Sepanjang perjalanan, suasana hening antara aku dan Michael semakin menegangkan. Radit dan Pak Gavriel terlibat dalam percakapan tentang mobil dan rencana mereka ke depan. Aku hanya mendengarkan, berusaha menenangkan diri, berusaha tidak terjebak dalam pikiran tentang masa lalu.
"Aku khawatir Jyia sakit. Dia kelihatan lesu?" Radit tiba-tiba berkata, menatapku dengan cemas. "Bos, apa kamu baik-baik aja?"
"Tenang, Radit. Saya baik-baik aja," jawabku, berusaha meyakinkan mereka. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Namun, meskipun aku bilang baik-baik saja, rasa di dalam hatiku tidak bisa berbohong. Kenangan-kenangan yang pernah ada di antara kami terasa terlalu berat untuk ditinggalkan. Momen itu seolah mengikatku kembali kepada Michael, kepada cinta pertama yang selalu terukir dalam ingatanku.
Sementara Radit dan Pak Gavriel melanjutkan obrolan mereka, aku membiarkan diri terbenam dalam pikiranku sendiri, berusaha mencari tahu bagaimana caranya untuk terus melangkah ke depan tanpa melupakan apa yang telah terjadi di masa lalu. Dalam hening, aku berharap suatu saat, aku akan bisa menemukan kembali diriku sendiri, meskipun bayangan Michael selalu menyertai.
Begitu mobil berhenti di depan hotel, Radit dan Pak Gavriel sudah turun lebih dulu. Michael dan aku saling berpandangan sejenak, dan dalam tatapan itu, ada sebuah kesepakatan yang tidak terucapkan—bahwa meskipun jalan kami telah terpisah, ikatan itu tidak pernah sepenuhnya pudar.
"Baiklah, kita harus masuk," ucapku akhirnya, berusaha merangkai kata-kata untuk menutup momen ini.
"Ya, kita harus," jawabnya pelan, menahan tatapannya padaku. "Jaga diri, Jyia. Aku berharap yang terbaik untukmu."
Aku mengangguk, dan saat melangkah keluar, ada rasa yang mengganjal di hati—rindu untuk sebuah masa yang tidak mungkin kembali, tetapi di sisi lain, keinginan untuk melihatnya bahagia.
Kami berpisah di pintu hotel, dan meskipun kami telah berusaha untuk tidak saling mengenang, bayangan masa lalu tetap menghantui langkahku. Seolah semua yang terjadi tidak lebih dari sebuah lingkaran, di mana setiap pertemuan hanya membawa kembali kenangan yang seharusnya sudah lama tertinggal.
Sebuah babak baru mungkin sudah dimulai, tetapi bagi kami, bagian dari kisah lama ini mungkin akan terus hidup di dalam hati kami masing-masing.
𓊝
Aku baru saja selesai mandi, dan rasa segar yang seharusnya kutemukan setelahnya justru tak sepenuhnya terasa. Wajahku di cermin memantulkan seseorang yang tampak lelah, meskipun rautnya tampak tenang. Pertemuan dengan Pak Gavriel tadi memang berjalan lancar, namun entah kenapa, ada yang tidak terasa benar. Sesuatu mengganjal dalam diriku, seperti jejak samar yang tertinggal dan tak mudah diabaikan. Aku tahu siapa yang jadi penyebabnya—Michael.
Perasaanku kembali kalut, meski sudah berusaha melupakan. Saat aku merapikan rambut, pikiranku malah melayang kembali ke pertemuan singkat dan kenangan-kenangan yang telah kulalui. Tak ada yang salah dengan pekerjaanku. Justru, karierku saat ini adalah sesuatu yang dulu kuimpikan, sebuah pencapaian yang patut dibanggakan. Tetapi, menginjakkan kaki di kota ini dan berada di tengah hujan yang konstan, semuanya seperti mengingatkan akan cerita yang telah lama usang, cerita yang seharusnya sudah kutinggalkan.
Aku berjalan ke jendela kamar hotel dan memandang keluar, menyaksikan hujan deras yang terus-menerus menghantam permukaan kaca. Tetes-tetes air mengalir membentuk garis-garis acak, seperti jalinan kenangan yang tak beraturan. Pemandangan itu begitu akrab, dan aku mendapati diriku tenggelam dalam nostalgia. Bagaimana mungkin suasana ini, yang seharusnya hanya menjadi bagian dari rutinitas pekerjaan, justru membawa kembali memori yang seharusnya telah kulupakan?
Di antara suara hujan, sepertinya aku bisa mendengar percakapan-percakapan lama, seolah Michael masih di sini. Kami dulu pernah bersama di kota ini, berbagi canda dan cerita di tengah hujan yang sama. Tetapi, semua itu hanya masa lalu—sebuah bab yang telah lama kututup, meskipun tak benar-benar bisa kulupakan. Kenangan itu bagaikan bayangan yang selalu membayangi langkahku. Semakin aku berusaha menjauh, semakin ia terasa dekat, mendesak masuk ke dalam pikiranku.
Aku mendesah pelan, merasa bahwa tidak ada tempat di ruangan ini yang benar-benar nyaman. Entah bagaimana, setiap sudutnya malah terasa hampa dan dingin. Semua terasa canggung dan asing, meski kamar ini seharusnya memberikan ketenangan. Aku mendekati meja di sudut kamar, berharap secangkir kopi yang tersedia bisa menenangkan pikiranku, tapi bahkan aroma kopi itu tak mampu menghapus kegelisahanku.
Setelah beberapa menit, aku menyadari bahwa tak ada gunanya terus-menerus mencoba menghindar dari pikiranku sendiri. Mungkin aku hanya perlu menghadapi semuanya, biarkan segala perasaan itu mengalir seperti tetesan hujan di kaca jendela. Namun, di sisi lain, aku merasa perlu mencari pelarian—sebuah gangguan yang bisa mengalihkan sejenak semua perasaan ini.
Tanpa berpikir panjang, aku memutuskan untuk mencari Radit, asisten yang selalu setia mendampingiku. Barangkali mengobrol dengannya bisa membuat suasana hati sedikit lebih baik. Radit selalu tahu bagaimana cara menenangkan orang di sekitarnya. Ia bisa jadi teman bicara yang baik, dengan caranya yang sederhana tapi sering kali penuh makna.
Akhirnya, aku keluar dari kamar dan berjalan ke arah kamar Radit. Ketika mengetuk pintu, terdengar suara ceria Radit dari dalam. "Masuk, Bos!" sahutnya sambil tertawa.
Aku membuka pintu, melihat Radit yang sudah duduk di meja kerjanya, dikelilingi laptop dan catatan. Suasana kamar Radit terasa hangat dengan cahaya lampu kuning yang menyala lembut. Suara hujan masih terdengar jelas dari jendela kamar itu.
"Hujan lagi, ya," kata Radit, tersenyum saat aku masuk. "Bos mau kerja lagi atau istirahat aja?"
"Saya lapar, Radit. Kamu bisa bikinin mie kuah?" tanyaku, berharap makanan hangat bisa sedikit mengalihkan pikiranku.
Radit langsung mengangguk penuh semangat. "Bisa banget, Bos! Mie kuah spesial datang sebentar lagi!"
Aku hanya mengangguk sambil duduk di tepi ranjangnya. Menatap ke luar jendela, melihat air yang mengalir turun, membuat pikiranku kembali melayang ke berbagai kenangan lama yang seharusnya tak perlu kuingat lagi. Hujan ini, suasana ini—semuanya seperti magnet yang menarikku kembali ke dalam cerita yang tak kunjung selesai. Tapi kali ini, aku benar-benar ingin membebaskan diriku dari semua itu.
"Bos, mie kuahnya sudah siap!" panggil Radit dari dapur mini yang ada di kamarnya, menyadarkanku dari lamunan.
Aku tersenyum tipis, mencoba untuk bersikap lebih santai. "Aku datang."
Radit datang dengan dua mangkuk mie kuah panas dan dua gelas teh hangat. "Nah, ini dia, mie kuah spesial buat Bos kesayangan!"
"Wah, enak banget keliatannya!" kataku, sambil mengambil mangkuk itu. Radit memang selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik.
Sambil makan, Radit tiba-tiba bertanya, "Bos, kenapa tadi keliatannya nggak bersemangat banget?"
Aku hanya mengangkat bahu, pura-pura tidak peduli. "Entahlah, Radit. Hujan ini bikin suasana hati saya jadi... agak campur aduk."
Radit memandangku, tampak memahami meski aku tidak memberi penjelasan yang jelas. "Hujan kadang memang bikin kita teringat hal-hal lama, Bos. Tapi, yang penting, kan, kita sudah melangkah ke depan."
Aku tersenyum kecil, merasa bersyukur punya seseorang seperti Radit yang bisa memahami tanpa perlu banyak kata. "Kamu benar, Radit. Saya memang harus lebih fokus pada masa kini."
Setelah beberapa saat, Radit mulai bercerita tentang pengalamannya mencoba aplikasi kencan. "Kemarin aku coba aplikasi kencan, Bos. Seru juga ternyata, ngobrol sama orang asing yang belum pernah ditemui."
Aku menatapnya dengan minat, berharap bisa terganggu dari pikiranku sendiri. "Serius? Jadi gimana? Ada yang menarik?"
Radit tertawa sambil mengangguk. "Ada, Bos. Lucu orangnya. Kami ngobrol beberapa kali, terus rencananya mau ketemu minggu depan."
Aku tersenyum, mengingat masa laluku sendiri yang penuh dengan kisah serupa. Lima tahun lalu, aku juga mencoba aplikasi kencan dan tanpa sengaja bertemu lagi dengan seseorang yang kukenal baik—Michael. Kami mengobrol lama, dan aku langsung mengenali suara itu, suara yang dulu pernah mengisi hari-hariku.
Seketika, kenangan itu datang seperti angin dingin. Rasanya menyakitkan, tapi aku mencoba mengalihkan perasaan itu dengan mengembalikan fokusku pada cerita Radit.
"Terus gimana? Kamu nyaman sama dia?" tanyaku, mencoba ikut dalam suasana ceritanya.
Radit tersenyum kecil, tampak malu-malu. "Nggak tahu juga, Bos. Kadang, ya, kayaknya sih dia cocok buat aku. Tapi kadang, ada rasa aneh juga."
Aku mengangguk, merasa bisa memahami perasaannya. "Mungkin belum ketemu orang yang tepat, Radit. Itu biasa, namanya juga pengalaman."
Radit tersenyum lega. "Iya sih, Bos. Kalau dipikir-pikir, kadang kita nggak bisa langsung tahu, ya, apakah orang itu benar-benar cocok atau nggak."
Kami terdiam sejenak, menikmati mie hangat yang tersisa di mangkuk sambil mendengarkan suara hujan yang semakin pelan. Di sela-sela hening itu, aku menyadari betapa besar keraguan yang masih kusimpan tentang masa laluku sendiri, terutama ketika aku bertemu dengan seseorang yang seharusnya bisa mengisi hidupku.
Radit menatapku sejenak, seolah-olah membaca keraguanku. "Bos, saya tahu, masa lalu kadang susah buat dilepas. Tapi, bos sudah jauh melangkah dari semua itu. Jadi nggak perlu khawatir."
Aku tersenyum kecil, merasa lega mendengar kata-kata dukungan darinya. "Terima kasih, Radit. Mungkin saya memang butuh pengingat seperti itu."