Pagi itu, matahari mulai bersinar hangat di atas SMK Ryoku. Suara burung-burung bercampur dengan derap langkah siswa yang bergerak menuju kelas masing-masing. Namun, Kazuto berjalan ke arah yang berbeda. Dengan sedikit gugup, ia menyusuri koridor menuju kantor guru, mengikuti permintaan Toshiro-sensei yang disampaikan kemarin. Pikiran Kazuto terus bertanya-tanya, apa yang sebenarnya akan terjadi.
Saat tiba di depan pintu, ia mengetuk dengan ragu. Suara tegas Toshiro terdengar dari dalam. "Masuk."
Kazuto membuka pintu dan mendapati gurunya berdiri di dekat meja, mengenakan jubah putih khasnya. Di atas meja itu ada gulungan kertas dan beberapa benda asing yang memancarkan aura misterius.
"Kau datang tepat waktu," ujar Toshiro, melipat tangan di dada.
Kazuto menutup pintu di belakangnya. "Ada apa, Sensei? Anda bilang ini penting."
Toshiro menatap Kazuto sejenak, sorot matanya sulit dibaca. Di balik tatapan itu ada sesuatu seperti campuran rasa bangga, kekhawatiran, dan sesuatu yang mirip dengan keraguan. "Ikut aku. Ada sesuatu yang harus kau lihat." katanya.
Tanpa banyak bicara, Kazuto mengikuti Toshiro keluar dari ruangan. Mereka berjalan melewati aula sekolah yang perlahan sepi, lalu menuju jalan kecil di belakang gedung. Kazuto mengenali jalan itu, tapi ia jarang melewatinya.
"Kita mau ke mana, Sensei?" tanyanya, mencoba memecah keheningan.
"Kau akan tahu saat tiba nanti," jawab Toshiro singkat, suaranya terdengar lebih dalam dari biasanya.
Mereka melintasi jalan setapak yang berbatu, menuju hutan kecil di belakang sekolah. Suara burung-burung pagi mulai memudar, digantikan oleh gemerisik daun yang ditiup angin. Udara terasa lebih dingin saat mereka mendaki perlahan. Toshiro memimpin dengan langkah tegap, sementara Kazuto berjalan di belakang, menyusuri tanah yang lembab dan penuh dedaunan kering.
"Jadi..." Kazuto mencoba bertanya lagi, "kenapa kita harus pergi sejauh ini?"
"Ini bukan sesuatu yang bisa kulakukan di tempat biasa," jawab Toshiro, kali ini dengan sedikit senyuman samar. "Apa yang akan kau lihat bukan hanya sebuah warisan, Kazuto. Ini adalah bagian dari perjalananmu sebagai seorang penyihir Ryoku."
Kata-kata itu membuat Kazuto semakin penasaran, tapi ia memutuskan untuk diam dan mengikuti. Pendakian mereka terus berlanjut, melewati pepohonan yang semakin lebat. Setelah beberapa menit, mereka sampai di sebuah dataran kecil yang tersembunyi di balik tebing.
Kazuto terkejut melihat apa yang ada di depan matanya. Di tengah dataran itu, sebuah pedang besar tertancap di tanah. Pedang itu memancarkan aura gelap yang terasa dingin dan berat, membuat bulu kuduk Kazuto berdiri. Cahaya matahari pagi tampak enggan menyentuhnya, seolah pedang itu menolak keberadaan terang.
"Itu..." Kazuto bergumam, suaranya hampir tak terdengar.
Toshiro berjalan mendekati pedang itu, tatapannya tegas namun penuh rasa hormat. "Ini adalah Daiki, pedang yang dahulu dimiliki oleh ayahmu, Hitsugaya Kaizen."
Kazuto menatap pedang itu dengan campuran kekaguman dan ketakutan. "Ayah ku pernah menggunakan pedang ini?"
Toshiro mengangguk. "Daiki bukan pedang biasa. Di balik wujud fisiknya sebagai pedang, tersembunyi mahluk bernama Kurogane.. dia adalah wujud asli dari pedang itu"
Kazuto menelan ludah, rasa gugupnya semakin besar. "Ntah kenapa aku seperti familiar dengan aura Ryoku ini"
Kemudian Toshiro mendekat, menepuk bahu Kazuto. "Itu karna Kurosei milikmu itu adalah bagian dari kekuatan milik Kurogane, jadi itulah yang mungkin membuatmu merasa mengenalinya."
Kazuto mengangguk dengan ragu. "Baik. Apa yang harus saya lakukan?"
Toshiro tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengangkat tangannya dan tanpa peringatan, memukul dahi Kazuto dengan keras menggunakan dua jarinya.
Dugg!
Kazuto langsung tergeletak.. Dunia di sekitarnya berputar, dan pandangannya menjadi gelap seketika.
Kazuto terbangun dengan tubuh yang terasa sangat lelah. Ia membuka matanya, disambut oleh kegelapan yang pekat. Tak ada suara selain gemericik air yang mengalir perlahan di sekelilingnya. Ketika ia mencoba berdiri, tubuhnya terasa kaku, seperti ada yang membelenggunya, meskipun tidak ada apa-apa yang tampak mengikat.
Dia lalu menatap sekelilingnya. Alam ini tampak seperti dunia yang diasingkan, dinding-dinding hitam yang seakan menyerap cahaya, sementara di bawah kakinya terdapat air yang menggenang. Tak ada langit, hanya gelap yang tak berujung. Kazuto merasakan ketegangan yang menekan setiap bagian tubuhnya, sebuah aura yang berat dan mematikan.
"Akhirnya kau datang juga, bocah!" suara itu tiba-tiba terdengar di telinganya, menggetarkan udara di sekitarnya.
Kazuto mengalihkan pandangannya, dan di tengah kegelapan itu, sebuah sosok muncul dari bayang-bayang. Kurogane, Malaikat Hitam, berdiri dengan tatapan tajam, mata putihnya bersinar dengan dingin. Ia mengenakan jubah hitam yang berkibar lembut di angin yang tak tampak. Pedang hitam yang menjulang di tangan Kurogane memancarkan aura kelam, seakan siap untuk menghabisi siapa pun yang berani mendekat.
"Siapa kau?!" Tanya Kazuto dengan tubuh bergetar.
"Tentu saja kau tidak tahu siapa aku," suara itu kembali terdengar, dengan tawa yang mengguncang. "Aku adalah Kurogane, pedang yang pernah dimiliki oleh ayahmu, Hitsugaya Kaizen. Dan sekarang, kau akan tahu betapa lemah dan tidak berartinya dirimu."
Kazuto terdiam sejenak, tubuhnya terasa kaku. "Kurogane? Jadi kau... pedang yang dimiliki ayahku?"
"Pedang?" Kurogane tertawa, suaranya penuh penghinaan. "Aku bukan hanya sekedar pedang.
Aku adalah kekuatan dan wujud asli dari pedang itu sendiri. Tapi jangan berpikir kau bisa mengalahkanku dengan mudah, bocah."
Lalu Kurogane memandang rendah Kazuto dan berkata.
"Kau tidak datang dengan apa pun, bocah. Tidak ada senjata, tidak ada kekuatan, hanya keberanian yang sangat konyol," kata Kurogane, suaranya datar namun penuh penghinaan.
Kazuto merasakan panas dalam dadanya, tetapi ia tetap menatap Kurogane dengan tekad. "Aku datang untuk membuktikan bahwa aku lebih dari sekadar anak dari Kaizen."
Kurogane terkekeh, suaranya menggema di sekeliling penjara itu. "Anak dari Kaizen? Hahaha... Kau pikir hanya dengan menyebut nama ayahmu kau bisa mendapatkan apa pun? Jangan bermimpi, bocah!"
Dengan gerakan cepat, Kurogane mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, dan dalam sekejap, ia membelah pedangnya menjadi dua. Setiap tebasan memancarkan kilatan hitam yang tajam, seakan siap menembus apa saja yang menghalanginya.
Kurogane memandang Kazuto yang berdiri terpaku, dengan mata yang hampir tampak kosong. "Ini adalah pedang yang terbuat dari Kurosei. Kau belum pernah mendengar teknik ini bukan? Sebelum kau merasa percaya diri aku akan membunuhmu dengan pedang ini."
Dengan gerakan yang luar biasa cepat, Kurogane melemparkan salah satu potongan pedang itu ke arah Kazuto. Pedang itu meluncur ke udara dengan kecepatan luar biasa, seolah ingin menghantam Kazuto dengan kekuatan yang tak terbayangkan.
Kazuto terkejut, namun refleksnya bergerak cepat. Dengan tangan kanannya yang terulur, ia meraih pedang itu tepat sebelum melesat melewatinya. Tangannya gemetar sedikit saat ia merasakan kekuatan pedang itu mengalir ke dalam tubuhnya. Pedang itu terasa dingin dan berat, seperti ada kekuatan yang menghantam batinnya. Namun ia menggenggamnya erat, tidak ada jalan mundur sekarang.
"Ambil itu, bocah," kata Kurogane dengan nada yang datar namun menyiratkan kemarahan. "Gunakan pedang itu untuk melawanku."
Kazuto menatap pedang itu, terengah-engah. "Aku tidak akan menyerah. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa mengalahkanmu."
Kurogane menyeringai. "Jangan sombong!.. Kau pikir itu akan mudah? Kau berpikir bahwa aku ini akan tunduk begitu saja padamu? Jika kau ingin menjadikanku sebagai pelayanmu, kau harus melewati pertarungan ini yang tak terhitung jumlahnya, dan aku akan menunjukkan padamu betapa lemahnya kau sebenarnya."
Dengan kecepatan yang tidak bisa dibayangkan, Kurogane melompat ke depan dan melayangkan serangan pertama. Pedangnya berkilat dengan tajam, menyambar udara dengan kecepatan yang tidak bisa diikuti oleh mata Kazuto.
"Jika kau ingin bertahan hidup, bocah," Kurogane berteriak, "kau harus membuktikan dirimu terlebih dahulu!"
Kazuto hampir tidak punya waktu untuk bereaksi. Pedang Kurogane menghantam dengan kecepatan dan kekuatan luar biasa, memaksa Kazuto melompat mundur. Namun, serangan itu terlalu cepat, ujung pedang Kurogane berhasil menggores lengan Kazuto, meninggalkan luka yang memancar rasa sakit menusuk.
"Berhenti berpikir dan mulai bergerak!" seru Kurogane, suaranya seperti gemuruh badai. Ia melanjutkan serangannya tanpa memberi waktu untuk Kazuto bernapas.
Kazuto menggenggam pedang yang baru saja ia raih dengan kedua tangannya. Meskipun berat dan dingin, ia mencoba menyesuaikan diri dengan aura pedang itu. Ia mengangkat pedangnya untuk menangkis serangan Kurogane berikutnya.
Clang!
Benturan pedang mereka memekakkan telinga, memercikkan percikan energi gelap yang seolah-olah menari di udara. Tubuh Kazuto terguncang ke belakang, hampir kehilangan keseimbangan akibat kekuatan pukulan Kurogane.
"Begini saja kau sudah terdesak? Apa ini yang disebut anak dari Hitsugaya Kaizen?" ejek Kurogane. Dia mengayunkan pedangnya kembali, kali ini dengan lintasan diagonal yang mematikan. Kazuto mengangkat pedangnya untuk menangkis, tetapi kekuatan Kurogane terlalu besar.
Kazuto terpental, tubuhnya menghantam genangan air. Ia terbatuk, mencoba menarik napas sambil memegangi dada yang terasa berat. "Dia… kuat sekali," gumamnya, darah mengalir dari luka di lengan dan bahunya.
Namun, Kazuto tidak membiarkan dirinya tenggelam dalam ketakutan. Dengan nafas terengah-engah, ia bangkit. "Aku tidak akan kalah! Aku bukan hanya bayangan ayahku!" teriaknya.
Kurogane tersenyum dingin. "Tunjukkan padaku, bocah. Jika kau benar-benar pantas, buat aku tunduk."
Kazuto menyesuaikan pegangan pada pedangnya. Ia mencoba mengabaikan rasa sakit dan mengendalikan aliran napasnya. Dengan kecepatan yang tak terduga, ia melompat ke depan, menyerang Kurogane dengan tebasan horizontal yang tajam.
Namun, Kurogane dengan mudah menangkis serangan itu. "Lambat!" ia berseru, menggeser pedang Kazuto ke samping dan melancarkan serangan balasan. Pedangnya berputar seperti pusaran angin gelap, menyerang dari berbagai arah.
Kazuto mendesak dirinya untuk tetap fokus, mengandalkan nalurinya untuk menghindar dan menangkis. Meskipun serangan Kurogane terus menghantam seperti badai, Kazuto mulai memahami ritmenya.
"Aku harus mencari celah," pikir Kazuto. Ia mengalihkan serangannya ke arah kaki Kurogane, mencoba melemahkan pergerakannya. Namun, Kurogane melompat dengan anggun, lalu meluncur turun dengan serangan vertikal yang nyaris menghantam Kazuto.
Kazuto meluncur ke samping, tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan. Tetapi, saat ia terjatuh, ia memutar tubuhnya dan mengayunkan pedangnya ke arah sisi Kurogane. Serangan itu mengenai jubah Kurogane, menciptakan sobekan kecil.
Kurogane menatap Kazuto, untuk pertama kalinya menampilkan ekspresi yang lebih serius. "Kau mulai memahami. Tapi itu belum cukup."
Ia mengangkat pedangnya, dan tiba-tiba, bayangan dari pedangnya menyebar ke seluruh arena. Kazuto terkejut saat melihat banyak bayangan pedang melayang di udara, mengarah padanya.
"Rasakan ini!" Kurogane berteriak, mengirimkan bayangan pedang itu meluncur dengan kecepatan luar biasa.
Kazuto tahu ia tidak bisa menghindari semuanya. Dengan pedangnya, ia memutar tubuh, menangkis bayangan pedang yang melesat ke arahnya. Setiap benturan membuat tangannya terasa mati rasa, tetapi ia bertahan, menggertakkan giginya.
Akhirnya, sebuah bayangan pedang berhasil menyusup dan menghantam perut Kazuto, membuatnya terhempas mundur. Ia berlutut, darah mengalir dari luka barunya. "Tidak… aku tidak bisa kalah di sini," katanya dengan suara pelan.
Kurogane berjalan mendekat, mengarahkan pedangnya ke leher Kazuto. "Kau hanya lemah, sama seperti yang lainnya. Usahamu tidak akan berarti jika kau tidak memiliki tekad untuk melampauinya."
Kazuto menunduk, namun pikirannya dipenuhi bayangan ayahnya. "Aku tidak akan menyerah… karena aku adalah Hitsugaya Kazuto!"
Tiba-tiba, aura pedang yang dipegang Kazuto berubah. Cahaya biru samar mulai menyelimuti pedang itu. Kurogane tersentak, matanya menyipit. "Apa ini?"
Kazuto mengangkat pedangnya dengan tangan gemetar, namun tatapan matanya kini penuh dengan tekad. "Aku akan membuktikan bahwa aku layak untuk mengambil alih kuasamu Kurogane. Bersiaplah."
Kazuto melompat maju, dengan serangan yang lebih cepat dan tajam. Kini, giliran Kurogane yang harus bertahan. Mereka saling menyerang, setiap tebasan pedang menciptakan percikan energi yang menerangi kegelapan di sekitar mereka. Pertempuran terus memanas, Kazuto mulai menunjukkan potensi sejatinya.
"Ayo, Kazuto," pikirnya, "aku tidak akan menyerah… sampai akhir!" Kazuto mundur beberapa langkah, tubuhnya terasa berat seolah energi gelap dari Kurogane berusaha menariknya ke bawah. Nafasnya memburu, dan pandangannya mulai kabur akibat luka yang terus menguras tenaganya.
"Apakah hanya itu yang bisa kau lakukan?!" Kurogane mengejek dengan nada sinis. "Kau bahkan tidak pantas menyentuh pedang itu, apalagi menggunakannya!"
Kazuto mengeratkan genggamannya pada pedang yang ada di tangannya. Luka di lengannya berdarah, tetapi rasa sakit itu seolah membakar semangatnya. Ia menatap Kurogane dengan mata yang menyala penuh tekad.
"Aku tidak peduli seberapa kuatmu atau apa yang kau pikirkan tentangku," teriak Kazuto, suaranya serak namun tegas. "Aku tidak akan menyerah, karena aku tidak hanya membawa namaku sendiri. Aku membawa harapan dan impian ayahku... dan semua orang yang telah mendukungku!"
Kurogane tersenyum kecil, tetapi tatapan matanya tidak menunjukkan belas kasih. "Kata-kata bagus, bocah. Tapi apakah itu cukup untuk bertahan di hadapanku?"
Dengan gerakan yang begitu cepat hingga hanya menyisakan bayangan hitam, Kurogane kembali melayangkan serangan. Kazuto mencoba menangkis, tetapi kekuatan Kurogane terlalu besar. Pedang di tangan Kazuto terpental, dan ia terhempas ke tanah. Tubuhnya menghantam permukaan air yang dingin, menciptakan percikan yang menyebar ke segala arah.
Kazuto mencoba bangkit, tetapi tubuhnya terasa berat. Darah mengalir dari luka di lengan dan bahunya, menciptakan genangan kecil di air yang dingin itu.
"Kau lemah, Kazuto," Kurogane berkata dingin, berdiri tegak dengan pedangnya yang masih bersinar gelap. "Jika kau tidak bisa mengatasi rasa takut dan kelemahanmu, kau tidak akan pernah layak menggunakan kekuatanku."
Kazuto terengah-engah, tetapi dalam hatinya ia menolak menyerah. Ia mengingat wajah ayahnya, Hitsugaya Kaizen, yang selalu tersenyum hangat meski menghadapi kesulitan. Ia mengingat kata-kata Toshiro-sensei yang selalu percaya pada potensinya. Dan yang terpenting, ia mengingat tujuan utamanya: melindungi orang-orang yang ia sayangi.
"Aku... belum selesai," Kazuto berbisik, suaranya hampir tak terdengar.
Kurogane mengangkat alis, seolah terkejut. "Oh? Masih ada nyala api di matamu, rupanya."
Kazuto perlahan berdiri, meskipun tubuhnya bergetar. Ia menatap Kurogane dengan pandangan yang lebih tajam dari sebelumnya. "Aku akan bertahan. Tidak peduli seberapa kuat atau mengerikan dirimu, aku akan menemukan cara untuk menang."
Kurogane tersenyum lebar, kali ini dengan nada menghormati. "Bagus. Tunjukkan padaku tekadmu, bocah. Tapi ingat, ini baru permulaan."
Kazuto mengangkat pedangnya sekali lagi, meski tangan dan tubuhnya terasa berat. Dalam hatinya, ia tahu ini adalah pertarungan yang akan menentukan jalannya sebagai pewaris Daiki. Dengan serangan berikutnya dari Kurogane yang mendekat, Kazuto bersiap menghadapi tantangan yang jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Namun, meskipun ia terus bertahan dan berusaha melawan, Kurogane semakin memperlihatkan kekuatannya yang luar biasa. Serangan demi serangan membuat Kazuto semakin terpojok, tubuhnya penuh luka. Kazuto terlihat berlutut di atas genangan air, napasnya terengah-engah, darah menetes dari luka-luka di tubuhnya.
"Apakah ini batasmu?" Kurogane bertanya dengan nada menghina, pedangnya diarahkan langsung ke Kazuto yang terdesak.
Kazuto menatap lurus ke arah Kurogane, meskipun tubuhnya terluka parah. Dengan mata yang tetap bersinar penuh tekad, ia mengucapkan pelan, "Aku... belum menyerah."
Informasi telah terungkap:
"Kurogane adalah pedang yang dulunya dimiliki oleh Hitsugaya Kaizen, ayah Kazuto, dan memiliki wujud roh kuat yang disebut Kurogane. Pedang ini mampu memanipulasi bayangan dan energi gelap, serta dalam wujud roh memiliki sifat angkuh dan kuat, yang menganggap Kazuto tidak sebanding ayahnya yaitu Kaizen."