Acara pun dimulai, dan semuanya mulai berbagi cerita. Suasana menjadi semakin ceria saat teman-teman mulai saling memberi kesan. Setiap kata yang keluar dari mulut mereka seperti melukis kenangan indah di dalam hati.
"Jyia," panggil Arqa, ketua kelas kami. "Aku mau bilang terima kasih banget. Kamu selalu bikin kita semangat selama ini. Tanpa kamu, kami pasti bakal lebih berantakan!"
Aku merasa senang karena Arqa yang berbicara denganku lebih dulu, kemudian aku tersenyum dan menjawab, "Makasih, Arqa! Aku juga bakal kangen sama kalian semua."
Tiba-tiba, Arqa kembali mengambil mikrofon dan menatap Rani, yang duduk di sampingku. Semua perhatian tertuju padanya, dan saat itu aku merasa ada yang aneh.
"Ada satu hal yang mau aku sampaikan," kata Arqa dengan serius. "Aku suka sama kamu, Rani. Dari lama..."
Sejenak semuanya terasa hening, "...Kamu mau ya jadi pacarku?"
Ketika kata-kata itu keluar dari mulut Arqa, semuanya terdiam. Apakah ini maksud tatapan Arqa padaku tadi? Seakan waktu berhenti sejenak. Aku tidak percaya. Arqa menyukai Rani? Bagaimana bisa? Dia dan aku... kami sudah saling menyukai selama setahun terakhir, tetapi tidak pernah ada yang mengungkapkannya. Kini, di depan semua orang, dia justru mengaku cinta kepada sahabatku.
Rani tampak terkejut, tetapi setelah beberapa detik, dia tersenyum. "Aku... iya, aku mau.."
Sontak, tepuk tangan dan sorak-sorai menggema di seluruh kafe. Namun, di dalam hatiku, semuanya terasa hancur. Arqa dan Rani, dua orang yang aku sayangi, resmi menjadi pasangan. Bagaimana bisa aku mengalami ini?
𓊝
Setelah acara selesai, semua orang kembali ke kamar mereka, tetapi aku masih terjaga. Rani sudah tertidur nyenyak di sampingku, sementara aku bergelut dengan perasaanku yang campur aduk. Aku ingin menangis sejadi-jadinya. Bahkan aku masih berharap Arqa akan menjelaskan sesuatu padaku malam ini. Sejak 2 hari yang lalu, kami benar-benar putus komunikasi. Namun, tak lama ponselku berbunyi, dan sebuah pesan masuk. Aku senang sekali karena berfikir itu dari Arqa, dan nyatanya tidak.
'Jyia, udah tidur?'
Itu Michael, bukan Arqa yang aku tunggu-tunggu kejelasannya. Tanpa berpikir panjang, aku melangkah ke balkon kamar. Butuh udara segar dan sedikit bicara untuk menenangkan pikiran. Meski hanya dengan pakaian tidur yang tidak tebal.
Aku menekan tombol panggilan, dan suara hangat Michael terdengar di ujung telepon. "Halo, Jyia! Kamu masih belum tidur?"
"Iya..." jawabku dengan suara pelan.
"Suara kamu kenapa? Apa ada hal gak menyenangkan di acara tadi? Apa yang terjadi?" dia bertanya dengan penuh perhatian.
Suara lembutnya, hangat dan perhatian, membuatku merasa lebih tenang. "Hmm... sebenarnya aku lagi banyak pikiran."
"Boleh cerita? Aku dengerin, kok,"
Aku mengambil napas dalam-dalam sebelum memulai. "Tadi... ada yang bikin perasaanku campur aduk. Pacarku, sekarang mantan sih, Arqa, tiba-tiba nembak sahabat aku, Rani. Dan... Rani nerima dia."
Sejenak, hening di antara kami. Lalu, Michael bertanya pelan, "Jadi... kamu kecewa karena... Arqa?"
Aku menghela napas. "Bukan kecewa karena itu, sih. Lebih ke... merasa kayak aku kehilangan sesuatu yang berharga. Kami udah satu tahun backstreet, dan aku nggak nyangka hal ini bisa kejadian."
Michael mendengarkan dengan tenang, lalu berkata, "Aku paham, pasti berat banget rasanya. Kadang, perasaan kita campur aduk dan susah dijelasin. Tapi... Jyia, aku cuma mau bilang kalau kamu tuh nggak sendiri. Aku di sini."
"Terima kasih, Michael..." bisikku, merasa lebih tenang dengan kehadirannya. Tanpa sadar aku sejak awal berani menyebut nama lelaki itu, padahal dia senior.
Kami berdiam sejenak, membiarkan keheningan malam mengisi percakapan kami. Setelah beberapa saat, Michael mulai bertanya lebih santai, "Ngomong-ngomong, kamu paling suka bagian mana dari perpisahan tadi?"
Aku tersenyum kecil, sedikit lega karena Michael mencoba mengalihkan pikiranku. "Hmm... mungkin saat semua orang bilang kesan-kesan mereka. Aku merasa dekat banget sama mereka, meskipun di saat yang sama aku tahu kami harus berpisah."
"Itu yang indah dari pertemuan," jawab Michael pelan. "Selalu ada perpisahan, tapi kenangan tetap ada."
Kami berbicara hingga larut malam, di tengah percakapan itu, aku merasa lebih ringan. Entah bagaimana, kehadiran Michael memberiku kekuatan yang sebelumnya tak kurasakan. Rasanya seperti bertemu seseorang yang benar-benar peduli.
Setelah beberapa saat, Michael tertawa kecil. "Aku senang bisa ngobrol sama kamu, Jyia. Kamu orang yang menyenangkan, tahu nggak?"
Aku tersenyum malu. "Bohong banget."
"Beneran, kok. Kamu lucu, dan punya cara pandang yang menarik tentang hidup," katanya lagi, membuat pipiku sedikit merona.
Kata-katanya membuatku tersenyum kecil, entah kenapa hatiku terasa lebih ringan. "Makasih, Michael. Kamu bikin aku merasa lebih baik."
Michael tertawa pelan. "Lho, aku justru seneng kalau bisa bikin kamu nyaman. Aku tuh, sejujurnya... seneng banget ngobrol sama kamu, Jyia. Kayak ada aja yang spesial dari kamu."
Aku merasakan pipiku mulai memanas. "Kamu tuh ya... tahu aja gimana cara bikin orang senyum-senyum sendiri."
"Hehe, emang kenapa kalau aku pengen bikin kamu tersenyum?" balasnya dengan nada menggoda. "Lagian, senyum kamu tuh... manis banget, tau nggak?"
Aku tertawa, mencoba menyembunyikan rasa malu. "Ih, kamu bikin aku maluuu.." aku sadar suaraku mulai memanja.
"Serius, Jyia. Aku pengen banget bisa bikin kamu selalu bahagia. Kalau aku ada di sebelahmu sekarang, mungkin aku udah ngajak kamu duduk sambil ngeliatin bintang-bintang, cerita-cerita tentang impian kita."
"Kayak di film-film romantis gitu, ya?" tanyaku sambil tertawa kecil.
"Iya, mungkin. Tapi ini beneran, Jyia. Kadang aku ngerasa kayak kita udah lama kenal. Kamu bikin aku ngerasa nyaman, dan... ya, aku cuma pengen ada di samping kamu."
Jantungku berdetak lebih cepat. Suara Michael di ujung telepon terasa semakin dekat, dan aku bisa merasakan ketulusannya.
"Michael..." ucapku pelan. "Aku juga seneng banget kenal kamu. Kamu bikin semuanya terasa lebih mudah."
"Kita harus ketemuan lagi, Jyia," katanya pelan. "Aku pengen tahu lebih banyak tentang kamu... semuanya."
Kata-katanya membuatku tersenyum kecil. "Aku juga, Michael. Aku juga pengen kita bisa sering ngobrol, ketawa bareng... mungkin suatu hari nanti kita bisa ngelakuin semua hal seru bareng."
Michael tertawa kecil. "Iya. Aku pengen bikin janji sama kamu, Jyia."
"Janji apa?" tanyaku penasaran.
"Janji kalau... kita bakal terus saling dukung, no matter what," jawabnya dengan suara penuh kehangatan. "Aku nggak janji semuanya bakal selalu mudah, but I promise, aku bakal berusaha untuk selalu ada buat kamu."
Hatiku terasa hangat, dan aku tak bisa menahan senyumku. "Itu janji yang manis, Michael. Aku seneng bisa kenal kamu."
Aku masih berdiri di balkon, memandang langit malam yang penuh bintang. Dingin angin malam mulai menusuk, membuatku menggigil sedikit.
"Jyia, kamu di mana sih? Aku denger suara angin dari tadi," tanya Michael tiba-tiba.
"Oh, aku di balkon. Kayaknya aku nggak sadar tadi dinginnya parah banget," jawabku sambil memeluk diriku sendiri untuk menghalau dingin.
"Di balkon? Aduh, kamu bisa masuk angin nanti!" Suaranya terdengar khawatir.
"Gimana kalau kita udahin dulu aja ya? Besok kita lanjut ngobrolnya, pas kita ketemu?"
Aku tertawa kecil, merasa tersentuh dengan perhatiannya. "Okkeiii aku nyerah. Aku bakal balik ke kamar sekarang."
"Oke, deal! Tapi... jangan lupa, besok janji ya? Kita ketemu."
"Janji, Michael."
"Good night, Jyia. Cepet masuk biar nggak tambah kedinginan."
"Good night, Michael. Thanks for everything."
Aku menutup telepon dengan senyum tipis dan bergegas kembali ke kamar. Meskipun malam itu terasa dingin, hatiku hangat, dan rasanya, aku sudah tak sabar untuk bertemu dengannya lagi. Dan di pagi hari ketika aku melihat Rani yang masih tertidur di sebelahku, aku sudah tidak merasa sakit lagi.