April, 2018...
Aku duduk di tepi tempat tidur, mengusap layar ponsel dan membaca pesan masuk dari seorang anonim di Telegram. Aku baru saja menggunakan nama samaran "Nara" untuk menjaga privasiku di aplikasi itu, dan Michael-nama orang di ujung lain percakapan-menjadi teman chatting yang menyenangkan di sela rutinitasku sebagai mahasiswa.
Percakapan kami dimulai sederhana, tentang kampus dan kehidupan sehari-hari. Entah kenapa, kami seperti merasa nyaman berbicara satu sama lain. Dan malam itu, pembicaraan kami terasa berbeda. Michael membalas pesanku dengan cepat, seolah-olah dia juga tak sabar melanjutkan obrolan.
Michael:
"Jadi, kamu belum lama masuk kuliah, ya? Pasti seru, dong."
Nara:
"Iya, aku ambil jurusan akuntansi. Kalau kamu?"
Michael:
"Aku mahasiswa teknik semester akhir. Ya, udah kebayang lah gimana padatnya semester ini."
Aku tersenyum kecil membaca pesannya. Terasa familiar, apalagi mendengar dia bicara tentang Bandung. Michael, seorang mahasiswa teknik, terasa seperti cerminan masa lalu yang belum benar-benar kulupakan. Aku masih ingat, dua tahun lalu, aku pernah menghabiskan waktu singkat bersama seseorang saat liburan di Bandung. Saat itu, aku tidak pernah menduga jika kami akan bertemu kembali, meski hanya lewat dunia maya.
Nara:
"Pasti berat, ya. Teknik gituu.."
Michael:
"Iya, tapi kalau sudah ketemu orang yang sehobi, jadi lebih ringan. Aku punya band kecil sama teman-teman SMA dulu. Lumayan buat nyalurin stres."
Ah, band. Aku ingat betul betapa dia dulu sangat mencintai musik. Aku hampir lupa bahwa dia suka menyanyi. Bahkan saat itu, aku terpukau melihatnya bernyanyi dengan penuh penghayatan. Tiba-tiba aku merasa ingin tahu lebih banyak, seperti sedang menggali kembali memori lama yang hampir terkubur.
Nara:
"Keren banget! Terus, kamu vokalisnya?"
Michael:
"Iya, aku vokalisnya. Walaupun nggak sekelas penyanyi-penyanyi hebat, tapi aku suka banget sama Juicy Luicy."
Nara:
"Pasti asyik, ya. Jadi vokalis di depan orang-orang."
Michael:
"Seru sih. Meski awalnya grogi, tapi kalau udah mulai nyanyi, rasanya plong banget."
Obrolan kami mengalir lancar. Aku merasakan kehangatan yang jarang kurasakan sebelumnya, dan semakin lama semakin sulit untuk berhenti. Michael seperti membawa sisi diriku yang tenang, membuatku bisa menjadi diri sendiri di hadapannya, meski dia hanya mengenalku sebagai "Nara".
Michael:
"Eh, btw, kamu suka dengerin musik apa?"
Aku berpikir sejenak, mencari jawaban yang tepat. K-pop dan musik barat adalah favoritku, tapi aku juga ingin tahu bagaimana reaksi dia.
Nara:
"Aku suka K-pop, BTS, Blackpink... Tapi aku juga suka lagu-lagu barat. Kebetulan, aku suka banget sama lirik-lirik yang penuh makna."
Michael:
"Oh iya? Wah, selera kamu bagus! Aku suka yang klasik dan lagu-lagu yang bikin baper juga, jadi Juicy Luicy salah satunya."
Aku tersenyum lebar. Rasanya sudah lama sekali sejak aku merasa begitu tersambung dengan seseorang hanya lewat percakapan teks. Koneksi di antara kami terasa begitu kuat, dan malam itu semakin larut. Tak kusangka, Michael tiba-tiba mengusulkan sesuatu yang membuat jantungku berdebar.
Michael:
"Kalau kamu nggak keberatan, gimana kalau kita lanjut ngobrol via telepon? Rasanya bakal lebih seru, hehe."
Aku termangu sesaat. Suaranya.... Mendengar suara Michael lagi setelah dua tahun berlalu membuatku gugup sekaligus penasaran. Tanpa pikir panjang, aku akhirnya setuju.
Nara:
"Boleh deh. Tapi jangan kaget kalau suara aku beda dari bayanganmu, ya."
Tak lama kemudian, panggilan masuk darinya muncul di layar ponselku. Dengan jantung yang berdebar, aku menggeser tombol hijau.
"Halo?" sapaku pelan.
"Halo, Nara," balasnya, suaranya hangat dan rendah, seperti yang kuingat. Hanya mendengar suaranya sudah membuatku tersenyum. Tapi sepertinya dia sudah melupakan aku..
"Aku seneng banget akhirnya bisa ngobrol langsung," lanjutnya. "Suaranya kedengeran lembut banget. Aku nyaman."
Aku tertawa kecil, "Beneran? Jangan terlalu berekspektasi tinggi gitu, nanti kecewa."
"Oh iya, tadi kamu bilang suka nyanyi, ya? Kamu sering manggung gitu, nggak?" tanyaku, berusaha mengalihkan perhatian dari rasa gugup yang menghantuiku.
"Ya, lumayan sering. Kalau ada event kampus atau acara kecil-kecilan sama temen-temen. Untuk isi waktu aja sih," ia menjelaskan dengan antusias.
"Wah, keren! Terus, kamu sering bawain lagu-lagu apa?" tanyaku sambil membayangkan Michael di atas panggung.
"Kebanyakan lagu-lagu yang bikin baper, sih, haha. Juicy Luicy, misalnya. Kamu tahu kan mereka?"
"Oh, tahu banget! Lagu-lagunya Juicy Luicy itu penuh perasaan semua," aku menambahkan. Mendengar dia berbicara tentang musik membuatku merasa semakin dekat.
"Iya, aku suka banget sama lirik-liriknya yang dalem. Kayaknya mereka tuh ngerti banget apa yang orang-orang rasain," katanya.
Aku tersenyum, mengingat betapa Michael selalu memiliki cara untuk memikat hati orang lain dengan kata-katanya. "Eh, kalau kamu sendiri? Pasti ada dong lagu favorit?"
"Aku suka K-pop, hehe. BTS sama Blackpink, dua grup itu favoritku. Tapi aku juga suka beberapa lagu barat, sih. Kadang aku dengerin lagu-lagu lawas juga, yang punya lirik kuat," jawabku, berbagi sedikit tentang diriku meski informasi itu tidak berbeda dengan dua tahun lalu.
"Wah, keren! Aku nggak nyangka kamu juga suka lagu-lagu lawas. Biasanya, K-pop fans kan lebih fokus ke musik mereka aja."
"Ya, meskipun aku suka K-pop, aku tetap terbuka buat musik lain juga. Soalnya musik itu kan kaya, nggak cuma satu genre aja," aku menjelaskan.
"Iya, setuju banget. Musik tuh bisa bawa kita ke tempat atau waktu tertentu, bikin kita inget sesuatu. Kayak nostalgia gitu," ia berkata, dan aku merasa kami sedang berada di jalur yang sama.
"Nara, aku penasaran deh. Sekarang kamu kan udah jadi mahasiswa, gimana rasanya kuliah di Semarang?"
"Hmm, awalnya sih agak kaget. Banyak tugas dan pelajaran baru yang harus dipelajari. Tapi seru juga, bisa ketemu banyak orang baru. Apalagi suasananya beda dengan Jakarta," jawabku, teringat saat-saat awal di kampus.
"Seru, ya? Di Bandung juga gitu. Anak teknik itu kadang bikin bingung, terutama dengan semua rumus dan praktikum. Tapi kalau udah bisa, rasanya puas banget," Michael menjelaskan, suaranya ceria.
"Ya, pasti. Kamu lebih suka praktikum atau teori?" tanyaku, berusaha memahami kesehariannya.
"Praktikum! Aku suka banget eksperimen di lab. Meskipun kadang bikin pusing juga. Lagipula, hasilnya sering bikin puas. Apa kamu juga punya praktikum di jurusan kamu?"
"Aku baru kuliah semester ketiga. Tapi aku udah denger kalau di akuntansi ada praktik audit dan perpajakan. Mungkin nanti seru juga. Meskipun lebih banyak hitung-hitungan," jawabku.
"Nanti pasti kamu bakal enjoy! Satu-satunya yang bikin aku kadang stress itu tugas kelompok. Kadang ada yang nggak sevisi, deh," Michael bercerita dengan nada jujur.
"Oh ya? Itu juga terjadi di tempatku. Sering kali aku ngerasa berjuang sendirian," kataku, merasakan perasaan yang sama.
"Makanya, kita bisa cari cara untuk bikin kerja kelompok lebih menyenangkan. Misalnya, bagi tugas dengan jelas dan sesuaikan sama kekuatan masing-masing," Michael memberikan saran.
"Ide bagus! Kita juga harus bisa saling support di grup. Soalnya, kalau komunikasi nggak jelas, ya berantakan," aku setuju, berusaha membayangkan tim kerja ideal.
"Bener! Nah, ngomong-ngomong, kamu suka nulis, kan? Apa kamu pernah nulis tentang pengalaman di kampus?"
"Iya, aku suka nulis. Mungkin aku pernah nulis tentang perjuangan jadi maba di Semarang. Itu menarik," aku menjawab dengan semangat.
"Pastinya! Mungkin kamu bisa share ke aku, ya? Aku suka baca tulisan orang," katanya.
"Deal! Nanti aku bakal share. Eh, kalau kamu sendiri, ada nggak pengalaman seru di kampus yang mau diceritakan?"
"Banyak sih, tapi yang paling seru itu waktu kita ada lomba inovasi di kampus. Aku dan temen-temen bikin alat sederhana untuk membantu petani. Sumpah, itu pengalaman yang nggak terlupakan!" Michael menjelaskan dengan antusias.
"Wah, keren! Apa itu berhasil?" tanyaku, merasa tertarik dengan cerita itu.
"Ya, berhasil! Kita dapet juara ketiga. Seru banget rasanya bisa berkontribusi. Gimana, mau ikutan lomba di kampus kamu nanti?"
"Iya, mungkin aja. Kayaknya seru kalau bisa ikut kompetisi kayak gitu. Tapi aku lebih suka yang berhubungan dengan angka," jawabku.
"Eh, berarti kita bisa jadi partner! Aku butuh akuntan untuk proyek-proyek aku," Michael bercanda.
"Haha, iya! Tapi jangan berharap terlalu banyak, ya. Aku masih belajar," balasku sambil tertawa.
"Ah, percaya deh, kamu pasti bisa. Kan, kamu anak akuntansi. Pasti pinter menghitung," ia memotivasi, dan aku merasa sedikit lebih percaya diri.
"Oh iya, daritadi aku merasa.. kamu kayak temen lama," aku mengungkapkan perasaanku tanpa sadar karena terbawa suasana.
"Serius? Itu perasaan yang sama aku rasain! Padahal kita baru kenalan di sini," Michael menjawab dengan lembut, dan aku merasakan benang merah yang menghubungkan kami.
"Eh, tapi kamu pernah ke Semarang nggak?" tanyaku, penasaran.
"Belum pernah. Tapi aku pengen ke sana. Dengar-dengar, tempatnya seru. Apa kamu ada tempat rekomendasi?"
"Kalau mau kuliner, bisa coba tahu gimbal dan lunpia. Itu khas Semarang banget! Tempatnya juga enak," aku menjelaskan dengan antusias.
"Wow, jadi penasaran! Suatu saat harus ke sana dan nyobain. Tapi kalo ke Bandung, kamu udah pernah ke mana?"
"Aku baru sekali ke Bandung. Waktu itu ke beberapa tempat wisata, dan aku suka sekali suasananya. Apalagi saat ke Dago," jawabku.
"Kamu harus coba makanan khas Bandung. Ada batagor, siomay, dan banyak lagi. Seru kalau kita bisa eksplor bareng," ia menambahkan, suaranya penuh semangat.
"Setuju! Semoga bisa ke Bandung sama kamu someday," kataku, menyimpan harapan di hatiku.
"Kita buat rencana! Mungkin pas liburan semester, kita bisa jadi turis di kota masing-masing," Michael menyarankan.
"Sounds fun! Aku harap bisa jadi kenyataan," aku menjawab, merasakan momen yang semakin dekat.
"Eh, jadi pengen tanya deh. Kapan terakhir kali kamu nulis atau menggambar sesuatu yang bikin kamu merasa puas?"
"Hmm... mungkin beberapa minggu lalu. Aku bikin gambar waktu ada libur semester. Rasanya senang banget, bisa mengekspresikan diri lewat gambar," aku menjelaskan dengan antusias.
"Wow, keren! Jadi, ada tema khusus yang kamu suka? Atau kamu lebih suka menggambar bebas?"
"Kadang bebas, kadang ada tema tertentu. Kayak pemandangan, atau karakter yang aku suka. Anyway, kamu senang nyanyi, aku senang menggambar. Kita sama-sama ekspresif, ya?"
"Ahahaha, bener! Kita bisa bikin duet kreatif! Saling mendukung satu sama lain," jawabnya.
"Yup! Kayaknya kita bisa saling belajar juga," kataku, merasakan kedekatan di antara kami.
"Jadi, kita harus sering-sering ngobrol kayak gini. Makin banyak yang kita bagi, makin dekat kita, kan?"
"Iya! Aku senang bisa berbagi cerita sama kamu. Ini bikin hari-hariku lebih cerah," kataku, merasakan malam ini semakin istimewa.
"Makanya, kita jaga komunikasi ini terus. Nanti kita bisa sharing pengalaman, dan mungkin bisa bikin kenangan bareng," jawabnya, dan aku merasa harapan itu mulai bersemi.
"Eh, aku mau nanya. Kalau kamu berkesempatan pergi ke satu tempat di dunia ini, mau ke mana?"
"Wow, itu pertanyaan seru! Aku pengen banget pergi ke Korea. K-Pop dan budaya di sana bikin aku penasaran. Kamu sendiri?"
"Hm, aku pengen ke Jepang. Budaya dan teknologi di sana bikin aku tertarik. Banyak hal yang bisa dipelajari," jawabnya.
"Jadi, kita bisa bikin rencana, ya. Kita ke Korea dan Jepang bareng! Haha, impian banget!"
"Yup! Itu ide yang bagus. Siapa tahu bisa terwujud suatu saat nanti," katanya dengan penuh semangat.
"Semoga, ya! Aku bener-bener pengen," ujarku, membayangkan momen seru bersama Michael.