Pelatihan Rahasia Demiurgos Dimulai
Malam itu, setelah selesai dengan pelajaran reguler bersama murid lainnya, Demiurgos melangkah menuju tempat yang dijanjikan untuk pertemuan dengan Profesor Raven. Suasana malam terasa sunyi, hanya suara langkah kakinya yang terdengar di koridor gelap.
Setelah mencapai ruangan pelatihan, pintu terbuka dengan sendirinya seolah menyambutnya. Raven berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh formasi sihir yang melayang di udara, memancarkan cahaya samar berwarna biru.
"Kau tepat waktu," ucap Raven dengan nada datar tanpa sedikit pun ekspresi di wajahnya.
Demiurgos membungkukkan badan sedikit, menunjukkan rasa hormat. "Saya siap untuk belajar."
Raven menatap Demiurgos dari atas hingga bawah, lalu berkomentar, "Kau tidak membawa apa pun?"
"Saya percaya Anda sudah memiliki semua yang diperlukan, Profesor," jawab Demiurgos dengan tenang.
Raven tersenyum tipis. "Setidaknya kau tidak sepenuhnya bodoh. Baiklah, pelajaran pertama kita adalah memahami dasar penggunaan mana yang benar. Duduk."
Demiurgos segera duduk bersila di tengah ruangan. Raven menjentikkan jarinya, dan ruangan itu berubah menjadi medan sihir yang dipenuhi energi mana yang berputar seperti aliran angin lembut.
"Sekarang, tutup matamu," perintah Raven. "Rasakan mana di sekitarmu, tapi jangan hanya mencoba menariknya. Rasakan bagaimana ia bergerak, bagaimana ia menyatu dengan dunia. Mana bukan hanya alat, melainkan bagian dari segala sesuatu."
Demiurgos mematuhi, menutup matanya dan mencoba merasakan aliran mana di sekitar tubuhnya.
"Kau tahu bagaimana mana bekerja, kan?" tanya Raven tiba-tiba.
"Ya," jawab Demiurgos sambil tetap fokus. "Mana adalah energi universal yang ada di segala tempat yang memiliki ruang, seperti oksigen. Ia bisa dimanipulasi dengan teknik tertentu untuk menciptakan fenomena."
Raven mengangguk, meskipun Demiurgos tidak bisa melihatnya. "Itu benar. Tapi ada lebih banyak hal yang tidak diketahui oleh penyihir tingkat rendah. Kau akan belajar bahwa memahami mana bukan hanya tentang menggunakannya, tapi juga tentang menyelaraskan dirimu dengannya."
Waktu berlalu dengan cepat. Raven terus mengawasi dan memberi arahan kepada Demiurgos, yang meskipun sedikit kesulitan pada awalnya, mulai menunjukkan potensi luar biasa.
Setelah beberapa jam, Raven akhirnya berkata, "Cukup untuk malam ini. Kau memiliki bakat, tapi bakat saja tidak cukup. Datang lagi besok malam, dan pastikan kau membawa kekuatan mental yang lebih baik."
Demiurgos bangkit dari posisi duduknya, merasa tubuhnya sedikit lelah tetapi pikirannya dipenuhi semangat. "Terima kasih, Profesor. Saya akan kembali besok."
Saat Demiurgos berjalan keluar ruangan, ia berpikir dalam hati, "Orang ini... dia mengajarkan lebih banyak daripada yang kutemukan di buku mana pun. Jika aku bisa terus belajar darinya, aku akan menjadi lebih kuat."
Di dalam ruangan, Raven menatap pintu yang telah tertutup. "Anak ini... dia memiliki potensi yang menakutkan. Aku harus memastikan dia tidak menjadi ancaman."
Sebulan telah berlalu sejak Demiurgos mulai berlatih intensif dengan Profesor Raven setiap malam. Dedikasinya yang tanpa henti mulai menunjukkan hasil. Refleks mananya meningkat pesat, dan instingnya terhadap bahaya menjadi jauh lebih tajam.
Malam itu, Demiurgos berdiri di tengah ruangan latihan yang kosong. Raven, dengan jubah hitam panjangnya, berdiri di kejauhan, menatapnya dengan mata dingin dan penuh evaluasi.
"Kau telah berkembang, Demiurgos," ucap Raven sambil mengangkat tangannya. "Namun, perkembangan tanpa ujian hanyalah ilusi. Malam ini, aku akan menguji apa yang telah kau pelajari."
Demiurgos menegakkan tubuhnya. "Saya siap, Profesor."
Raven tersenyum tipis, lalu menjentikkan jarinya. Dalam sekejap, ruangan itu berubah menjadi medan penuh rintangan. Pilar-pilar besar muncul dari lantai, dinding-dinding batu bergeser, dan lingkaran sihir mulai memancarkan cahaya berkilauan di udara.
"Tugasmu sederhana," kata Raven. "Bertahan selama lima menit. Aku akan menyerangmu dengan sebagian kecil kekuatanku. Jika kau gagal, kau akan terluka parah—mungkin mati."
Demiurgos tidak bergeming. Ia mengangguk, lalu mengambil posisi bertahan. "Saya mengerti."
Raven mengangkat tangannya, dan sebuah bola energi besar terbentuk di telapak tangannya. Bola itu dipenuhi energi mana yang sangat padat, cukup kuat untuk menghancurkan sebuah rumah berukuran 50x50 meter.
"Mulai!"
Raven melemparkan bola energi itu dengan kecepatan yang luar biasa. Mata Demiurgos menyipit. Ia tidak memiliki cukup waktu untuk berpikir, tetapi instingnya segera mengambil alih. Dengan cepat, ia memanipulasi mana di sekitarnya untuk menciptakan penghalang.
Boom!
Ledakan besar terjadi, tetapi Demiurgos berhasil melompat keluar dari zona ledakan dengan kecepatan yang luar biasa.
"Bagus," kata Raven, memunculkan serangan berikutnya—panah-panah mana yang melesat dari segala arah. "Namun, kau harus lebih dari sekadar bertahan."
Demiurgos, tanpa ragu, memanipulasi mana untuk menciptakan dorongan angin yang kuat, mengubah arah beberapa panah dan menghancurkan sisanya dengan pengendalian yang presisi.
"Refleks yang tajam," komentar Raven, kali ini menyerangnya dengan kilatan petir kecil. Demiurgos berhasil menghindari sebagian besar, tetapi sebuah petir kecil hampir mengenai bahunya. Dengan cepat, ia menyerap mana dari sekitarnya untuk memperkuat penghalangnya.
Waktu berlalu. Empat menit telah berjalan, dan keringat membasahi wajah Demiurgos. Meski begitu, ia tetap fokus. Serangan Raven semakin intens, tetapi Demiurgos tetap bertahan.
"Satu serangan terakhir," kata Raven dengan suara dingin. Ia mengangkat tangannya dan menciptakan pedang energi besar. Dengan kecepatan kilat, ia melompat menuju Demiurgos.
"Ayo, tunjukkan hasilmu!"
Demiurgos, dengan cepat, menggunakan refleksnya untuk memperkuat tubuhnya dengan mana, meningkatkan kecepatannya hingga ia nyaris seperti bayangan. Tepat sebelum pedang itu mengenai, ia melompat ke samping, menghindari serangan itu sepenuhnya, dan menciptakan bola api kecil yang ia lemparkan ke arah Raven.
Namun, Raven menghancurkan bola api itu dengan mudah. Ia tersenyum. "Cukup."
Semua rintangan menghilang, dan ruangan kembali kosong.
"Kau lulus," kata Raven. "Refleksmu jauh lebih baik dibandingkan sebulan yang lalu. Kau mulai mengerti bagaimana menggunakan mana sebagai bagian dari dirimu."
Demiurgos, meski kelelahan, membungkuk sedikit. "Terima kasih, Profesor. Semua ini berkat bimbingan Anda."
Raven hanya mengangguk. Namun, dalam hati, ia berpikir, "Anak ini... perkembangan seperti ini dalam waktu sebulan? Jika dia terus begini, dia akan melampaui banyak penyihir dalam generasinya."
Keesokan harinya, di pagi yang cerah, Demiurgos berjalan menuju kelas bersama Valen, Selena, dan Aurelius. Mereka berbincang seperti biasa, membahas pelajaran dan kegiatan sekolah. Namun, kali ini, Valen memperhatikan lingkaran hitam di bawah mata Demiurgos.
"Hei, Demi," ujar Valen dengan nada santai sambil menyenggol lengan Demiurgos. "Kau terlihat seperti orang yang tidak tidur semalaman. Jangan-jangan kau punya rahasia gelap, ya?"
Selena mendelik ke arah Valen. "Valen, jangan asal bicara."
Namun, Valen hanya terkekeh, lalu mendekatkan wajahnya ke Demiurgos dengan ekspresi mencurigai. "Atau... mungkin kau diam-diam ingin jadi pahlawan, ya? Berkeliaran di malam hari menyelamatkan orang-orang, seperti dalam dongeng."
Nada mengejeknya jelas bercanda, tetapi Aurelius ikut menambahkan dengan tenang. "Atau mungkin dia menyelinap ke perpustakaan larut malam untuk belajar. Mengingat nilai-nilai Demiurgos belakangan ini, itu lebih masuk akal."
Demiurgos, yang sudah terbiasa dengan sikap teman-temannya, hanya tersenyum kecil. "Kalian terlalu banyak berkhayal," balasnya dengan nada tenang. "Aku hanya sibuk dengan hal-hal yang... perlu diselesaikan."
Selena mengernyit, merasa ada yang tidak biasa dari jawaban Demiurgos. "Apa maksudmu dengan 'hal-hal yang perlu diselesaikan'? Kau tidak biasanya bicara seperti itu."
Valen menyenggol Aurelius, lalu berbisik keras. "Lihat, kan? Dia benar-benar seperti pahlawan dongeng. Mungkin dia melawan naga di waktu senggang."
Demiurgos mendesah pendek. "Aku tidak punya waktu untuk hal konyol seperti itu. Jangan terlalu banyak menonton drama, Valen."
Aurelius menatap Demiurgos tajam, mencoba membaca maksud di balik kata-katanya. Namun, sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, bel kelas berbunyi, memotong pembicaraan mereka.
"Baiklah," ujar Selena, menyeret Valen ke kelas. "Kita ada pelajaran pertama. Jangan terlambat lagi, Valen."
Demiurgos tersenyum tipis, tetapi pikirannya melayang. "Andai saja mereka tahu," pikirnya dalam hati. "Aku bukan pahlawan, dan aku pasti bukan penyelamat. Apa yang kulakukan hanyalah untuk diriku sendiri."
Ia mengikuti teman-temannya masuk kelas, memastikan ekspresinya tetap tenang seperti biasanya. Tidak ada yang tahu beban yang ia pikul atau rahasia yang ia sembunyikan di balik senyumnya.
Nama Para Profesor dan Materi yang Diajarkan
1. Profesor Armandius: Mengajar Matematika (MTK).
2. Profesor Eldara: Mengajar Etika dan Filosofi.
3. Profesor Lucian Velmeris: Mengajar Dasar-Dasar Magic.
4. Profesor Thalia Wyndemere: Mengajar Elemental Studies (Studi Elemen).
5. Profesor Kael Strathmore: Mengajar Fisik dan Latihan Tubuh.
---
Diskusi Kelas A1 Tentang Ujian Akhir Semester
Setelah Profesor Lucian mengakhiri kelasnya tentang dasar-dasar magic, ia berdiri di depan kelas dan menatap para murid dengan pandangan penuh otoritas. "Perhatian, kelas," katanya dengan suara tegas. "Sebagai pemberitahuan, akan ada Ujian Akhir Semester 1 yang akan dilaksanakan dalam satu bulan. Detail ujian akan diberikan oleh Profesor Eldara. Pertanyaan lain, tanyakan padanya. Itu saja."
Tanpa menunggu tanggapan, Profesor Lucian pergi meninggalkan kelas.
Kelas A1 menjadi gempar. Beberapa murid mulai bertanya-tanya apa saja yang akan diuji.
"Kenapa tiba-tiba ujian?" keluh seorang murid. "Ini baru bulan pertama!"
Yang lain menambahkan, "Apa kita akan diuji fisik, magic, atau IQ? Ini tidak masuk akal!"
Namun, Valen tampak santai, menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil menyilangkan tangan. "Ah, kalian semua terlalu khawatir," katanya dengan nada percaya diri. "Ujian ini pasti mudah."
Selena menatap Valen skeptis. "Mudah untukmu, Valen. Kau berbicara seperti orang yang sudah tahu soal-soalnya."
Valen terkekeh. "Tentu saja tidak, Selena. Tapi, ayolah, kita sudah belajar cukup banyak. Paling-paling, mereka ingin melihat siapa yang bisa bertahan tanpa panik."
---
Aurelius Curiga Terhadap Demiurgos
Sementara murid-murid lain sibuk mendiskusikan ujian, Aurelius memperhatikan Demiurgos yang tampak diam dan tidak terlibat dalam percakapan. Matanya memandang lurus ke depan, seperti memikirkan sesuatu yang lain.
Setelah kelas selesai, Demiurgos bergegas meninggalkan ruangan. Aurelius segera menyadari gerak-geriknya yang tidak biasa. "Ada sesuatu yang dia sembunyikan," pikir Aurelius.
Malam harinya, Aurelius mendekati Valen dan Selena. "Kalian sadar tidak? Demiurgos sering menghilang malam-malam belakangan ini. Aku rasa ada sesuatu yang dia sembunyikan."
Valen mengangkat bahu. "Kalau begitu, ayo kita ikuti dia. Aku penasaran apa yang dia lakukan."
Selena ragu sejenak, tetapi akhirnya setuju. "Baiklah, tapi kita harus hati-hati. Demiurgos bukan orang bodoh. Dia pasti akan menyadari kalau kita mengikutinya."
---
Demiurgos Mengetahui Mereka Mengikutinya
Malam itu, seperti biasa, Demiurgos berjalan menuju tempatnya belajar dengan Profesor Raven. Namun, kali ini ia merasakan ada yang berbeda. Refleks mananya yang terasah selama satu bulan terakhir membuatnya menyadari kehadiran tiga sumber mana yang mengikutinya dari kejauhan.
Demiurgos berhenti di sebuah tempat sepi dan berbalik. "Kalian bertiga bisa keluar sekarang," katanya tenang.
Valen, Selena, dan Aurelius keluar dari bayangan dengan ekspresi canggung.
"Baiklah, kau menang," ujar Valen sambil mengangkat tangan. "Kami hanya ingin tahu apa yang kau lakukan setiap malam. Jangan terlalu serius."
Demiurgos menghela napas panjang. "Aku belajar."
"Belajar?" tanya Selena. "Belajar dengan siapa?"
"Profesor Raven," jawab Demiurgos akhirnya.
Ketiganya terkejut. Mulut Valen terbuka lebar. Setelah beberapa detik hening, ia tertawa keras. "Profesor Raven? Maksudmu Profesor Gila?"
Demiurgos mengerutkan kening. "Profesor Gila?"
Aurelius mengangguk. "Ya, dia disebut begitu karena teorinya tentang Time Magic. Dia pernah mengklaim bahwa Time Magic itu nyata, tapi dia tidak bisa membuktikannya, jadi semua orang menganggapnya gila."
Selena menambahkan, "Dan juga, hampir semua murid yang pernah belajar darinya tidak pernah berhasil memahami materi yang diajarkan. Mereka bilang materinya terlalu rumit dan tidak masuk akal."
Demiurgos hampir ingin menunjukkan apa yang telah dia pelajari dari Profesor Raven untuk membuktikan bahwa mereka salah, tetapi ia tiba-tiba teringat peringatan dari Profesor Raven.
"Jangan pernah memberi tahu siapa pun apa yang kita pelajari. Pengetahuan ini hanya untukmu, dan tidak ada orang lain yang boleh mengetahuinya."
Akhirnya, Demiurgos menahan diri. "Mungkin mereka salah, mungkin juga tidak. Tapi aku bisa memahami materi yang dia ajarkan, dan itu sudah cukup untukku."
Aurelius memandangnya curiga. "Apa benar seperti itu? Kau yakin tidak ada yang lain?"
Demiurgos hanya tersenyum kecil. "Percayalah, tidak ada yang perlu kalian khawatirkan."
Valen tertawa lagi, menepuk bahu Demiurgos. "Kalau begitu, semoga berhasil, Demi. Semoga kau tidak gila seperti dia!"
Demiurgos tidak membalas, hanya berjalan pergi, sementara pikirannya terus memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Saat Demiurgos menjauh dari kelompok, Aurelius tidak bergabung dengan Valen dan Selena dalam percakapan mereka. Ia justru diam, menatap punggung Demiurgos dengan pandangan serius dan penuh analisis.
"Ada yang aneh dengan Demiurgos," pikir Aurelius dalam hati. "Sejak awal dia memang berbeda, tapi akhir-akhir ini... dia semakin misterius. Tidak mungkin belajar dengan Profesor Raven bisa membuatnya berubah seperti ini."
Aurelius memperhatikan setiap gerakan Demiurgos hingga sosoknya menghilang dalam kegelapan. "Apa sebenarnya yang dia sembunyikan?"
---
Percakapan Selena dan Valen
Sementara itu, Selena dan Valen berdiskusi ringan, tetapi topiknya berubah menjadi sesuatu yang lebih serius.
"Hei, kau dengar kan?" tanya Selena dengan suara pelan. "Tentang murid-murid yang hilang."
Valen mengangguk sambil mengusap dagunya. "Ya, dalam sebulan terakhir, sudah ada sekitar tujuh murid yang hilang. Dan itu bukan hanya di kelas kita. Beberapa dari kelas lain juga."
Selena menyipitkan mata. "Apa menurutmu itu ada hubungannya dengan sesuatu? Misalnya... eksperimen atau semacamnya?"
Valen mendengus. "Eksperimen? Itu terlalu dramatis. Aku lebih berpikir mereka mungkin kabur karena tekanan di akademi ini. Kau tahu, tidak semua orang bisa bertahan di tempat seperti ini."
Selena tidak terlihat yakin. "Tapi tujuh orang? Dalam waktu secepat itu? Dan tidak ada satu pun dari mereka yang meninggalkan pesan atau memberi tahu teman dekat mereka. Menurutku, itu bukan kebetulan."
Valen menghela napas. "Kalau begitu, apa menurutmu kita dalam bahaya?"
Selena tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menatap kosong ke arah langit malam. "Aku tidak tahu. Tapi aku rasa ada sesuatu yang salah di sini, Valen. Kita harus tetap waspada."
Valen menepuk bahunya dengan ringan, mencoba menghibur. "Hei, jangan terlalu memikirkan itu. Kau tahu aku selalu ada di sini kalau sesuatu terjadi."
Selena hanya mengangguk, meskipun kekhawatirannya tidak berkurang sedikit pun. "Aku harap kau benar, Valen."
---
Aurelius yang Mendengar Sepintas
Aurelius menangkap sebagian percakapan mereka meski ia tidak bergabung. Saat mendengar tentang murid-murid yang hilang, ia semakin merasa ada kaitan antara itu dengan perubahan sikap Demiurgos.
"Mungkin Demi tahu sesuatu tentang ini... atau lebih buruk lagi, dia terlibat."
Namun, ia memutuskan untuk tidak berbicara sekarang. "Aku akan mencari tahu sendiri," gumam Aurelius dalam hati, memutuskan untuk mulai menyelidiki misteri ini secara diam-diam.