kamu mau ke mana?" tanya Michael tiba-tiba, memecah keheningan.
Aku berpikir sejenak. "Aku belum tahu, sih. Karena udah mau malem juga, mungkin balik ke hotel dulu, terus istirahat. Besok baru lanjut keliling lagi."
"Oh, ya udah, kalau gitu besok mau jalan ke mana? Aku bisa kasih rekomendasi tempat-tempat seru kalau kamu butuh."
Senyumku mengembang antusias. "Aku mau banget! Tadi kan kamu bilang Dago Atas bagus, ya? Kayaknya aku bakal ke sana. Tapi aku juga pengen ke Braga, lihat suasana malamnya."
Michael mengangguk. "Braga malam hari itu klasik. Banyak bangunan tua yang dihiasi lampu-lampu jalanan. Kalau Jyia suka fotografi, perfect banget sih."
Aku menghela napas dalam-dalam, membayangkan pemandangan itu. "Aku jadi nggak sabar! Kayaknya besok bakal seru banget!"
Hujan di luar perlahan mulai reda, meskipun masih ada sisa rintik-rintik kecil. Aku melirik jam di pergelangan tanganku, menyadari bahwa sudah cukup lama kami berbicara dan langit sudah menghitam.
"Sepertinya aku harus kembali ke hotel. Teman-temanku pasti nyariin dan aku nggak bawa ponsel," ujarku dengan sedikit penyesalan.
Michael mengangguk pelan. "Aku anter aja ya? Lagipula, aku ga seharusnya biarin kamu pulang sendiri dalam kondisi seperti ini."
Kami berdiri dan berjalan keluar dari kafe, kembali berbagi payung dalam perjalanan ke hotel. Meskipun obrolan kami kini lebih tenang, ada rasa nyaman yang aneh antara kami. Selama perjalanan menuju hotel, kami terus mengobrol. Suara kendaraan yang melintas di jalanan basah menjadi latar belakang, namun tidak mengganggu keakraban yang sudah terbentuk di antara kami.
"Aku senang banget bisa ketemu kamu hari ini," kataku dengan tulus saat kami sampai di depan hotel.
"Aku juga, Jyia. Hari ini jadi lebih seru karena bisa ngobrol sama kamu," jawab Michael sambil tersenyum.
"Kapan-kapan, kalau Jyia main lagi ke Bandung, kasih tahu aku ya. Siapa tahu kita bisa jalan-jalan lagi."
Aku mengangguk sambil tersenyum lebar. "Pasti! Dan kalau kamu ke Jakarta, kasih tahu juga ya. Aku yang bakal anter kamu keliling di sana."
Kami berdua tertawa kecil sebelum tiba di depan hotel tempatku menginap, Michael tiba-tiba teringat sesuatu. "Btw Jyia, sebelum kita berpisah, gimana kalau kita tukeran nomor? Biar lebih gampang kalau kamu butuh rekomendasi tempat atau kalau kita mau jalan bareng lagi."
Aku tersenyum cerah, merasa lega karena Michael lebih dulu mengusulkan hal itu. "Iya, boleh banget! Kalau aku tiba-tiba nyasar atau butuh tanya-tanya, jadi bisa langsung hubungi kamu."
"Oke, kalau gitu, aku aja yang simpan nomor kamu ya, nanti aku chat. Dan jangan ragu buat hubungi aku setelahnya, ya. Aku senang bisa bantu."
Aku mengangguk. "Nomor aku 081122334455. Dan kamu juga, kalau suatu saat ke Jakarta, hubungi aku. Aku yang bakal jadi tour guide kamu di sana!"
Michael dengan cekatan sudah menyimpan nomorku di ponselnya, kemudian menatap diriku hangat. "Udah aku save ya."
"Oh ya, terima kasih, Michael. Untuk payungnya, dan kopinya, dan obrolannya."
"It's okay. Senang bisa ketemu kamu, Jyia. Mungkin kita bisa bertemu lagi suatu hari nanti," jawabnya, suaranya terdengar tulus.
Aku tersenyum, merasa ada sesuatu yang spesial dalam pertemuan singkat kami. "Ya, siapa tahu. Sampai jumpa."
Kami berdua tertawa, saling menyapa untuk terakhir kalinya sebelum aku masuk ke dalam hotel. Michael melambaikan tangan sebelum berbalik untuk pulang, masih merasakan kehangatan dari pertemuan yang penuh kesan itu.
𓊝
Begitu aku masuk ke dalam hotel, aku segera berjalan menuju lorong tempat kamarku berada. Suasana hotel tampak sepi, hanya suara langkah kakiku yang terdengar di lantai marmer yang dingin. Ketika aku mendekati pintu kamarku, tiba-tiba dua sosok familiar menyambutku dengan wajah penuh kekhawatiran. Ghea dan Rani, dua teman sekamarku berdiri di depan pintu kamar kami dengan tangan terlipat di dada.
"Ya ampun, Jyia! Kamu ke mana aja? Kita udah khawatir banget!" seru Ghea, matanya menatap tajam tapi ada sedikit kelegaan di wajahnya.
"Iya, kamu lama banget, kita kira kamu tersesat atau gimana, ga bawa ponsel juga dan ini udah malem," tambah Rani sambil melirik jam tangannya.
Aku tersenyum, mencoba menenangkan teman-temanku. "Maaf, maaf, aku nggak nyangka bakal lama. Aku ketemu seseorang yang ngajak aku berteduh di kafe waktu hujan deras tadi."
"Kamu ketemu siapa?" tanya Ghea dengan nada curiga, matanya menyipit seakan menyelidik.
"Namanya Michael. Dia mahasiswa di Bandung. Tadi dia bantu aku waktu hujan tiba-tiba turun, jadi kita berteduh di kafe sambil ngobrol," jelasku, berusaha agar mereka tidak khawatir lagi.
"Serius? Kamu ngobrol bareng orang yang baru kamu kenal?" kata Rani dengan suara sedikit terkejut.
Aku mengangguk, namun aku melanjutkan dengan cepat. "Iya, tapi dia orangnya baik, kok. Dia kenalin aku ke tempat-tempat bagus di Bandung untuk kita bedah besok, terus dia juga punya band! Malah tadi aku sempat dengerin lagunya di Spotify."
Ghea dan Rani saling bertukar pandang, kali ini dengan ekspresi yang lebih penasaran daripada khawatir. "Spotify? Dia punya lagu di sana? Wah, kamu beruntung banget bisa ketemu orang kayak gitu," kata Ghea dengan nada terkejut.
"Iya, tadi kita juga tukeran nomor," tambahku sambil tersenyum bangga.
Rani tertawa kecil. "Wah, kayaknya kamu dapat lebih dari sekedar liburan di Bandung, ya?"
𓊝
Malam ini langit berhiaskan bintang-bintang yang berkilau, menciptakan suasana yang penuh harapan dan kehangatan di rooftop kafe yang tak jauh dari hotel. Suasana ramai dengan tawa dan canda teman-temanku yang sudah menunggu. Akhirnya, acara perpisahan yang kami nanti-nantikan itu tiba.
Aku sedang berusaha tampil sebaik mungkin. Tapi dari ketiga sahabatku, aku adalah yang paling repot. Karena aku telat siap-siap. Semua ini berawal ketika aku baru saja bertukar pesan dengan seorang lelaki, Michael. Rasanya, pesan-pesan dari dia seperti magnet yang menarik perhatian, membuatku sulit berpaling dari layar ponselku.
"Jyia! Ini udah hampir jam delapan! Kamu mau kita datang telat, ya?" Ghea, sahabatku yang selalu bisa membuatku merasa takut, melihatku dari pantulan cermin.
"Bentar, bentar, aku tinggal balas satu pesan lagi!" jawabku cepat, sambil mengerutkan dahi. Ghea yang sudah tidak sabar memutuskan untuk merebut ponselku.
"Ayolah Jyia, temen-temen pasti nungguin kita.." Rani ikut bersuara.
"Bener! Biar aku yang balas pesannya!" Dia menulis cepat:
'Maaf ya, Jyia harus siap-siap buat acara perpisahan.
Sampai nanti!'
Setelah itu, dia mengembalikan ponselku dengan ekspresi puas.
"Eh, jangan gitu!" protesku, tapi akhirnya aku mengalah. Aku tahu Ghea benar, dan ini bukan saatnya untuk terpaku pada ponsel. Dengan bantuan Ghea dan Rani, kami bertiga akhirnya siap. Kami bertiga mengenakan outfit serasi berwarna krem. Aku pakai gaun sederhana, sementara Ghea dan Rani mengenakan atasan yang chic. Kami berasa seperti trio super.
Sesampainya di kafe, teman-teman sudah berkumpul. Mereka menyambut kami dengan kelegaan, mungkin karena sudah menunggu daritadi.
"Lama banget, sih!" Dimas berkomentar dengan nada main-main sambil menyilangkan tangan. Namun senyum lebar di wajahnya membuat semua orang tertawa.
"Haha, maaf ya! Ini semua salah Ghea!" sahutku sambil tertawa, merasa lebih nyaman.
"Yeuu, yang salah siapa yang dituduh siapa." ketus Ghea sedikit bercanda.
Tak lama, kami berpencar, mencari kesibukan sendiri sembari menunggu acara dimulai tepat jam setengah sembilan malam. Sebetulnya, aku sangat menantikan malam-malam seperti ini. Bukannya aku senang bahwa aku akan berpisah dengan teman sekelasku, tapi Arqa, sosok yang setahun belakangan telah mengisi hari-hariku.
Benar, kami menjalin hubungan backstreet sejak setahun lalu. Dan kemarin tepat hari jadi kami, meski kemarin kami bertengkar, namun aku pikir dia akan memperbaiki semuanya malam ini. Dia akan mengungkapkan perasaannya padaku di depan semua orang, mempublikasikan hubungan kami.
Ditengah riuhnya teman-teman yang asik mengobrol, aku berdiri di depan tempat minuman, memegang gelasku dengan jari-jari yang sedikit canggung. Aku mencuri pandang ke arah Arqa, yang juga berdiri tak jauh dariku, sambil menunggu giliran untuk mengisi gelas. Kami saling bertatapan tanpa sepatah kata pun, membiarkan detik-detik berlalu seperti waktu yang terhenti di antara kami.
Mataku terfokus pada wajah Arqa, yang terlihat lebih menawan malam ini dengan penampilan yang sederhana namun memikat. "Kamu ganteng dengan tampilan itu," pikirku dalam hati, senyum tipis menghiasi wajahku, meskipun bibirku tak berani mengucapkannya.
Tatapan kami menyiratkan banyak hal. "Kita udah lama nggak ngobrol ya?" pikirku, merindukan obrolan-obrolan ringan yang biasa kami lakukan disela-sela mencuri waktu.
"Aku cantik ga malam ini?" tanyaku dalam hati, berusaha mencari kepastian dari tatapan Arqa. Aku berharap Arqa melihatku dengan cara yang sama seperti sebelumnya, dengan tatapan penuh cinta dan perhatian. Namun, sesuatu terasa berbeda.
Arqa menatapku dengan mata yang dalam, tetapi ada sesuatu yang hilang. "Tatapan ini bukan lagi cinta," aku merasakan perubahannya, dan itu menyakitkan.
Aku menggigit bibirku, mencoba mencari keberanian untuk berbicara, tetapi lidahku terasa berat. Arqa juga tampak terdiam, seolah sedang berjuang dengan pikirannya sendiri. "Ayo kita ketemuan setelah acara ini," harapku, meskipun aku tahu itu hanya angan-angan yang mungkin tak terwujud.
Saling menatap, kami berdua merasakan getaran yang berbeda. Aku ingin sekali mendekat, tapi jari-jariku terasa kaku. Aku ingin Arqa tahu betapa aku merindukan kehadirannya. Namun, Arqa tampak terjebak dalam pikirannya sendiri, seolah ada hal yang ingin ia sampaikan, tetapi tak bisa.
"Apakah kamu merasakan ini juga?" aku bertanya dalam hati, berharap ada jawaban dari tatapan Arqa. Aku merasakan campuran harapan dan ketakutan yang menyelubungi diriku. Saat kami saling menatap, dunia di sekitar seolah menghilang, meninggalkan hanya kami berdua dalam keheningan yang mendalam. Tapi mungkin itu hanya ada dalam imajinasiku.