Aku kembali ke kamarku, dan jam di dinding menunjukkan pukul sembilan. Masih ada cukup waktu sebelum pertemuan yang dijadwalkan pukul sepuluh, tapi entah kenapa suasana hatiku terasa gelisah. Setelah bersiap, aku keluar dan mendapati Radit sudah menungguku di depan pintu.
Kami berjalan menuju lobi. Beberapa langkah sebelum sampai, aku iseng memainkan cincin yang ada di jari manisku. Cincin itu meluncur dan jatuh, membuat suara berdenting kecil di lantai. Radit langsung menoleh, sementara aku buru-buru membungkuk untuk mengambilnya.
"Cincin nya bos?" tanyanya, sedikit khawatir.
"Ya, saya nggak hati-hati," jawabku dengan senyum kaku.
Begitu aku berdiri, mataku menangkap sosok lain di lobi. Pak Gavriel sudah tiba lebih dulu, bersama seseorang di sampingnya. Tatapan mataku tertuju pada pria itu, dan darahku mendadak berdesir. Itu Michael, seseorang yang dulu pernah menjadi bagian dari hidupku—tujuh tahun lalu, sebelum kami memutuskan untuk berjalan di arah yang berbeda.
Aku hanya bisa menatapnya tanpa bisa berkata apa-apa. Seolah waktu berhenti dan semua suara menghilang. Namun, aku segera menyadari, ini bukan momen nostalgia. Michael bukan lagi pria yang dulu kukenal, dan tatapannya tak lagi menyimpan kehangatan yang sama. Itu tatapan datar, seolah aku hanyalah sosok asing yang tak berarti apa-apa.
Tatapan Michael kini begitu datar, seolah kehangatan yang dulu pernah kurasakan dari matanya telah sirna. Dia menatapku seakan aku hanya seseorang dari masa lalu yang nyaris terlupakan, sekadar bayangan samar. Tapi aku tak bisa mengalihkan pandangan, meski tatapan kosongnya terasa lebih menusuk daripada kata-kata yang pernah diucapkan.
Radit melangkah lebih dulu menghampiri Pak Gavriel, dan aku mengikutinya dengan langkah perlahan. Ketika jarak kami semakin dekat, aku mengumpulkan kekuatan untuk tetap tenang. Tak ada yang tahu kisah masa lalu kami, dan aku ingin hal itu tetap menjadi rahasia.
"Apa kabar, Pak Gavriel?" sapaku sambil berusaha mengendalikan suaraku.
Pak Gavriel tersenyum dan mengangguk. "Baik, terima kasih. Jyia, ini anak saya, Michael. Dia lah yang akan menikah beberapa minggu lagi, dan mobil itu untuknya."
Aku berusaha tersenyum, meskipun hatiku terasa perih. "Selamat, Michael. Semoga pernikahannya lancar," ucapku dengan nada yang kukira cukup tenang.
Michael tampak terkejut sesaat, lalu tersenyum kaku. "Terima kasih, Jyia."
Aku menelan kekecewaan itu, mengingatkan diriku untuk tetap profesional. Tak ada gunanya membawa kenangan lama dalam situasi ini. Radit, yang tak menyadari ketegangan di antara kami, dengan antusias mengajak mereka menuju garasi tempat mobil baru itu berada.
Kami masuk ke dalam mobil Pak Gavriel untuk perjalanan singkat ke garasi. Aku duduk di samping Michael di kursi belakang, sementara Pak Gavriel dan Radit di depan. Suasana tiba-tiba terasa begitu canggung. Perjalanan seharusnya berlangsung singkat, tapi di dalam mobil yang sempit, keberadaan Michael di sampingku seolah membuat waktu bergerak lebih lambat.
Radit, yang selalu penuh semangat, mencoba mencairkan suasana dengan mengajak kami semua berbincang. "Jadi, Pak Michael," ucapnya sambil tersenyum ke arah kaca spion, "Kamu bekerja di mana sekarang? Ikut bisnis keluarga, atau punya rencana sendiri?"
Michael, yang sejak tadi diam, menoleh ke arahku sejenak sebelum menjawab. "Saya masih di perusahaan Papa, untuk sementara waktu. Papa punya banyak rencana besar yang perlu didukung, dan saya rasa... itulah yang terbaik saat ini."
Aku hanya mendengarkan percakapan mereka sambil menatap ke luar jendela, tidak ingin terlibat terlalu dalam. Setiap kali Michael berbicara, suaranya terdengar seperti gema masa lalu yang datang menghantamku kembali.
Radit yang menyadari kegelisahanku, kini mencoba melibatkan aku dalam percakapan. "Oh iya, bos," katanya sambil menoleh ke belakang, "Kamu tahu nggak,Pak Michael ini asli Bandung. Kan kamu kemarin bilang betapa kota Bandung berubah sekarang."
Aku berusaha tersenyum, meskipun rasanya terpaksa. "Oh, ya? Bandung memang banyak berubah sekarang," jawabku, sekadar memenuhi ajakan Radit untuk berbicara.
Michael tersenyum samar, tapi matanya tidak penuh dengan kebahagiaan. "Bandung memang berubah… seperti orang-orang di dalamnya," katanya pelan, suaranya terdengar seperti mengandung makna tersembunyi yang hanya aku bisa pahami.
Hatiku meringis, tapi aku berusaha menjaga ekspresi tetap datar. Tak ada gunanya membiarkan perasaan lama ini muncul kembali, terutama di hadapannya yang akan segera menikah. Aku hanya diam, berusaha menikmati sisa perjalanan ini dengan hati yang semakin rapuh.
𓊝
Setelah memasuki garasi perusahaan, suasana langsung berubah. Mobil-mobil mewah berjejer rapi, bercahaya di bawah lampu yang terang. Pak Gavriel, dengan senyum lebar di wajahnya, mengarahkan pandangannya pada mobil pesanan yang baru saja terlihat. "Lihat betapa menawannya mobil ini! Ini hadiah yang sempurna untuk Michael," ucapnya penuh bangga, seolah mobil itu adalah buah karya terbaiknya.
"Benar, Pak. Mobil ini benar-benar luar biasa," Radit menimpali, tidak bisa menyembunyikan antusiasmenya. "Saya yakin Michael akan sangat senang."
Dengan semangat yang tinggi, Radit menawarkan, "Pak Gavriel, bagaimana jika kita lihat-lihat mobil lain di sini? Mungkin ada yang menarik untuk Anda beli."
"Baiklah, itu ide yang bagus, Radit! Ayo kita lihat!" Pak Gavriel setuju dengan antusias, segera mengajak Radit menjelajahi garasi lebih jauh.
Ketika mereka berdua pergi, aku dan Michael saling berpandangan. "Kalian mau ikut?" tanya Radit kepada kami.
"Sepertinya tidak perlu, Saya ingin tau lebih banyak tentang mobil ini" jawab Michael. Tatapannya tenang, tetapi ada kerumitan yang tidak bisa aku baca.
Setelah beberapa detik hening, Michael mengeluarkan kalimat yang menghentikan setiap keraguan di hatiku. "Kita tidak perlu berpura-pura asing lagi, Jyia. Ini canggung, dan kita sama-sama tahu itu."
"Benar," aku menjawab, merasa terjebak dalam kenyataan. "Kita sudah lama tidak bertemu."
Michael tersenyum pahit. "Ya, terlalu lama. Dulu, kita selalu berbicara setiap malam, kan? Bagaimana bisa kita sampai di titik ini?"
"Tapi kita memang sudah berpisah," kataku pelan, mengingatkan diri sendiri. "Kehidupan kita telah berubah."
Dia mengangguk, tampak berpikir. "Iya, dan aku masih ingat saat-saat kita LDR. Teleponan setiap malam, selalu menunggu kabar satu sama lain. Itu momen-momen yang indah."
"Banyak hal yang kita bagi," ujarku, mencoba mengingat kembali saat-saat manis itu. "Seperti saat kita bertemu di Bandung. Rasanya selalu sangat spesial. Aku merasa seperti dunia ini milik kita berdua."
"Ya, aku pun merasakannya," jawab Michael, suara di dadaku bergetar.
"Tapi itu semua sudah berlalu. Kita harus menerima kenyataan." aku takut dengan apa yang akan dia katakan selanjutnua, jadi aku memutuskan untuk memberi batasan.
"Kadang, aku berharap bisa kembali ke masa itu," katanya, seolah jujur dengan perasaannya. "Tapi hidup tidak memberi kita pilihan itu."
Dia mengangguk lagi, wajahnya menunjukkan keraguan. "Tapi kita sudah berpisah. Dan sekarang aku akan menikah. Semua ini terasa aneh."
Mendengar itu, hatiku tertegun. "Iya, aku tahu. Aku hanya ingin kamu bahagia, Michael."
"Aku juga ingin kamu bahagia, Jyia," jawabnya, nada suaranya serius. "Kita tidak bisa terus hidup dalam kenangan."
Suasana menjadi semakin canggung saat aku mencoba merangkai kata-kata. "Tapi kamu adalah cinta pertamaku. Tidak ada yang bisa menggantikan itu. Momen-momen bersamamu akan selalu ada dalam hatiku."
Michael terdiam, menatapku seolah mencari jawaban dalam mataku. "Kamu adalah bagian dari hidupku yang tidak akan pernah bisa kulupakan. Meskipun aku akan menikah, kamu tetap menjadi kenangan yang spesial."
"Aku juga merasa begitu. Kita punya banyak kenangan indah bersama," kataku, merasa perasaanku bergetar. "Tapi bagaimana dengan hidup kita sekarang? Kita harus melanjutkan."
Dia menarik napas dalam-dalam, tampak bingung. "Aku tidak tahu, Jyia. Aku merasa terjebak di antara masa lalu dan masa depan."
Aku berusaha menenangkan suasana. "Kita harus menjalani hidup masing-masing, meskipun sulit. Semua yang kita alami telah membentuk siapa kita sekarang."
"Tapi melihat kamu di sini, membuatku merasa kembali ke masa itu," ujarnya, pandangannya penuh dengan kerinduan. "Sangat sulit untuk melanjutkan."
"Michael, kita harus kuat. Kita sudah dewasa sekarang, dan kehidupan kita tidak bisa tergantung pada satu sama lain," kataku, berusaha meyakinkan kami berdua. "Kita harus menjalani apa yang ada di depan kita."
"Jadi, setelah pernikahan, apa rencanamu?" tanyaku, berusaha membuat suasana lebih ringan.
Michael menatap mobil dengan pandangan kosong. "Aku tidak tahu, mungkin kembali ke rutinitas yang sudah ada. Tapi… entah kenapa, setiap kali aku memikirkan pernikahan ini, rasanya berbeda."
Dia tersenyum lemah, tetapi di matanya, aku bisa melihat ada harapan yang terpendam. "Ya, tapi kadang, aku merasa sudah yakin."
Saat itu, aku ingin sekali menjawab bahwa aku juga merasakan hal yang berbeda, tetapi aku tahu, semua itu hanya akan memperburuk situasi. Kami hanya terdiam, membiarkan rasa keheningan mengalir di antara kami.
Tiba-tiba, Radit dan Pak Gavriel kembali, tampak puas setelah menjelajahi garasi. "Ayo, kita pergi kembali ke hotel!" ajak Radit, mengalihkan perhatian dari pembicaraan kami.
Perjalanan kembali ke hotel dipenuhi oleh obrolan ringan antara Radit dan Pak Gavriel, sementara aku duduk di samping Michael dengan rasa sunyi yang menyelimuti. Di dalam hati, aku merasakan pertempuran antara nostalgia dan kenyataan yang harus kuhadapi. Kenangan indah bersamanya terus berputar dalam pikiranku, tetapi aku tahu aku harus melanjutkan.