(Dalam mimpi, suasana terasa damai. Demiurgos berdiri di tengah rumah kayu kecil yang sederhana namun hangat. Perapian menyala, memberikan cahaya hangat di ruangan itu. Seorang wanita dengan rambut putih panjang berdiri di dekat meja kayu, mengenakan gaun sederhana. Suaranya lembut dan penuh kasih.)
Wanita:
"Demi, kau selalu bekerja terlalu keras. Istirahatlah sebentar. Aku sudah menyiapkan teh untukmu."
Demiurgos:
(Tertawa kecil, sambil menatap wanita itu dengan lembut)
"Aku tidak bisa hanya duduk diam. Kau tahu aku ingin semuanya berjalan dengan baik untuk kita."
Wanita:
(Sambil tersenyum, berjalan mendekati Demiurgos, membawa secangkir teh)
"Segalanya sudah sempurna, Demi. Kita punya rumah kecil ini, ladang di belakang, dan waktu untuk menikmati hidup bersama. Apa lagi yang kau butuhkan?"
Demiurgos:
(Menatap wanita itu dengan penuh rasa syukur)
"Aku tidak butuh apa-apa lagi... selama aku bersamamu. Kau adalah segalanya bagiku."
Wanita:
(Suara lembutnya terdengar sedikit berbisik)
"Dan kau adalah segalanya bagiku. Demi... aku harap kita bisa seperti ini selamanya."
Demiurgos:
(Menatap keluar jendela, melihat ladang hijau dan hutan di kejauhan)
"Aku juga berharap begitu. Tapi terkadang aku merasa... seperti ada sesuatu yang aku lupakan. Sesuatu yang penting."
Wanita:
(Terdiam sejenak, lalu menyentuh tangan Demiurgos)
"Kau tidak perlu mengingat semuanya sekarang. Nikmati saja momen ini. Kita tidak tahu berapa lama kita bisa memilikinya."
Demiurgos:
(Menoleh padanya, menatap matanya yang tidak bisa terlihat jelas)
"Kau benar. Aku hanya ingin kau bahagia. Itu saja yang penting."
Wanita:
(Sambil tersenyum, menggenggam tangannya lebih erat)
"Aku sudah bahagia, Demi. Terima kasih untuk segalanya."
(Suasana berubah menjadi lebih samar. Bayangan wanita itu mulai kabur, dan suara angin dari luar terdengar lebih keras. Demiurgos merasa dirinya ditarik keluar dari mimpi itu.)
---
(Demiurgos terbangun dengan terengah-engah, matanya terbuka lebar. Ia menyentuh dahinya, mencoba mengingat mimpinya, tapi gambaran wanita itu mulai menghilang dari pikirannya.)
Demiurgos:
(Apelan, dengan nada kebingungan)
"Siapa tadi? Kenapa rasanya... aku mengenalnya?"
(Dia duduk di tepi tempat tidurnya, mencoba mengingat, tetapi semakin ia berusaha, semakin samar mimpinya. Akhirnya, dia menyerah, berbaring kembali dengan perasaan campur aduk.)
Demiurgos:
(Lirih, sebelum memejamkan matanya lagi)
"Mungkin... hanya mimpi biasa."
(Namun, di sudut hatinya, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar mimpi biasa. Sesuatu yang akan menjadi penting di masa depan.)
(Suasana pagi di mansion keluarga Victoria. Meja makan dihiasi dengan berbagai hidangan sarapan seperti roti panggang, telur rebus, daging asap, buah-buahan segar, dan teh hangat. Cahaya matahari pagi menerobos masuk melalui jendela besar, menciptakan suasana hangat dan nyaman.)
Haniel:
(Sambil duduk di ujung meja dengan elegan, memandang semua anggota keluarga)
"Pagi yang indah, bukan? Mari kita makan dan memulai hari dengan energi penuh."
Raphellius:
(Meminum secangkir kopi hitam)
"Seperti biasa, kau selalu menyambut pagi dengan semangat, Haniel. Aku harap semangat itu menular pada yang lain."
Sylvie:
(Sambil mengoleskan selai pada rotinya, tampak ceria)
"Kak Raphellius, kau harus lebih santai di pagi hari. Pagi seperti ini adalah waktu terbaik untuk menikmati hidup!"
Silphy:
(Dengan wajah cemberut sambil mencoba memotong telur rebus, tapi malah terpeleset dari garpunya)
"Aduh! Telurnya jatuh lagi! Kenapa aku selalu ceroboh, ya?"
Sylvie:
(Tertawa kecil, mengambil telur dari piring lain dan menyerahkannya kepada Silphy)
"Karena kau terlalu tergesa-gesa, Silphy. Kau harus pelan-pelan seperti aku."
Demiurgos:
(Sambil tertawa kecil, memandang kembarannya)
"Kalian berdua ini benar-benar tidak berubah. Pagi-pagi sudah ada saja kehebohan."
Haniel:
(Tersenyum lembut, mengambil serbet dan membantu Silphy membersihkan meja yang terkena telur)
"Tidak apa-apa, Silphy. Semua orang belajar dari hal kecil seperti ini. Jangan khawatir, kakakmu di sini akan selalu membantu."
Silphy:
(Dengan wajah sedikit memerah)
"Terima kasih, Kak Haniel. Kau memang selalu baik... tidak seperti Sylvie yang selalu menertawakanku!"
Sylvie:
(Sambil tertawa lebih keras)
"Aku menertawakanmu karena aku sayang padamu, Silphy!"
Raphellius:
(Dengan nada tenang, memandang kembarannya dengan sedikit senyum)
"Kalian memang selalu membawa keceriaan ke meja makan. Tapi coba sesekali lebih hati-hati, ya?"
Demiurgos:
(Sambil meminum teh hangatnya, memandang Haniel)
"Kak Haniel, kau selalu bisa mengatasi segalanya dengan tenang. Bagaimana kau melakukannya? Aku rasa aku tidak akan pernah bisa sepertimu."
Haniel:
(Sambil tersenyum bijak, meletakkan cangkir tehnya)
"Kuncinya adalah belajar mendengarkan dan memahami. Kita semua memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing, Demi. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri dan terus berkembang."
Sylvie:
(Sambil menatap Demiurgos dengan penuh semangat)
"Aku setuju dengan Kak Haniel! Kak Demi sudah sangat keren sekarang. Kalau nanti kau jadi Duke, aku yakin kau akan jadi yang terbaik!"
Silphy:
(Mengangguk cepat)
"Iya, aku juga setuju! Tapi jangan lupa, kau harus tetap baik pada kami ya, Kak Demi!"
Demiurgos:
(Tertawa kecil, mengusap kepala kedua adik kembarnya)
"Tenang saja. Aku tidak akan pernah berubah. Kalian tetap menjadi prioritas utamaku."
Raphellius:
(Sambil mengangguk, dengan nada serius)
"Itu sikap yang baik, Demi. Jangan pernah lupa bahwa keluarga adalah yang paling penting."
Haniel:
(Sambil memandang semua dengan penuh kasih sayang)
"Kalian semua adalah keluarga yang luar biasa. Aku bangga menjadi bagian dari ini."
(Mereka melanjutkan sarapan dengan obrolan ringan dan canda tawa. Suasana penuh kehangatan keluarga Victoria ini menjadi pengingat betapa pentingnya arti keluarga dalam hidup mereka, bahkan di tengah-tengah tanggung jawab besar dan rahasia yang mereka simpan.)
(Setelah selesai sarapan, Haniel dan Raphellius beranjak meninggalkan ruang makan. Haniel membawa beberapa dokumen yang tampaknya terkait dengan urusan keluarga, sementara Raphellius berjalan dengan tenang di belakangnya. Sementara itu, si kembar Silphy dan Sylvie mendekati Demiurgos dengan ekspresi penuh semangat.)
Sylvie:
(Kedua tangan bertumpu di pinggang, dengan senyum ceria)
"Kak Demi! Hari ini hari Minggu, kau harus menghabiskan waktu bersama kami!"
Silphy:
(Menarik lengan Demiurgos, dengan mata berbinar)
"Iya! Sudah lama kau tidak bermain dengan kami. Kami punya banyak ide seru untuk hari ini!"
Demiurgos:
(Sedikit bingung, tapi tertawa kecil)
"Apa kalian tidak lelah terus bergerak? Kalian seperti tidak pernah kehabisan energi."
Sylvie:
(Memukul pelan lengan Demiurgos)
"Tentu saja tidak! Kami kembar, jadi energi kami dua kali lipat lebih banyak daripada orang lain!"
Silphy:
(Menyeringai, menambahkan)
"Dan itu berarti kau harus meladeni kami dua kali lebih lama!"
Demiurgos:
(Menghela napas, tapi tersenyum lembut)
"Baiklah, baiklah. Jadi, apa rencana kalian untuk hari ini?"
Sylvie:
(Melompat kecil, menunjuk ke taman luar mansion)
"Ayo kita pergi ke taman belakang! Aku ingin bermain petak umpet!"
Silphy:
(Tertawa kecil, menggelengkan kepala)
"Petak umpet itu terlalu mudah, Sylvie. Lebih baik kita bermain lempar bola!"
Sylvie:
(Menatap adiknya dengan alis terangkat)
"Terlalu mudah? Kau bilang begitu karena kau selalu kalah dariku saat main petak umpet!"
Silphy:
(Berdebat dengan nada geli)
"Itu karena kau selalu curang, Sylvie!"
Demiurgos:
(Tertawa mendengar perdebatan mereka)
"Kalian ini tidak pernah berubah. Bagaimana kalau kita main keduanya? Aku akan jadi wasitnya."
Sylvie dan Silphy:
(Secara bersamaan, dengan suara penuh semangat)
"Ide bagus! Ayo, Kak Demi!"
(Mereka bertiga akhirnya pergi ke taman belakang mansion. Cahaya matahari pagi yang cerah menyinari taman yang indah dengan rerumputan hijau dan bunga-bunga bermekaran. Demiurgos merasa santai melihat kedua adik perempuannya berlari ke sana kemari dengan penuh semangat.)
Demiurgos:
(Sambil membawa bola)
"Baiklah, kita mulai dengan lempar bola dulu. Yang paling banyak menangkap, dia yang menang!"
Sylvie:
(Dengan ekspresi percaya diri)
"Kalau begitu, aku pasti menang! Aku lebih cepat dari Silphy!"
Silphy:
(Tertawa kecil, memasang pose siap menangkap)
"Kita lihat saja nanti! Aku tidak akan kalah darimu kali ini!"
(Permainan dimulai dengan penuh tawa dan keceriaan. Demiurgos melempar bola ke arah mereka secara bergantian, sementara Sylvie dan Silphy saling berlomba menangkap. Kadang bola meleset, dan mereka tertawa bersama. Saat permainan berlanjut, Demiurgos merasa hatinya lebih ringan.)
Demiurgos:
(Sambil duduk di bawah pohon, melihat si kembar masih bersemangat bermain)
"Kalian benar-benar tahu cara membuatku melupakan semua urusan serius, ya?"
Sylvie:
(Menyodorkan bola ke Demiurgos, tersenyum lebar)
"Itu tugas kami, Kak Demi! Kau harus lebih sering bermain bersama kami. Hidup tidak selalu tentang tanggung jawab besar!"
Silphy:
(Duduk di sebelah Demiurgos, mengangguk setuju)
"Iya, Kak Demi. Hari Minggu seperti ini adalah waktu untuk keluarga. Kami ingin lebih banyak kenangan seperti ini bersamamu."
(Demiurgos merasa hatinya hangat mendengar kata-kata mereka. Meski hari-hari ke depannya mungkin penuh dengan tantangan, momen seperti ini mengingatkannya bahwa ada hal-hal sederhana yang tetap memberikan kebahagiaan sejati.)
(Setelah bermain di taman, kegembiraan pagi itu tiba-tiba berubah menjadi kepanikan ketika Demiurgos melihat perubahan pada kedua adik kembarnya, Silphy dan Sylvie.)
Demiurgos:
(Seruan panik)
"Silphy! Sylvie! Apa yang terjadi dengan kalian?"
(Silphy yang sedang berdiri tiba-tiba memegangi dadanya, tubuhnya bergetar. Sementara Sylvie jatuh ke lututnya dengan wajah pucat, keringat dingin mulai membasahi dahinya.)
Silphy:
(Suaranya lemah)
"Kak... Kak Demi... Rasanya... dadaku seperti terbakar..."
Sylvie:
(Seakan mencoba bicara tapi nafasnya tersengal)
"Aku... merasa... ada sesuatu di dalam tubuhku... tapi aku tidak tahu apa itu..."
Demiurgos:
(Segera mendekati mereka, menahan tubuh Sylvie yang hampir terjatuh)
"Tenang, aku di sini! Aku akan mencari pertolongan. Kalian hanya perlu bertahan sebentar lagi!"
(Dengan cepat, Demiurgos memanggil beberapa pelayan yang berada di dekat taman untuk meminta bantuan. Tidak lama kemudian, Haniel dan Raphellius tiba di lokasi setelah mendengar kabar buruk tersebut.)
Haniel:
(Memeluk Silphy yang terbaring lemah)
"Silphy! Apa yang terjadi? Demi, ceritakan apa yang baru saja terjadi!"
Demiurgos:
(Panik, mencoba menjelaskan)
"Kami hanya bermain seperti biasa, lalu tiba-tiba mereka menjadi pucat dan mengatakan sesuatu terjadi di dalam tubuh mereka!"
Raphellius:
(Tatapan serius, memeriksa denyut nadi Sylvie)
"Ini... Ini bukan penyakit biasa. Rasanya ini terkait dengan mana mereka."
Haniel:
(Terkejut, tapi mencoba tetap tenang)
"Mana? Tapi mereka baru berumur 6 tahun! Tidak mungkin mereka sudah mencapai awakening pada usia ini, bukan?"
Raphellius:
(Mengangguk, ekspresinya berubah serius)
"Tapi melihat gejalanya... Itu satu-satunya kemungkinan. Jika benar, ini sangat jarang terjadi. Kebanyakan orang baru bisa mengakses mana di usia remaja."
Demiurgos:
(Bingung, tapi mulai memahami)
"Awakening? Maksud kalian, mereka sedang membuka aliran mana mereka untuk pertama kali?"
Haniel:
(Menatap Demiurgos dengan penuh arti)
"Iya, Demi. Awakening adalah saat seseorang pertama kali terhubung dengan sumber mana dalam tubuhnya. Biasanya ini terjadi secara perlahan, tapi... jika awakening terjadi terlalu dini, tubuh mereka mungkin tidak siap untuk menanggungnya."
Sylvie:
(Suaranya lemah tapi mencoba berbicara)
"Kak... Kami... Kami tidak ingin membuat kalian khawatir... Kami hanya merasa sesuatu yang aneh di tubuh kami selama ini..."
Silphy:
(Bersandar pada Haniel, menambahkan)
"Tapi kami tidak tahu ini akan terjadi... Aku merasa seperti... ada kekuatan besar yang mendobrak keluar..."
Haniel:
(Mengusap kepala Silphy dengan lembut)
"Kalian tidak salah, ini bukan kesalahan kalian. Tubuh kalian sedang beradaptasi, itu saja. Tapi kita harus segera membantu mereka menyeimbangkan mana mereka, atau tubuh mereka bisa rusak."
Raphellius:
(Tegas, memberikan instruksi)
"Haniel, bawalah mereka ke ruang meditasi utama. Di sana kita bisa menggunakan alat penyalur mana untuk membantu mereka menstabilkan aliran mana di tubuh mereka."
Demiurgos:
(Suara penuh tekad)
"Aku ikut. Aku tidak akan meninggalkan mereka."
Haniel:
(Tersenyum pada Demiurgos)
"Tentu saja, Demi. Kau adalah kakak mereka. Kehadiranmu akan membantu mereka tetap tenang."
(Mereka semua bergerak cepat menuju ruang meditasi utama di mansion. Dalam prosesnya, Haniel terus menenangkan Silphy dan Sylvie, sementara Raphellius menyiapkan alat yang diperlukan untuk menstabilkan mana mereka. Setelah beberapa waktu yang penuh ketegangan, akhirnya aliran mana di tubuh si kembar berhasil diseimbangkan.)
Haniel:
(Menghela napas lega)
"Mereka akan baik-baik saja sekarang. Awakening mereka berhasil, meskipun tubuh mereka butuh waktu untuk pulih."
Raphellius:
(Tersenyum kecil)
"Dan dengan ini... mereka berdua telah membuktikan diri sebagai jenius. Awakening di usia 6 tahun? Itu hampir tidak pernah terjadi."
Demiurgos:
(Memandang kedua adiknya yang terbaring lemah tapi mulai tersenyum kecil)
"Kalian benar-benar luar biasa. Tapi kalian juga membuatku hampir mati karena cemas."
Silphy dan Sylvie:
(Bersamaan, dengan senyum kecil meskipun masih lemah)
"Maafkan kami, Kak Demi... Kami tidak bermaksud membuatmu khawatir."
Haniel:
(Tertawa kecil, menepuk bahu Demiurgos)
"Kau tahu, Demi, mereka lebih kuat dari yang kau pikirkan. Mereka hanya butuh sedikit waktu untuk menyesuaikan diri dengan kekuatan baru mereka."
Demiurgos:
(Tersenyum kecil, meskipun hatinya masih penuh kekhawatiran)
"Aku hanya ingin mereka tetap aman. Itu saja."
(Hari itu menjadi awal baru bagi Silphy dan Sylvie, sekaligus menandai babak baru bagi keluarga mereka. Meski begitu, Demiurgos tidak bisa mengabaikan rasa penasaran di hatinya: kenapa awakening mereka terjadi begitu dini? Apakah ini kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini?)
(Setelah situasi mereda dan Silphy serta Sylvie mulai pulih, suasana yang semula penuh kekhawatiran berubah menjadi hangat. Raphellius dan Haniel tampak sangat terpesona oleh kemampuan luar biasa kedua kembar itu.)
Haniel:
(Tersenyum lembut, memegang tangan Silphy)
"Kalian luar biasa. Awakening pada usia ini adalah sesuatu yang bahkan para bangsawan sekalipun jarang alami. Aku bangga pada kalian."
Raphellius:
(Menepuk kepala Sylvie dengan bangga)
"Kalian benar-benar penerus keluarga yang hebat. Kalau kalian terus berlatih, aku yakin kalian bisa menjadi lebih kuat dari kita semua."
Silphy:
(Tersipu malu, tapi mencoba berbicara dengan nada ceria)
"Benarkah, Kakak Raphellius? Aku... aku ingin menjadi kuat seperti Kakak dan Kakak Haniel!"
Sylvie:
(Menatap Haniel dengan mata berbinar)
"Aku juga! Aku ingin melindungi keluarga kita, sama seperti Kak Haniel selalu melindungi kami!"
Haniel:
(Tertawa kecil, membalas dengan lembut)
"Kalian tidak perlu terburu-buru. Nikmati masa kecil kalian dulu. Tapi aku akan selalu ada untuk membantu kalian berkembang."
Raphellius:
(Menyeringai)
"Mungkin nanti aku akan melatih kalian secara langsung. Tapi jangan menyesal kalau pelatihanku terlalu keras!"
Silphy dan Sylvie:
(Bersamaan, dengan antusias)
"Tentu saja tidak, Kak Raphellius!"
(Haniel dan Raphellius terus mengobrol dengan si kembar, memberikan mereka pujian dan perhatian. Demiurgos, yang sebelumnya begitu terlibat, kini berdiri sedikit menjauh, mengamati dari sisi ruangan. Perasaan aneh mulai tumbuh di hatinya saat ia menyadari bahwa Haniel dan Raphellius tampak sepenuhnya terfokus pada Silphy dan Sylvie, seakan melupakan kehadirannya.)
Demiurgos:
(Merendahkan suaranya, bergumam pada dirinya sendiri)
"Mereka benar-benar menyukai si kembar, ya... Sepertinya aku tidak terlalu dibutuhkan di sini."
(Ia berbalik perlahan, meninggalkan ruangan tanpa suara. Tidak seorang pun tampak menyadari bahwa Demiurgos telah pergi. Langkahnya membawa dia menuju kamar pribadinya. Sesampainya di sana, ia duduk di tepi tempat tidur, memandangi tangannya sendiri.)
Demiurgos:
(Berbicara pada dirinya sendiri, suaranya hampa)
"Kenapa aku merasa... terabaikan? Mereka begitu sibuk dengan Silphy dan Sylvie, seakan aku hanyalah bayangan di ruangan itu. Apakah aku tidak cukup berarti untuk mereka?"
(Ia menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran negatif itu, tapi rasa sepi tetap menyelimuti hatinya. Untuk sesaat, kenangan masa kecil mereka bersama muncul di benaknya, saat perhatian Haniel dan Raphellius selalu terfokus padanya. Namun kini, semuanya tampak berubah.)
Demiurgos:
(Menyandarkan punggungnya, menatap langit-langit)
"Mungkin ini hanya perasaanku saja. Mereka hanya bahagia melihat si kembar tumbuh dengan luar biasa. Aku tidak seharusnya merasa seperti ini... Tapi kenapa sulit untuk mengabaikannya?"
(Di luar kamar, suara tawa Silphy dan Sylvie bersama Haniel dan Raphellius masih terdengar. Demiurgos menutup matanya, mencoba tidur untuk menghilangkan pikiran yang mulai mengganggunya. Namun, rasa hampa itu tetap bertahan, menjadi bayangan kecil di sudut hatinya.)
(Demiurgos berjalan perlahan meninggalkan ruang keluarga. Langkahnya berat, seolah setiap langkah membawa beban emosi yang semakin menekan hatinya. Pintu kamarnya ia tutup dengan lembut, tapi perasaan di dalam dirinya seolah berteriak tanpa henti.)
Demiurgos:
(Merendahkan diri di kursi dekat jendela, menatap keluar dengan tatapan kosong)
"Kenapa... kenapa rasanya seperti ini? Mereka hanya bahagia untuk si kembar. Tapi kenapa... aku merasa seperti ditinggalkan?"
(Ia meletakkan tangan di dadanya, merasakan detak jantung yang semakin cepat. Rasa sakit yang aneh muncul, bukan rasa sakit fisik, tapi rasa hampa yang tidak bisa ia jelaskan. Emosinya berkecamuk, berusaha ia kendalikan tapi semakin sulit ditahan.)
Demiurgos:
(Berbisik pada dirinya sendiri)
"Aku tahu mereka tidak bermaksud melupakanku... Tapi mengapa rasanya seperti aku tidak ada di sana? Apa aku hanya bayangan bagi mereka sekarang? Mereka bahkan tidak menyadari aku pergi..."
(Ia berdiri dari kursinya, berjalan mondar-mandir di dalam kamar yang sunyi. Cahaya siang hari masuk melalui jendela, tetapi tidak mampu mengusir kegelapan dalam hatinya. Ia mengepalkan tangan, mencoba menahan emosi yang semakin membuncah.)
Demiurgos:
(Ada kemarahan dalam suaranya, tetapi juga kesedihan yang dalam)
"Haniel, Raphellius... kalian selalu menjadi orang yang aku kagumi, orang yang aku percaya. Tapi kenapa... kenapa kalian membuatku merasa seperti ini? Apa aku tidak cukup berarti lagi bagi kalian?"
(Ia memukul meja kecil di samping tempat tidurnya, membuat buku-buku di atasnya jatuh ke lantai. Tapi tindakan itu tidak mampu meredakan emosinya. Air mata mulai menggenang di sudut matanya, sesuatu yang jarang terjadi pada Demiurgos.)
Demiurgos:
(Menatap cermin di kamar, melihat bayangan dirinya sendiri)
"Aku harus kuat... Aku tidak boleh membiarkan ini mempengaruhiku. Mereka adalah keluargaku. Aku tidak boleh menyimpan dendam atau kebencian. Tapi kenapa... kenapa sulit untuk melupakan ini?"
(Ia mengambil napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Namun, rasa sakit di dadanya tidak kunjung hilang. Akhirnya, ia memutuskan untuk duduk di tempat tidur, memejamkan mata, berharap bisa melarikan diri dari pikirannya untuk sesaat.)
Demiurgos:
(Berbisik pelan)
"Mungkin ini hanya salahku... mungkin aku terlalu banyak berharap. Tapi... aku ingin mereka melihatku lagi seperti dulu."
(Dalam kesunyian kamar itu, Demiurgos duduk sendirian. Suara tawa dari ruang keluarga terdengar samar melalui dinding, seperti pengingat akan kebahagiaan yang seakan bukan miliknya. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kesendirian, berharap waktu bisa mengobati luka kecil yang mulai mengganggu hatinya.)
(Demiurgos duduk di tengah kamarnya yang gelap.
(Demiurgos duduk di tengah kamarnya yang gelap. Udara di dalam terasa pengap karena jendela tetap tertutup sepanjang hari. Cahaya lilin yang redup menjadi satu-satunya sumber penerangan, memantulkan bayangan wajahnya yang penuh tekad dan keputusasaan di cermin.)
Demiurgos:
(Ada amarah dalam suaranya, tapi juga kesedihan yang dalam)
"Mereka mungkin tidak peduli lagi... Tapi aku tidak akan membiarkan diriku tetap lemah seperti ini. Jika aku harus mengorbankan tubuhku untuk menjadi lebih kuat, maka biarlah."
(Ia duduk bersila di lantai, tangan kanan menyentuh dadanya, mencoba memfokuskan energi di tubuhnya. Dalam pikirannya, ia membayangkan melampaui batas tubuhnya, mengakses kekuatan yang selama ini tersembunyi. Namun, tubuhnya yang masih muda dan belum sepenuhnya siap mulai memberikan perlawanan.)
Demiurgos:
(Menggertakkan giginya, berusaha melawan rasa sakit yang menyebar di sekujur tubuhnya)
"Argh... Ini belum cukup! Aku tahu aku bisa lebih kuat dari ini... Aku harus lebih kuat!"
(Keringat mengalir deras di wajahnya, napasnya semakin berat. Cahaya samar dari tubuhnya mulai bergetar, menandakan usahanya untuk melampaui batas. Namun, limiter tubuhnya menolak, dan rasa sakit yang menusuk membuatnya hampir kehilangan kesadaran.)
---
(Di luar kamar, Haniel berdiri dengan wajah penuh kecemasan. Ia mengetuk pintu berkali-kali, mencoba membujuk adiknya keluar.)
Haniel:
(Dengan nada lembut, penuh perhatian)
"Demi, buka pintunya. Tolong, jangan menyiksa dirimu seperti ini. Apa pun yang kau rasakan, kau bisa bicarakan denganku. Aku ada di sini untukmu."
(Tidak ada jawaban. Haniel mengetuk pintu sekali lagi, kali ini sedikit lebih keras.)
Haniel:
"Adik kecilku, aku tahu kau marah, mungkin juga terluka. Tapi menyakiti dirimu sendiri bukanlah jawabannya. Kau tahu aku peduli padamu, bukan? Buka pintunya, Demi."
(Masih tidak ada jawaban. Haniel menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Ia menyandarkan kepalanya pada pintu, mencoba mendengar suara dari dalam.)
---
(Kembali di dalam kamar, Demiurgos mengabaikan suara kakaknya. Ia fokus pada tujuannya—memecahkan batas kekuatannya. Tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan ekstrem, tapi ia terus mendorong dirinya.)
Demiurgos:
(Berbisik dengan suara yang mulai melemah)
"Aku harus lebih kuat... Aku harus menunjukkan kepada mereka... bahwa aku bukan beban... bahwa aku layak..."
(Tiba-tiba, rasa sakit yang tak tertahankan menyerang tubuhnya, membuatnya terjatuh ke lantai. Ia mencengkeram dadanya, napasnya tersengal-sengal. Tubuhnya gemetar, tetapi ia tidak berhenti mencoba. Cahaya kecil mulai memancar dari tubuhnya, seperti tanda keberhasilan kecil dari usahanya untuk melampaui batas.)
---
(Di luar kamar, Haniel merasakan sesuatu yang aneh. Ia menyadari energi yang tidak biasa memancar dari dalam kamar Demiurgos. Wajahnya berubah serius, dan ia mengetuk pintu sekali lagi.)
Haniel:
(Dengan nada tegas)
"Demi, aku tahu kau mencoba sesuatu yang berbahaya. Jangan memaksakan dirimu seperti ini! Kau bisa melukai dirimu sendiri!"
(Tetap tidak ada jawaban. Haniel hampir kehilangan kesabarannya, tapi ia memutuskan untuk tidak memaksa pintu itu terbuka. Ia hanya berdiri di sana, menunggu dengan cemas.)
---
(Kembali di dalam kamar, Demiurgos terbaring di lantai, tubuhnya lemas. Rasa sakit yang ia rasakan telah melemahkan tubuhnya, tapi ada sedikit senyuman di wajahnya.)
Demiurgos:
(Berbisik pelan, nyaris tidak terdengar)
"Ini... hanya awal. Aku akan lebih kuat... lebih kuat dari siapa pun..."
(Ia akhirnya kehilangan kesadaran, tubuhnya yang kelelahan tidak lagi mampu bertahan. Di luar kamar, Haniel masih berdiri di sana, dengan hati yang penuh kekhawatiran, berharap adiknya baik-baik saja.)
(Haniel yang tak tahan lagi menunggu di luar akhirnya memutuskan untuk membuka pintu. Dengan sedikit dorongan, pintu itu terbuka perlahan, memperlihatkan pemandangan yang mengejutkan di dalam kamar. Demiurgos tergeletak di lantai, tubuhnya lemas, dengan darah mengalir dari sudut mulutnya. Wajahnya pucat, seperti kehilangan banyak energi.)
Haniel:
(Menahan napas, matanya melebar karena terkejut)
"Demi! Apa yang kau lakukan pada dirimu sendiri?!"
(Haniel bergegas mendekati adiknya, berlutut di sisinya. Ia memeriksa denyut nadi Demiurgos, memastikan bahwa dia masih hidup. Ketika ia melihat darah yang terus mengalir dari mulut Demiurgos, wajahnya berubah penuh dengan kekhawatiran dan rasa bersalah.)
Haniel:
(Dengan nada penuh keputusasaan)
"Kenapa kau memaksakan dirimu seperti ini? Demi... tolong bangun!"
(Demiurgos membuka matanya perlahan, tubuhnya gemetar. Ia terlihat terlalu lemah untuk berbicara, tapi sebuah senyum kecil terlihat di wajahnya.)
Demiurgos:
(Suaranya lemah, hampir seperti bisikan)
"Kak... aku... aku hanya ingin menjadi lebih kuat. Aku tidak ingin... menjadi beban bagi kalian..."
(Haniel menggenggam tangan Demiurgos dengan erat, matanya berkaca-kaca. Ia mengguncang kepala, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.)
Haniel:
"Beberapa luka fisik tidak sebanding dengan rasa sakit yang kau rasakan dalam hatimu, Demi. Tapi ini bukan caranya! Kau penting bagi kami, kau penting bagiku! Apa kau pikir aku akan membiarkanmu menyiksa dirimu sendiri seperti ini?!"
(Haniel mengangkat tubuh Demiurgos dengan hati-hati, memeriksa luka-luka lain di tubuh adiknya. Ia menyesali bahwa ia dan yang lain tidak menyadari tekanan yang dirasakan Demiurgos.)
Haniel:
(Dengan nada lembut, tetapi tegas)
"Kau tidak perlu membuktikan apa pun kepada kami. Kau sudah cukup berharga, Demi. Kau adalah adik kami, dan itu sudah lebih dari cukup."
(Demiurgos mencoba berbicara lagi, tetapi tubuhnya terlalu lemah. Haniel segera memutuskan untuk membawa Demiurgos keluar dari kamar.)
Haniel:
"Aku akan merawatmu. Tapi setelah ini, kita akan berbicara, Demi. Kau tidak bisa terus menyimpan semuanya sendiri. Kita adalah keluarga. Kita akan menghadapi semuanya bersama, apa pun itu."
(Haniel membawa Demiurgos keluar dari kamar dengan hati-hati. Di dalam hatinya, ia bersumpah bahwa ia tidak akan membiarkan adiknya menghadapi rasa sakit seperti ini sendirian lagi.)
(Haniel membawa Demiurgos yang lemah ke ruang keluarga utama, di mana Raphellius sedang membaca sebuah buku tebal. Saat melihat adik bungsunya dalam kondisi seperti itu, Raphellius meletakkan bukunya dengan tergesa-gesa dan segera mendekati mereka.)
Raphellius:
(Memandang Demiurgos yang terkulai di pelukan Haniel)
"Apa yang terjadi padanya? Haniel, apa kau membiarkan ini terjadi?"
Haniel:
(Panikan, mencoba menjelaskan)
"Tidak! Aku baru saja menemukannya seperti ini di kamarnya. Dia memaksa tubuhnya... dia mencoba sesuatu yang tidak kuketahui."
(Raphellius mendekat, memeriksa Demiurgos dengan cermat. Setelah beberapa saat, ia mendesah panjang dan menatap Haniel dengan campuran keterkejutan dan sedikit kekaguman.)
Raphellius:
(Sambil tersenyum kecil)
"Sepertinya adik kecil kita sudah besar, Haniel."
Haniel:
(Bingung, matanya memicing)
"Maksudmu apa? Dia jelas-jelas hampir menghancurkan dirinya sendiri! Apa yang kau katakan, Raphellius?"
Raphellius:
(Dengan nada tenang, tetapi serius)
"Dia mengalami Limit Break, Haniel. Ini adalah fase yang sangat jarang terjadi, bahkan di kalangan bangsawan kita. Biasanya, ini hanya bisa dicapai dengan bantuan pelatihan keras di bawah bimbingan seorang ahli. Tapi Demiurgos... dia berhasil melakukannya sendirian."
Haniel:
(Terkejut, matanya melebar)
"Limit Break?! Itu berarti... tubuhnya menyesuaikan untuk menahan kapasitas mana yang lebih besar? Tapi dia terlalu muda untuk itu!"
Raphellius:
(Anggukan kecil)
"Justru itulah yang membuatnya luar biasa. Dia memaksa tubuhnya untuk melewati batas alaminya tanpa bantuan siapa pun. Ini berbahaya, tetapi juga menunjukkan betapa besar tekadnya. Sayangnya, konsekuensinya adalah tubuhnya kelelahan total. Kita hanya bisa menunggu sampai ia bangun."
Haniel:
(Lirikannya berubah menjadi cemas)
"Berapa lama waktu yang dibutuhkan?"
Raphellius:
(Sambil memandangi Demiurgos)
"Mungkin beberapa hari, atau bahkan seminggu. Tubuhnya sedang beradaptasi. Namun, untuk mempercepat proses ini, kau bisa menggunakan Skill Divine Healing. Itu akan membantu menyelaraskan mananya lebih cepat."
Haniel:
(Menatap Demiurgos dengan rasa bersalah)
"Kenapa dia melakukan ini... Kenapa dia merasa harus memaksa dirinya sejauh ini? Kami ada di sini untuknya, tapi dia memilih jalan ini sendirian."
Raphellius:
(Sambil menepuk bahu Haniel)
"Haniel, Demiurgos adalah seseorang yang memiliki tekad luar biasa. Dia mungkin merasa bahwa dia harus menjadi lebih kuat untuk melindungi sesuatu... atau seseorang. Dia bukan anak kecil yang dulu kita kenal lagi."
(Haniel mengangguk pelan, tetapi di dalam hatinya ia merasa berat menerima kenyataan bahwa adik kecilnya sudah tumbuh menjadi seseorang yang mencoba menanggung beban sendiri.)
Haniel:
(Sambil meletakkan tangan di atas Demiurgos)
"Aku akan menggunakan Divine Healing. Demi... aku berjanji, aku tidak akan membiarkanmu menghadapi semua ini sendirian lagi."
Raphellius:
(Sambil tersenyum kecil)
"Itulah tanggung jawab seorang kakak, Haniel. Kau yang paling dekat dengannya. Pastikan dia tahu bahwa kita selalu ada untuknya."
(Haniel mulai memusatkan mananya, menggunakan kekuatan Divine Healing. Cahaya lembut memenuhi ruangan, menyelimuti tubuh Demiurgos. Dalam ketenangan itu, Haniel berdoa agar adiknya cepat pulih dan bahwa mereka semua bisa menghadapi apa pun bersama sebagai sebuah keluarga.)