Malam itu, hujan deras menemani percakapan kami di kamar hotel Radit. Aku duduk di sofa, sementara Radit di kursi seberang, memulai pembicaraan tentang pekerjaan besok.
"Jadi, bos, kita harus siap-siap buat riset penjualan, ya? Terus, kita juga perlu persiapkan presentasi beberapa hari lagi ke kantor," kata Radit serius.
Aku mengangguk. "Iya, riset ini penting. Kita harus memastikan strategi pemasaran bisa mendorong penjualan."
Radit menarik napas panjang, tampak memikirkan beban pekerjaan yang kami hadapi. Kemudian, dia menatapku dengan ragu-ragu.
"Kalau semua lancar, kayaknya bos bakal naik jadi Manajer Utama, ya? Aku mungkin nggak bakal ada lagi di sini sebagai asisten."
Aku tertawa kecil, berusaha menenangkan kecemasannya. "Radit, kamu sudah seperti adik saya sendiri. Mana mungkin saya melepaskan kamu? Kalau saya jadi Manajer Utama pun, kamu akan tetap jadi asisten saya."
Wajah Radit sedikit rileks mendengar ucapanku. "Makasih, bos. Aku senang bisa bantu bos. Cuma kadang agak ragu aja. Aku kan cuma saudara jauh yang dulu minta pekerjaan ke kamu. Bos udah bantu banyak. Kalau bos nggak ada di sini, aku nggak tahu mau gimana."
Pikiran sejenak melayang ke masa lalu. Radit memang saudara jauh yang datang ke rumah untuk meminta pekerjaan, tapi dia bukan sekadar karyawan biasa. Radit bekerja dengan sungguh-sungguh, walau tidak resmi menjadi asisten, dan selalu kuberi gaji yang layak. Aku merasa beruntung punya seseorang yang bisa diandalkan dalam segala situasi.
"Radit, kamu itu pintar, meski nggak kuliah. Tapi kamu nggak bisa selamanya jadi asisten saya. Suatu saat, kamu harus berani keluar dari sini dan mengejar masa depanmu sendiri."
Radit menunduk, tampak merenungkan nasihatku. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku yakin bahwa dia bisa lebih dari sekadar asisten. Namun, Radit hanya tersenyum, seakan belum siap meninggalkan pekerjaan ini.
Tiba-tiba, ponselku berdering. Nama Iqbal, calon tunanganku, muncul di layar. Aku menghela napas, sedikit terganggu. Mungkin dia ingin membahas rencana lamaran yang semakin dekat. Rencana yang selama ini terasa lebih seperti kewajiban daripada kehendak hati.
Radit melihat aku ragu-ragu menjawab panggilan itu. "Kenapa nggak diangkat aja, bos?"
"Lagi nggak mood untuk bicara, Dit," jawabku singkat.
"Tapi kan penting, bos. Mungkin ada hal penting yang mau dia sampaikan. Angkat aja, bos."
Radit memang tiga tahun lebih muda dariku, namun kadang pemikirannya lebih bijak. Meski enggan, akhirnya aku mengikuti sarannya dan menjawab panggilan itu. Tapi entah kenapa aku ingin Radit mendengar obrolan itu, dan aku menyalakan loud speaker.
"Hai, lagi apa?" suara Iqbal terdengar hangat, seperti biasa.
Aku melirik Radit, yang masih serius menatap layar laptopnya. "Lagi kerja. Sama Radit," jawabku singkat.
"Oh, bareng Radit?" Iqbal terdengar geli. "Gimana, tupai yang satu itu nggak bikin repot, kan?"
Aku hanya menghela napas sambil melirik Radit, yang sudah menahan senyum di kursi seberang. "Ribet sih nggak, cuma… berisik."
Radit yang mendengar jelas perkataanku langsung terkekeh pelan. "Jangan gitu, bos. Nanti saya mogok kerja."
Iqbal ikut tertawa di seberang sana. "Hei, Radit, tahan-tahan. Kalau kamu mogok, yang repot nanti bos kamu sendiri."
Aku menahan senyum sambil melirik Radit yang tampak puas dengan dukungan Iqbal. "Bagus banget kalian ini kompak. Siapa sih di sini yang bosnya?"
"Ya, tentu kamu, dong, bos kami yang satu-satunya," kata Iqbal, suaranya terdengar penuh canda. "Aku dan Radit cuma sekadar pendukung setia."
Aku berusaha tetap terlihat jengkel, meski sebenarnya suasana ini sedikit menenangkan pikiranku yang biasanya penuh beban kerja.
"Oh ya, gimana Bandung?" Iqbal tiba-tiba bertanya dengan nada ingin tahu.
"Seperti biasa. Hujan, dingin, ya… kerja," jawabku sekenanya.
Iqbal hanya tertawa. "Ah, jadi Bandung kurang menarik, ya? Nggak ada hal yang bikin kamu betah di sana?"
Aku diam sejenak, mempertimbangkan jawabannya. Mungkin kalau bukan aku, orang lain akan merasa bahagia punya pasangan yang perhatian dan penuh dukungan seperti Iqbal. Tapi ada sesuatu yang terasa ganjil, seperti ruang kosong yang sulit diisi, meski seharusnya kebersamaan ini cukup.
"Yah, biasa aja," jawabku akhirnya, berusaha menyembunyikan perasaan itu.
Iqbal tertawa lagi, suara tawanya lembut seperti biasa. "Oke, kalau gitu, semangat buat kerjanya ya. Dan Radit, tolong pastikan bos kamu ini nggak terlalu kecapekan."
Radit angkat tangan seolah memberi hormat. "Siap, Pak! Selalu ingetin bos saya untuk jaga kesehatan."
Aku memutar mataku, tersenyum setengah hati. "Bisa, ya, kalian kompak gini. Nggak ada yang mau dukung aku, ya?"
Iqbal hanya tertawa lagi. "Ya, gimana ya, kadang kamu perlu yang mengimbangi supaya nggak terlalu tegang, kan?"
Aku tersenyum tipis, tetap berusaha tampak santai di depannya. "Baiklah, terima kasih ya, atas dukungannya, walaupun rada nyebelin."
"Aku rencana mau jemput kamu dari Bandung kalau pekerjaan kamu sudah selesai. Biar kamu nggak terlalu capek. Kabarin aku kalau kamu udah mau balik ke Jakarta, ya." Iqbal dengan suara lembutnya itu sedikit mengiris rasa gengsiku, tapi aku tidak mau kalah.
Aku berusaha menahan diri agar tidak terlalu jengkel. Iqbal memang selalu baik, penuh perhatian. Keluargaku sangat menyukainya, dan perjodohan ini berjalan lancar. Namun, entah kenapa, aku masih sulit mencintainya sepenuh hati.
"Terima kasih, Bal. Tapi nggak perlu repot-repot. Aku bisa pulang sendiri, lagipula ga enak sama Radit," jawabku mencoba menolak dengan alasan.
Iqbal melenguh pelan. "Begini, Jyia. Aku kan pake mobil ke sana.. Maksud aku, Radit ikut juga sama kita, aku gak masalah kalau Radit ikut, kok."
"Oh. Liat nanti aja. Udah dulu ya, sibuk nih."
Percakapan itu akhirnya selesai, namun saat aku meletakkan ponsel, Radit menatapku, seolah bisa membaca keraguanku. Hanya saja, dia tak bertanya apa pun, dan aku sendiri memilih menyimpan rasa ragu ini. Iqbal memang baik, dia perhatian, dan dia berusaha membuatku nyaman. Tapi ada sesuatu yang tak bisa kuterjemahkan—sebuah jarak yang selalu saja ada di antara kami, walaupun Iqbal sudah melakukan segalanya untukku.
Di tengah percakapan yang seharusnya membuatku nyaman, aku masih merasa ada hal yang kurang, yang bahkan tak bisa kusebutkan apa. Dan Radit, meski tidak tahu banyak tentang perasaanku yang sebenarnya, entah bagaimana selalu bisa menghadirkan ketenangan. Tapi, aku melihat Radit yang tertawa kecil setelah panggilan dari Iqbal selesai.
"Kenapa kamu tertawa, Dit?" tanyaku, penasaran.
"Nggak, bos. Cuma lucu aja lihat bos tadi. Biasanya bos ramah banget, tapi ke dia malah beda."
Aku tersenyum kecil. Mungkin Radit benar. Pada kebanyakan orang, aku memang selalu bersikap ramah, namun di depan Iqbal, entah mengapa aku merasa dingin. Ada sesuatu dalam hubungan ini yang terasa kosong, meski dari luar terlihat sempurna.
Hujan di luar masih terus turun, menciptakan suasana hening dan nyaman di kamar. Radit tetap diam, mungkin menghargai kebingungan yang kusimpan di dalam hati.
"Iqbal itu baik," gumamku. "Perjodohan ini berjalan lancar, keluarga suka sama dia, dan dia selalu memperlakukan aku dengan baik. Tapi… rasanya aku belum bisa sepenuhnya mencintai dia."
Radit mendengarkan dengan penuh perhatian. Aku tahu mungkin dia tidak sepenuhnya mengerti, tapi dia berusaha memahami.
"Aku hanya merasa… butuh waktu untuk menerima semuanya," lanjutku, lebih kepada diri sendiri.
Radit mengangguk setuju. "Yang penting bos jujur sama diri sendiri. Kalau butuh teman ngobrol, aku selalu ada, bos."
Aku tersenyum, merasa beruntung memiliki Radit. Meski usianya lebih muda, sering kali dia terlihat lebih dewasa dalam berpikir. Dalam suasana yang diselimuti suara hujan ini, aku merasa sedikit lega bisa berbagi perasaan yang biasanya hanya tersimpan dalam hati.
"Radit, terima kasih sudah menemani saya hari ini," ucapku dengan tulus. "Kamu selalu bisa membuat saya merasa lebih baik."
"Selalu, Bos. Itu tugas aku sebagai asisten," jawab Radit sambil tersenyum.