Pagi itu, aku bangun lebih dulu dibanding Ghea dan Rani yang masih tidur nyenyak di kamar. Aku memutuskan untuk sarapan sendiri saja, tak ingin mengganggu mereka. Dengan penampilan seadanya, kemeja biru laut dipadukan celana bargo krem, aku keluar dari kamar menuju lift hotel.
Saat berjalan di lorong hotel, aku tidak menyangka akan bertemu dengan seseorang yang begitu ingin kuhindari pagi ini—Arqa. Di sana, dia berdiri dengan santai, mengenakan kaos putih dan celana jeans, ekspresi wajahnya nyaris tak terbaca.
Aku tau dia berdiri di depan kamarnya dengan Dimas dan Al. Aku saja yang melupakan itu ketika memutuskan untuk berjalan menuruni tangga ke lantai dasar. Jika aku naik lift tadi, aku tidak akan bertemu Arqa yang tidak ingin kulihat saat ini. Namun, matanya memandang lurus ke arahku, seolah sudah menungguku.
"Jyia," panggilnya, nadanya rendah, tapi tegas.
Aku memandangnya sebentar, kemudian menghela napas pelan. "Ya?"
Dia menggaruk belakang kepalanya, terlihat sedikit gelisah. "Kita perlu bicara."
Aku hanya diam, berdiri di depannya, menatapnya dengan ekspresi datar. "Oke, bicara apa?"
"Tentang... tentang semalam. Aku tahu pasti kamu kaget dengan apa yang terjadi antara aku dan Rani," ucap Arqa, menghindari tatapanku.
Aku mengangkat alis. "Kaget? Ya, mungkin. Tapi aku udah nggak terlalu peduli sekarang, Arqa."
Dia tampak terkejut dengan jawabanku yang dingin, tapi tetap melanjutkan. "Jyia, aku cuma mau bilang kalau... semuanya nggak seperti yang kamu pikir. Apa yang aku lakukan selama ini ke kamu..."
Aku menatapnya tajam, tak memberi kesempatan baginya untuk melanjutkan. "Oh, jadi sekarang kamu mau bilang kalau hubungan kita itu cuma bagian dari permainan kamu? Gitu?"
Dia terdiam sejenak, lalu menundukkan kepala. "Ya. Aku tahu ini terdengar buruk, tapi aku harus jujur. Aku memang... cuma mendekati kamu supaya bisa lebih dekat sama Rani. Awalnya, aku nggak niat buat nyakitin kamu, cuma... aku butuh alasan buat deketin dia."
Meskipun aku sudah siap mendengar jawaban ini, tetap saja terasa ada sesuatu yang mencubit dalam hati. "Oh, jadi selama ini kamu pikir aku nggak sadar sama permainan kamu? Kamu pikir aku nggak tahu kalau kamu nggak pernah benar-benar peduli?"
Dia terdiam, tidak mampu menatap mataku.
Aku menghela napas, mencoba mempertahankan nada suara agar tetap tenang. "Aku cuma mau bilang satu hal, Arqa. Aku kecewa. Bukan karena kamu nggak suka sama aku, tapi karena kamu menganggap aku nggak cukup penting untuk jujur dari awal."
Dia tampak tertunduk, mungkin karena rasa bersalah. "Maaf, Jyia. Aku nggak tahu ini bakal sejauh ini. Aku... aku nggak tahu bagaimana caranya berhenti setelah semuanya dimulai."
Aku tertawa sinis. "Berhenti? Kamu bahkan nggak pernah mulai apa-apa. Itu masalahnya, Arqa. Kamu nggak pernah benar-benar ada buat aku, dan sekarang kamu malah berharap aku bisa memaafkan begitu aja?"
Dia tampak bingung, tidak tahu harus menjawab apa.
"Aku nggak butuh permintaan maaf kamu, Arqa. Kamu bisa lupakan semuanya dan kembali ke Rani. Toh, itu yang kamu inginkan sejak awal, kan?" tanyaku, menatapnya dengan ekspresi yang sengaja kusembunyikan dari segala rasa terluka.
"Jyia, aku bener-bener menyesal..." ucapnya lirih, tapi kali ini aku tidak ingin mendengarnya lagi.
"Arqa, aku nggak peduli. Mulai sekarang, aku bakal anggap kamu cuma orang asing. Kamu bebas bersama Rani, aku doain kamu bahagia sama dia. Tapi aku nggak akan pernah lupa gimana kamu mempermainkan perasaan orang lain cuma buat keuntungan kamu sendiri."
Arqa tampak terpukul dengan kata-kataku, tapi aku tidak memberinya kesempatan lagi. Dengan langkah mantap, aku berbalik meninggalkannya. Tidak ada lagi yang perlu diucapkan. Aku akan melangkah maju, dan takkan membiarkan dirinya menjadi alasan untukku kembali melihat ke belakang.
Saat aku kembali ke rutinitas pagiku, perasaanku campur aduk. Meskipun hatiku masih terasa berat, aku tahu aku harus melanjutkan hidup tanpa memikirkan permainan yang telah ia buat.
𓊝
Aroma roti bakar yang hangat memenuhi ruangan, membuatku merasa nyaman saat terbangun. Mataku masih setengah tertutup ketika aku melihat Radit berada di dapur, sibuk dengan panci dan wajan. Dia tampak fokus, mengaduk sesuatu di dalam wajan dengan penuh perhatian. Aku segera teringat kenapa aku berada di sini dan perasaan canggung menyelimutiku.
"Radit, kamu memasak sarapan untuk saya?" tanyaku, mengangkat tubuhku sedikit dari tempat tidur. Suara semburat rasa ingin tahuku membuatnya menoleh.
"Ya, bos. Cuma roti bakar sih, mudah aja," jawabnya sambil tersenyum. "Aku pikir kamu pasti butuh makanan setelah semalaman mabuk."
Aku mengangguk pelan, merasa sedikit bersalah. "Semalaman mabuk? Jadi, saya benar-benar mengganggu?"
"Engga kok. Kamu ga mengganggu," Radit cepat-cepat meyakinkanku sambil mengangkat piring berisi roti bakar yang masih mengepul. "Sebenarnya, aku merasa senang bisa merawat kamu. Cuma bos yang perlu berjanji tidak mabuk lagi."
Aku mengambil sepotong roti bakar yang dia olesi selai, masih hangat dan mengeluarkan aroma yang menggoda. "Janji, deh. saya akan berusaha lebih baik," kataku, sambil melahap roti bakar itu dengan lahap. Rasanya manis dan lembut, dan aku bisa merasakan rasa selai yang meleleh di lidahku.
Radit tertawa ringan, matanya berbinar melihatku menikmati sarapan. "Bos harus tahu, aku ini bukan chef, lho. Ini cuma roti bakar yang sederhana."
"Cuma roti bakar? Ini enak banget!" ujarku, merasakan kenyamanan di dalam perutku. "Tapi, kenapa kamu gak bangunin saya?"
"Karena aku tahu bos butuh tidur. Tadi malam kamu keliatan sangat lelah," jawabnya sambil menempatkan piring kosong di meja. "Jadi, aku buatkan sarapan supaya bos bisa pulih. Lagipula, kita punya agenda penting hari ini."
"Ya, itu benar." Dalam hati, aku berusaha menenangkan diri. "Kita akan bertemu Pak Gavriel, kan? Saya harap semuanya berjalan lancar."
Radit mengangguk, terlihat percaya diri. "Tentu saja, bos. Dan jangan khawatir, kita sudah siap. Kita hanya perlu memastikan untuk berkomunikasi dengan baik. Dan semoga Pak Gavriel puas dengan mobilnya."
"Saya harap begitu," kataku, memikirkan tentang pertemuan yang akan datang. Roti bakar ini memang enak, tetapi suasana hati yang campur aduk membuatku sedikit cemas.
"Jadi, bos udah merasa lebih baik sekarang?" Radit bertanya, memperhatikan wajahku. "Atau masih pusing?"
"Sepertinya saya sudah lebih baik, tidak ada pusing lagi," jawabku, mencoba tersenyum meskipun ada rasa tidak nyaman di dalam hati. "Tapi, masih merasa sedikit canggung tentang malam kemarin."
"Jangan terlalu dipikirkan, bos. Itu sudah berlalu," ucapnya dengan suara lembut. "Yang penting sekarang adalah fokus untuk pekerjaan kita."
"Aku tahu. Mungkin saya harus lebih sering meminta kamu memasak," kataku sambil tersenyum lebar.
"Kalau bos mau, aku bisa jadi koki pribadi untukmu," jawab Radit dengan nada bercanda, mengangkat sendok seolah-olah itu adalah alat masak. "Tapi bos harus menghentikan kebiasaan mabuk dulu!"
Kami tertawa, suasana di dalam kamar hotel terasa hangat meskipun ada banyak ketegangan yang tak terlihat. Saat itu, aku merasa bersyukur punya Radit di sampingku, meskipun aku tahu hariku akan menjadi rumit setelah ini.
Setelah menyelesaikan sarapan, aku membereskan piring dan memutuskan untuk bersiap-siap. "Oke, waktunya saya bersiap. Kita masih punya waktu sebelum bertemu Pak Gavriel, kan?"
"Ya, bos. Kita punya waktu cukup," Radit menjawab, mengingatkanku untuk tidak terburu-buru. "Ingat, santai saja. Semua akan baik-baik saja."
"Semoga," balasku, berusaha menenangkan diri. Meskipun ada rasa canggung yang mengintai, semoga semuanya berjalan lancar di depan Pak Gavriel nanti.