Oktober, 2023...
Pagi itu, seorang wanita terbangun perlahan, cahaya matahari pagi mulai masuk melalui tirai tipis apartemennya. Dengan tenang, dia duduk di tepi tempat tidur, menikmati sejenak keheningan sebelum hari sibuk dimulai. Setelah meregangkan tubuh, dia melangkah ke kamar mandi, di mana air hangat dari pancuran membantu menyegarkan tubuhnya. Seusai mandi, dia berdiri di depan cermin, mengaplikasikan make-up dengan cepat namun teliti-foundation ringan, eyeshadow netral, dan lipstick yang memberi kesan elegan.
Selesai bersiap, dia melangkah ke meja kerjanya, di mana laptop dan dokumen-dokumen penting sudah menunggu. Dengan cekatan, dia memeriksa ulang agenda yang sangat krusial hari ini. Dokumen masuk ke dalam tas kerjanya, diikuti oleh ponsel dan dompetnya.
Tas kerja besar di tangannya terasa lebih berat dari biasanya, mungkin karena pikirannya yang sedikit khawatir. Di pintu apartemen, Radit, asisten lelakinya, berdiri sambil memegang koper yang lebih kecil, menunggunya. Mereka berdua akan berangkat ke Bandung untuk acara peluncuran produk baru yang selama beberapa bulan terakhir mereka persiapkan dengan teliti. Ini adalah kesempatan yang bisa membantu dirinya naik jabatan.
"Sudah siap, bos?" tanya Radit dengan suara tenang.
Jyia mengangguk pelan, memaksakan senyum kecil. "Ya, mari kita pergi. Dan Radit, tolong jangan ajak saya bicara selama di pesawat nanti ya.". Meskipun sedikit heran, Radit tetap menganggukkan kepalanya.
Pesawat dari Jakarta ke Bandung berangkat tepat waktu. Sepanjang perjalanan, Jyia hanya menatap ke luar jendela, pikirannya melayang ke segala hal kecuali pekerjaan. Suasana pesawat yang tenang tak membantu mengusir kecemasan dalam dirinya. Bandung, kota ini selalu menyimpan kenangan-kenangan yang ingin ia lupakan tapi sulit dihapus.
Mereka tiba di Bandung saat siang hari. Langit mendung menyambut keduanya begitu mereka turun dari pesawat. Jyia dan Radit langsung menuju hotel bintang lima yang tak jauh dari pusat kota. Setelah proses check-in selesai, mereka menuju kamar masing-masing.
Jyia baru saja meletakkan tasnya di atas meja ketika ia mendengar suara hujan yang mulai jatuh di luar jendela hotel. Hujan turun deras, membasahi jalanan Bandung. Jyia lantas menghentikan langkahnya, berdiri di depan jendela besar, menyaksikan tetesan hujan yang berjatuhan.
"Bandung dan hujan...," gumamnya pelan, matanya menerawang jauh.
Tujuh tahun lalu, hujan yang sama menyambutnya ketika ia pertama kali bertemu dengan pria itu. Pria yang telah mencuri seluruh cintanya, namun pada akhirnya juga merebut kebahagiaannya. Dalam diam, kenangan akan pria itu kembali hadir di pikirannya. Pertemuan yang tak terduga di tengah derasnya hujan, di sebuah tempat yang tak mungkin dilupakan.
𓊝
Maret, 2016...
Sore itu, Bandung diselimuti awan mendung, tanda hujan akan segera turun. Jyia dan teman-teman sekelasnya baru saja tiba di Bandung untuk acara perpisahan. Mereka menginap di sebuah hotel di kota, dan setelah menaruh barang di kamar masing-masing, mereka berkumpul di lobi hotel.
"Jyia, jalan-jalan yuk! Di Dago ada tempat nongkrong yang seru!" seru Ghea, salah satu teman dekatnya, dengan semangat.
Jyia yang duduk di sofa lobi hanya tersenyum tipis. "Engga deh... Mungkin nanti aja. Aku masih capek karena perjalanan tadi."
"Ah Jyia ga seru, mumpung kita di Bandung, loh! Kapan lagi? Nanti kalau udah balik Jakarta, kamu pasti nyesel," sahut Rani, teman lainnya, sambil menepuk pundak Jyia.
Jyia terkekeh kecil. "Calm, girls... Aku pasti ikut ke tempat-tempat seru nanti. Tapi sekarang, kayaknya aku butuh waktu sendiri dulu. Lagipula kita punya waktu 2 hari lagi kan?"
"Sendiri?" Rani mengangkat alis. "Kenapa? Lagi banyak pikiran ya?"
Jyia mengangguk kecil, matanya menerawang keluar jendela lobi yang sudah mulai menunjukkan rintik-rintik hujan. "Cuma pengen jalan-jalan santai dulu, mau nikmatin suasana Bandung."
Ghea dan Rani saling bertukar pandang, "Oke deh, kalau kamu mau sendiri. Tapi jangan terlalu lama ya?" Rani terlihat sedikit khawatir.
"Aku janji, kok," jawab Jyia sambil tersenyum.
Ghea menambahkan, "Hati-hati ya, Jy. Jangan nyasar! Udah mau hujan juga, nih!"
Jyia tertawa kecil. "Santai aja, Bandung nggak sebesar Jakarta, aku nggak akan nyasar dan hujannya juga pasti bakal delay, haha."
Setelah berpamitan, Jyia akhirnya melangkah keluar hotel. Ia berjalan perlahan-lahan di bawah langit Bandung yang mulai meneteskan gerimis.
Sambil menyusuri trotoar yang basah oleh hujan, Jyia memutuskan untuk berjalan tanpa tujuan, hanya mengikuti kemana kakinya melangkah. Jalanan di Bandung terasa tenang, berbeda dari hiruk pikuk Jakarta. Suara rintik hujan yang jatuh di jalanan membuat pikirannya melayang jauh, sampai ia tak sadar sudah melewati beberapa blok dari hotel.
Jyia yang tidak membawa payung, memutuskan untuk menuju ke sebuah toko kecil di seberang jalan, berharap bisa membeli sesuatu yang manis untuk menghangatkan suasana hatinya sekaligus berteduh.
Saat ia menunggu untuk menyebrang, hujan semakin deras, membuatnya sedikit panik. Sebuah payung tiba-tiba terbuka di atas kepalanya.
"Sepertinya kamu butuh ini," suara seorang lelaki memecah keheningan. Jyia menoleh dan melihat seorang lekaki muda berdiri di sampingnya, tersenyum sambil memegang payung yang melindunginya dari hujan.
Saat pertama kali melihatnya, Jyia langsung terpukau dengan penampilannya yang rapi dan bersih. Yang menarik, dia juga memakai kacamata dengan bingkai tipis hitam, memberikan kesan cerdas tanpa terlihat terlalu formal. Kacamata itu membuatnya tampak lebih fokus, menambah daya tarik tersendiri. Membuatnya terlihat seperti seseorang yang sangat memperhatikan detail. Jam tangan kulit cokelat yang dia kenakan semakin menambah kesan dewasa. Setiap darinya memancarkan percaya diri yang tenang, tanpa terkesan berlebihan.
Hujan terus turun, dan mereka berdiri di sana, di bawah payung yang sama. Dia tersenyum hangat. "Kamu dari Jakarta ya? Kebetulan, ada kafe kecil di depan jalan. Kalau mau, aku bisa temenin kamu ke sana. Lumayan nyaman buat nunggu hujan reda."
Jyia memandangi kafe tersebut, terlihat nyaman dengan jendela besar yang memperlihatkan hujan dari dalam. "Boleh juga, sepertinya aku memang butuh tempat untuk menghangatkan diri."
Mereka pun berjalan menyeberang jalan, masih berbagi payung di tengah hujan yang tak kunjung reda. Saat mereka masuk ke dalam kafe, suasana hangat langsung menyelimuti mereka. Aroma kopi yang segar tercium, menyambut kedatangan mereka. Lelaki memesan dua cangkir kopi, sementara Jyia memilih tempat duduk di dekat jendela, tempat di mana mereka bisa melihat hujan yang terus turun di luar.
Jyia melepaskan jaket dan duduk sambil tersenyum lega. "Untung ada kamu. Kalau nggak, aku mungkin bakal basah kuyup di luar sana." sahut Jyia begitu melihat lelaki itu berjalan mendekati meja sambil membawa dua cangkir kopi.
"Nggak masalah, aku sering ke sini kalau bosan dan hujan di Bandung memang sering datang tiba-tiba, tapi itu yang bikin kota ini menarik."
"Jadi, kamu bener dari Jakarta?" tanya lelaki itu setelah mereka duduk berhadapan.
"Iya, cuma untuk acara perpisahan dengan teman sekelas. Setelah itu, kembali lagi ke rutinitas biasa. Sebenarnya ini cuma 3 hari aja sih liburannya ke Bandung. Tapi, aku ingin lebih lama di sini. Bandung itu... nyaman," jelas Jyia sambil memandang ke luar jendela, hujan yang menetes di kaca membuat suasana semakin tenang diantara keduanya.
"Apa kamu sering bertemu dengan orang asing begini?" tanya Jyia tiba-tiba agak bercanda.
Lelaki itu tertawa kecil. "Enggak juga. Hanya saja, hujan hari ini membawa kita bertemu. Mungkin kebetulan."
Jyia ingat, kala itu senyuman lelaki dihadapannya terlihat sangat tulus dan menawan. Dia tidak pernah lupa senyum dan tawanya hingga kini.
"Ya, mungkin kebetulan. Atau mungkin Bandung memang tahu kapan mempertemukan orang-orang di saat yang tepat," jawab Jyia dengan tersenyum misterius.
Jyia menatap keluar jendela, melihat hujan yang terus turun dengan deras. "Aku baru pertama kali liburan ke Bandung. Dan aku suka banget suasananya. Sejuk, terus hawanya menenangkan, beda sama Jakarta."
"Bandung memang punya pesonanya sendiri. Aku lahir dan besar di sini, jadi kota ini kayak rumah buatku," jawab lwlaki itu sambil tersenyum. "Oh iya, kenalin, aku Michael. Mahasiswa semester 4 di Universitas Pancagada."
Jyia menyambut perkenalan itu dengan senyum. "Aku Jyia.."
Mereka terus berbicara, obrolan ringan dan percakapan itu mengalir begitu saja, tanpa disadari olehku, waktu telah berlalu begitu cepat. Hujan di luar perlahan mulai reda, meskipun masih ada sisa rintik-rintik kecil. Jyia melirik jam di pergelangan tangannya, menyadari bahwa sudah cukup lama mereka berbicara dan langit sudah menggelap.
"Sepertinya aku harus balik ke hotel. Teman-temanku pasti nyariin dan aku gak bawa ponsel," ujarnya dengan sedikit penyesalan dalam suara.
Michael mengangguk pelan. "Aku anter aja ya? Lagipula, aku ga seharusnya biarin kamu pulang sendiri dalam kondisi seperti ini."
Mereka kemudian keluar dari kafe menuju ke hotel. Meskipun obrolan mereka kini lebih tenang, ada rasa nyaman yang aneh antara mereka. Ketika mereka sampai di depan hotel, Jyia berhenti sejenak sebelum masuk.
"Terima kasih, Michael. Untuk payungnya, dan kopinya, dan obrolannya."
"It's okay. Senang bisa ketemu kamu, Jyia. Mungkin kita bisa bertemu lagi suatu hari nanti," jawab Michael, suaranya terdengar tulus.
Jyia tersenyum, merasakan ada sesuatu yang spesial dalam pertemuan singkat itu. "Ya, siapa tahu. Sampai jumpa."
Dan dengan itu, Jyia melangkah masuk ke hotel, meninggalkan Michael yang masih berdiri di luar, menyaksikan hujan yang akhirnya benar-benar berhenti.
Jyia tersentak dari lamunannya ketika suara ketukan pintu kamar terdengar. Itu Radit, yang mengingatkan bahwa mereka harus segera pergi ke rapat persiapan peluncuran produk.
"Bos, kita akan terlambat kalau tidak segera pergi," kata Radit dari balik pintu.
Jyia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Saya akan segera menyusul," jawabnya.
Hujan di luar masih turun deras. Dengan langkah berat, Jyia meninggalkan kamar hotel, membawa perasaan yang bercampur aduk. Sepanjang perjalanan menuju ruang acara, ia mencoba fokus pada pekerjaannya, namun kenangan tentang Michael tidak akan ia biarkan terus menghantuinya. Walaupun Bandung dan hujan memang selalu mengingatkan Jyia pada pria itu, cinta yang tak pernah ia lupakan meskipun telah berlalu bertahun-tahun lamanya.