Chereads / Other Rains / Chapter 2 - O2- Dibawah Langit yang Menangis

Chapter 2 - O2- Dibawah Langit yang Menangis

Entah bagaimana bisa, satu jam sebelum acara dimulai hujan berhenti total sehingga Jyia dan Radit dapat melakukan pengecekan mendalam untuk keberlangsungan acara. Tanpa terasa, waktu yang ditunggu akhirnya tiba. Para tamu mulai memasuki area acara dan Jyia yang semakin tak sabaran.

Di ballroom hotel mewah pada siang menjelang sore, cahaya jingga matahari lembut menyinari ruangan melalui jendela besar. Di panggung utama, Jyia, perwakilan perusahaan, berdiri dengan elegan, siap meluncurkan produk mobil mewah terbaru dari perusahaannya. Benar, Jyia adalah seorang Manager pemasaran, dan dalam kesempatan ini dia ingin menjadi seorang Manager Utama, tetapi bukan untuk dirinya sendiri.

"Selamat siang, hadirin yang terhormat," katanya, suaranya tegas namun ramah. "Hari ini kami memperkenalkan sebuah karya seni, mobil mewah yang mencerminkan kemewahan dan inovasi."

Di sampingnya, Radit, asisten setianya, sibuk mengatur presentasi. Layar besar di belakang mereka mulai menampilkan gambar mobil tersebut-desain aerodinamis, interior kulit premium, dan teknologi canggih. Para tamu, sebagian besar pengusaha kaya dan perwakilan perusahaan, duduk di kursi berlapis satin sambil mengamati setiap detail dengan penuh perhatian.

"Apa yang Anda lihat adalah lebih dari sekadar mobil," lanjut Jyia. "Ini adalah pengalaman, sesuatu yang akan mengubah standar kemewahan dalam berkendara."

Radit kemudian menjelaskan fitur-fitur teknis dari mobil tersebut. "Mobil ini tidak hanya mengedepankan kenyamanan, tetapi juga keselamatan dengan teknologi terkini yang dirancang untuk memberikan pengalaman berkendara terbaik."

Ketika presentasi selesai, tirai yang menutupi sudut ruangan perlahan dibuka, memperlihatkan replika skala mobil. Visualisasi mobil sebenarnya ditampilkan di layar besar, menciptakan kesan bahwa mobil ini berada di tengah ruangan.

Setelah acara yang berjalan dengan lancar, Tuan Gavriel, seorang pengusaha kaya, mendekati Jyia. "Presentasi yang mengesankan," pujinya. "Saya ingin memesan mobil ini sebagai hadiah pernikahan untuk anak saya. Saya yakin ini akan jadi hadiah yang sempurna."

Jyia tersenyum. "Terima kasih, Tuan Gavriel. Kami akan memastikan mobil ini siap tepat waktu untuk hari besar anak Anda."

"Bagus," jawab Tuan Gavriel dengan puas. "Ini akan menjadi kejutan besar untuknya."

𓊝

Hari semakin larut ketika para tamu mulai meninggalkan ruangan. Radit menghampiri Jyia dengan senyum puas. "Hari ini berjalan lancar, lebih baik dari yang saya perkirakan."

Jyia mengangguk. "Benar. Dan pesanan langsung untuk pernikahan itu sungguh tidak terduga."

Radit tertawa. "Siapa tahu, besok kita mungkin menerima lebih banyak pesanan lagi."

"Kita akan siap," balas Jyia sambil tersenyum. "Tapi untuk sekarang, mari kita nikmati momen ini."

Setelah acara peluncuran yang sukses, Jyia dan Radit duduk santai di kamar hotel Jyia, dengan sebotol alkohol di depan mereka. Mereka ingin merayakan kesuksesan malam itu.

"Kita berhasil," kata Jyia sambil tersenyum dan mengangkat gelasnya. "Semua berjalan sesuai rencana."

Radit mengangguk, senyum lebar menghiasi wajahnya. "Iya, ini luar biasa. Para tamu terlihat sangat terkesan."

Mereka mulai meneguk minuman mereka, sambil berbincang tentang acara, tamu-tamu penting, dan pesanan mobil yang masuk. Namun, setelah beberapa gelas, Jyia mulai terlihat berbeda. Radit memperhatikan bahwa atasananya itu minum lebih banyak dan lebih cepat dari biasanya.

"Pelan-pelan aja, bos," ucap Radit sedikit cemas. "Kita masih punya waktu untuk menikmati malam ini."

Jyia tertawa kecil, tetapi tawa itu cepat mereda, dan dia mulai terlihat agak jauh. Radit memperhatikan perubahan di wajahnya.

"Bos baik-baik aja?" tanya Radit, mencoba mencari tahu apa yang terjadi.

Jyia terdiam sejenak, menatap kosong ke arah gelasnya. "Ya... saya gapapa," katanya, meski nadanya tidak terdengar meyakinkan. Dia meneguk minuman lagi, kali ini lebih cepat.

Melihat hal itu, Radit memutuskan untuk tidak banyak bicara. Dia tahu ada sesuatu yang mengganggu Jyia, tapi tidak ingin mendesak. Radit memutuskan untuk menahan diri dan minum secukupnya saja. Dia ingin tetap sadar, kalau-kalau sesuatu terjadi pada bosnya.

Sementara itu, Jyia semakin tenggelam dalam pikirannya. Tanpa mengatakan apa-apa, dia terus memikirkan Michael, seseorang dari masa lalunya yang tiba-tiba muncul lagi di benaknya. Nama Michael terus berputar dalam pikirannya, membuatnya semakin gelisah. Dia mencoba menenggelamkan perasaan itu dengan minuman, tetapi semakin banyak dia minum, semakin kuat bayangan Michael menghantui.

Radit yang mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar perayaan, memutuskan untuk berhenti minum dan memperhatikan Jyia dengan lebih dekat. Dia tetap diam, membiarkan Jyia memiliki ruang untuk dirinya sendiri, meski suasana di antara mereka mulai berubah.

Setelah beberapa gelas, Jyia akhirnya tidak sanggup lagi menahan kantuk dan mabuk. Dengan langkah goyah, dia terjatuh di atas tempat tidur Radit, tertidur pulas. Radit menghela napas panjang, memastikan bahwa Jyia baik-baik saja sebelum dia sendiri berbaring di sofa kecil di sudut ruangan.

Malam itu, Radit tidak tahu apa yang terjadi dalam pikiran Jyia, tapi dia tahu satu hal: dia harus tetap berjaga untuk memastikan bosnya aman, setidaknya untuk malam ini.

𓊝

Maret, 2016...

Hujan turun dengan deras di Bandung sore itu. Langit kelabu menyelimuti kota, sementara tetes-tetes air menghujani jalanan dan membuat para pejalan kaki berlarian mencari tempat berteduh. Aku, seorang gadis yang baru tiba di Bandung untuk liburan, berpakaian sederhana dengan jaket hangat, berlari kecil mencari perlindungan dari hujan. Aku kebingungan, tak tahu harus ke mana, karena aku sudah cukup jauh dari hotel.

Dasar aneh, padahal aku sudah menduga akan turun hujan, tapi aku lupa membawa payung untuk melindungi diri. Sementara itu, seorang mahasiswa, kebetulan juga berada di jalan yang sama. Dia sedang berjalan menyusuri kota ketika hujan mulai turun. Tanpa tergesa-gesa, dia melangkah dengan tenang sambil mengambil payung kecil di ranselnya. Namun, saat melihatku yang terlihat kebingungan di tengah hujan, mungkin nalurinya mengatakan untuk membantu.

"Sepertinya kamu butuh ini," suaranya memecah keheningan. Aku menoleh dan melihat seorang lelaki muda berdiri di sampingku, tersenyum sambil memegang payung yang melindungiku dari hujan.

Dia tersenyum hangat. "Kamu dari Jakarta ya? Kebetulan, ada kafe kecil di depan jalan. Kalau mau, aku bisa temenin kamu ke sana. Lumayan nyaman buat nunggu hujan reda." entahlah mungkin dia sudah bisa menebak asalku dari gaya pakaianku.

Aku sedikit terkejut, tapi melihat wajahnya yang tampak tulus, aku merasa percaya. "Boleh, makasih ya! Aku juga berniat ke sana tadi."

Kami berdua berjalan menuju kafe yang dimaksud, sebuah tempat kecil yang nyaman di tepi jalan. Hujan masih deras saat kami tiba, dan begitu masuk, aroma kopi yang kuat serta suasana hangat langsung menyambut kami.

"Silakan pilih tempat duduk dan biar aku yang pesen kopi," katanya sambil tersenyum. Aku memilih duduk di dekat jendela, di mana kami bisa melihat hujan yang terus mengguyur.

Aku melepaskan jaket dan duduk sambil tersenyum lega. "Untung ada kamu. Kalau nggak, aku mungkin bakal basah kuyup di luar sana." sahutku begitu melihatnya berjalan mendekati meja dengan 2 cangkir kopi.

"Nggak masalah, aku sering ke sini kalau bosan dan hujan di Bandung memang sering datang tiba-tiba, tapi itu yang bikin kota ini menarik."

"Jadi, kamu bener dari Jakarta?" tanya nya setelah kami duduk berhadapan.

"Iya, cuma untuk acara perpisahan dengan teman sekelas. Setelah itu, kembali lagi ke rutinitas biasa. Sebenarnya ini cuma 3 hari aja sih liburannya ke Bandung. Tapi, aku ingin lebih lama di sini. Bandung itu... nyaman," jelasku sambil memandang ke luar jendela, hujan yang menetes di kaca membuat suasana semakin tenang diantara kami.

"Apa kamu sering bertemu dengan orang asing begini?" tanyaku tiba-tiba agak bercanda.

Lelaki itu tertawa kecil. "Enggak juga. Hanya saja, hujan hari ini membawa kita bertemu. Mungkin kebetulan."

Aku ingat, kala itu senyumannya terlihat sangat tulus dan menawan. Aku tidak pernah lupa senyum dan tawanya hingga kini.

"Ya, mungkin kebetulan. Atau mungkin Bandung memang tahu kapan mempertemukan orang-orang di saat yang tepat," aku tersenyum.

Aku menatap keluar jendela, melihat hujan yang terus turun dengan deras. "Aku baru pertama kali liburan ke Bandung. Dan aku suka banget suasananya. Sejuk, terus hawanya menenangkan, beda sama Jakarta."

"Bandung memang punya pesonanya sendiri. Aku lahir dan besar di sini, jadi kota ini kayak rumah buatku," jawabnya sambil tersenyum. "Oh iya, belum kenalan ya? Aku Michael. Mahasiswa semester empat di Universitas Pancagada."

Aku menyambut perkenalan itu dengan senyum. "Aku Jyia.."

"Btw, Jyia udah sempat ke mana aja?" tanyanya dengan nada ingin tahu kemudian menyeruput kopi miliknya.

Entah mengapa, tapi aku merasa hatiku seolah berbunga-bunga mendengar dia menanggil namaku dengan lembut.

"Kami baru sampai di Bandung tadi siang. Besok rencananya mau ke Braga sama Dago Atas," jawabku berusaha menyembunyikan perasaan yang tidak jelas.

"Tapi jujur, aku belum tahu tempat-tempat bagus di sana. Kamu tahu nggak tempat yang oke? "

Dia mengangguk. "Braga dan Dago Atas tempat yang bagus, kok. Kalau Jyia mau, aku bisa kasih beberapa rekomendasi. Misalnya, kalau di Braga, banyak kafe-kafe artistik yang cocok buat foto-foto. Dan di Dago Atas, ada spot yang keren buat lihat pemandangan kota dari ketinggian."

Aku tampak semakin bersemangat. "Seru juga, ya! Aku nggak sabar buat explore Bandung besok sama temenku."

Percakapan kami terus berlanjut dengan santai, berbicara tentang kota Bandung, rencana aku selama di sana, dan pengalaman Michael tumbuh besar di kota itu. Ada sesuatu dalam cara kami berbicara yang membuat suasana menjadi akrab, seolah kami sudah lama saling mengenal.

Setelah beberapa waktu, Michael menoleh ke arahku dan berkata, "Oh iya, ngomong-ngomong soal Bandung dan pengalaman, aku punya sesuatu yang mungkin kamu suka. Jyia tahu Spotify, kan?"

Aku yang sedang minum kopi sedikit tersedak lalu dengan cepat mengangguk. "Iya, kenapa?"

"Jadi, aku punya band kecil sama teman-teman SMA-ku. Kami punya satu lagu yang rilis di Spotify. Judulnya 'Hati Kecil'. Mungkin kamu mau dengerin?"

Mataku berbinar. "Serius? Kamu punya lagu di Spotify? Wah, aku mau!"

Michael mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi Spotify, lalu mencari lagu mereka. Dia menyodorkan satu earbuds ke arahku sambil tersenyum. "Nih, coba Jyia dengerin."

Aku memasang earbuds di telingaku, sementara Michael memainkan lagu itu. Suara gitar akustik yang lembut mengalun, diikuti dengan vokal yang seperti suara Michael. Lagu itu membawa suasana yang tenang namun mendalam, seolah setiap kata yang dinyanyikan berasal dari hati.

Saat lagu berakhir, aku masih terdiam sejenak, terpesona oleh lirik dan melodi yang sederhana tapi menyentuh. Aku menatap Michael dengan takjub. "Ini keren banget. Kamu yang nulis liriknya?"

Michael tersenyum, sedikit malu. "Haha, bukan sih. Ada orang lain yang nulis liriknya. Aku hanya nyanyiin dan temenku yang mainin aransemen alat musiknya. Kami gabut aja waktu itu dan jadilah lagu ini."

Aku mengangguk pelan. "Liriknya nyentuh banget. Aku bisa ngerasain setiap kata yang kamu nyanyiin."

"Wah, thanks ya," jawabnya sambil menggaruk belakang kepalanya, tampak sedikit canggung. "Kami nggak terlalu terkenal, tapi ya, buatku lagu ini punya kenangan tersendiri."

"Kamu berbakat. Suara kamu bagus, beneran," pujiku tulus. "Aku nggak nyangka bisa ketemu orang yang punya lagu di Spotify. Ini pengalaman baru untuk aku."

Kami berdua tertawa kecil, dan suasana semakin cair. Hujan di luar masih belum menunjukkan tanda-tanda akan reda, tapi di dalam kafe, obrolan kami semakin hangat.

"Jyia sendiri gimana? Suka musik apa?" tanyanya setelah suasana kembali tenang.

"Aku suka musik yang santai. Biasanya dengerin buat nemenin belajar atau waktu santai. Tapi aku dengerin lagu itu bergantung sama nada dan liriknya sih, jadi gak berpatok sama satu genre gitu," jawabku sambil tersenyum.

Ada chemistry yang unik antara kami, meskipun baru pertama kali bertemu. Michael, dengan sikapnya yang dewasa dan santai, membuatku merasa nyaman dan didengarkan. Sementara aku, dengan semangat puberku yang lugu, memberikan warna baru dalam obrolan kami.

"Oh iya, Michael, kamu pernah ngerasa takut nggak soal masa depan?" tanyaku dengan ragu.

Michael terdiam sejenak, memikirkan pertanyaan itu. "Jujur, kadang ada rasa takut. Tapi buatku, yang penting aku jalanin dulu apa yang aku suka. Kalau gagal, ya itu bagian dari perjalanan. But at least, aku nggak nyesel karena udah pernah mencoba."

Aku mendengarkan dengan seksama. "Kamu keren banget, bisa mikir kayak gitu. Aku sendiri masih bingung mau ngapain setelah lulus nanti."

"Wajar, kok," katanya sambil tersenyum. "Aku dulu juga gitu. Tapi lambat laun, kamu bakal nemuin apa yang kamu suka. Yang penting, nikmatin prosesnya."

Kami terdiam sejenak, mendengarkan suara hujan yang mulai berangsur-angsur reda. Kafe itu kini semakin sepi, hanya ada beberapa pelanggan lain yang duduk di sudut-sudut ruangan.

"Aku seneng banget ketemu kamu hari ini," kataku dengan tulus. "Kalau nggak ada kamu, mungkin aku masih kebingungan di luar sana, basah kuyup karena hujan."