Chereads / Senki: Chronicles of the Ryoku Sorcerers / Chapter 14 - Penginapan Tua

Chapter 14 - Penginapan Tua

Kazuto memiringkan kepala, mencoba memastikan niat kakek itu. "Lalu, ada tempat aman yang bisa kami tuju kek?" tanyanya.

 

Kakek itu mengangguk pelan sambil menghela napas. "Ada penginapan tua di ujung jalan sana. Bangunannya memang sudah lama, tapi cukup untuk bermalam. Besok pagi, kalau kabutnya hilang, kalian bisa kembali."

 

Mereka saling berpandangan, tak ada pilihan lain yang lebih baik. Hisana melirik jalan sempit yang ditunjukkan pria itu, tampak remang-remang dan suram dengan pohon-pohon besar yang berjajar di sisi kanan dan kiri.

 

"Kita ikut saran dia?" tanya Shinji, suaranya terdengar ragu.

 

Kazuto mengangguk. "Kita nggak bisa bertahan di luar kayak gini. Hujan makin deras, dan jalan ini terlalu berbahaya."

 

Kakek lalu mengangguk singkat, lalu melanjutkan perjalanannya, menghilang perlahan ke dalam kabut seolah menjadi bagian darinya. Mereka bertiga mulai berjalan menuju jalan yang ditunjukkan, setiap langkah terasa lebih berat karena lumpur dan dinginnya udara.

 

Akhirnya, mereka tiba di depan penginapan yang dimaksud. Bangunan kayu tua itu berdiri di ujung jalan yang sepi.

 

Dindingnya terlihat lapuk, beberapa bagian atapnya bocor, dan jendela-jendelanya berderit pelan terkena angin. Hujan membuat suasana semakin kelam, dengan genangan air yang mengitari bangunan seperti parit alami.

 

"Tempat ini kayak rumah hantu," gumam Hisana sambil menatap bangunan itu dengan pandangan ragu.

 

"Tapi ini lebih baik daripada tidur di luar," balas Kazuto sambil melangkah mendekat. Kazuto mendorong pintu kayu berat itu perlahan, suara deritannya menggema di dalam ruangan yang gelap dan dingin.

 

Begitu mereka masuk, bau kayu basah dan debu memenuhi udara. Tidak ada lampu, hanya kegelapan yang menyelimuti interior penginapan tua itu.

 

Hujan di luar semakin deras, menciptakan suara gemericik konstan yang bercampur dengan suara atap bocor di beberapa sudut ruangan.

 

"Gelap banget," keluh Hisana sambil merogoh saku mantel hujannya. Ia mengeluarkan senter kecil dan menyalakannya.

 

Cahaya redup dari senter itu menerangi sebagian ruangan, memperlihatkan meja-meja kayu tua yang berdebu dan kursi-kursi reyot yang teronggok di sudut.

 

Kazuto mengeluarkan senternya juga, menyinari dinding ruangan yang penuh dengan noda kelembapan dan sarang laba-laba.

 

"Kita butuh cahaya lebih dari ini. Cari lilin atau apa pun yang bisa dipakai," ujarnya sambil mulai berjalan ke arah lemari kayu tua di dekat pintu masuk.

 

Shinji mengikuti, menyinari rak kayu yang hampir roboh di sisi lain ruangan. "Kalau tempat ini memang sering dipakai orang untuk bermalam, harusnya ada korek atau lilin di sekitar sini," katanya sambil memeriksa laci-laci yang berderit saat dibuka.

 

Hisana mengarahkan cahayanya ke rak kecil di sudut ruangan, tempat beberapa barang tampak dibiarkan begitu saja.

 

"Di sini ada sesuatu," katanya sambil menggeser sebuah kotak kecil yang penuh debu. Di dalamnya, ia menemukan beberapa lilin putih pendek yang sudah setengah habis. "Tapi nggak ada korek."

 

Kazuto berjalan mendekat, memeriksa isi kotak itu. "Lumayan. Kita cari koreknya. Mungkin di dapur atau ruang belakang."

 

Dengan cahaya dari senter mereka, ketiganya mulai menjelajahi penginapan itu. Langkah mereka menimbulkan suara berderit di lantai kayu yang sudah lapuk.

 

Setiap sudut terasa seperti menyimpan sesuatu yang tak terlihat, bayang-bayang dari cahaya senter mereka seolah bergerak mengikuti.

 

Di sebuah ruangan yang lebih besar, Shinji akhirnya menemukan kotak korek api yang terselip di bawah meja. Ia mengangkatnya dengan ekspresi lega. "Dapat! Masih ada beberapa batang yang bisa dipakai."

 

"Bagus," balas Kazuto. "Bawa ke ruang utama. Kita nyalakan lilinnya di sana."

 

Mereka kembali ke ruangan utama dan mulai menyalakan lilin satu per satu. Cahaya hangat lilin perlahan mengusir sebagian kegelapan, menciptakan bayangan lembut di dinding. Meski tidak sepenuhnya terang, suasana menjadi sedikit lebih nyaman.

 

Hisana menata lilin-lilin itu di atas meja kayu tua. "Kalau kita nggak lihat penginapan ini dari luar, aku hampir percaya tempat ini ditinggalin hantu," candanya, meskipun suaranya sedikit gemetar.

 

Kazuto duduk di kursi tua yang berderit pelan saat ia bergerak. "Aku nggak yakin kalau itu cuma bercanda," katanya sambil memandangi bayang-bayang di dinding yang terus bergerak mengikuti nyala lilin.

 

Shinji mengeluarkan jaketnya, mengeringkannya di kursi lain. "Yang terpenting kita bisa bertahan malam ini. Besok pagi, kita langsung keluar dari sini."

 

Di luar, suara hujan dan angin semakin keras, sementara di dalam, kehangatan lilin menjadi satu-satunya pelipur dalam suasana yang terus terasa menekan.

 

Malam itu, keheningan di penginapan tua terasa menusuk. Cahaya lilin yang berkedip-kedip seolah melawan kegelapan yang melahap ruangan. Hujan deras terus mengguyur di luar, menciptakan suara gemuruh yang bercampur dengan derit pelan dari dinding kayu yang lapuk.

 

Sesekali, suara tetesan air dari atap yang bocor memecah kesunyian, menambah kesan dingin yang menyelubungi tempat itu.

 

Kazuto membuka matanya perlahan, berganti posisi dengan Hisana yang sebelumnya berjaga. Ia mengucek matanya, lalu melihat sekeliling. Lilin-lilin di atas meja mulai habis terbakar, menyisakan aroma lilin yang terbakar. Namun, sesuatu terasa aneh. Hisana dan Shinji tidak ada di tempat mereka seharusnya.

 

"Hisana? Shinji?" panggil Kazuto, suaranya bergema pelan di ruangan itu. Tidak ada jawaban. Ia meraih senternya, menyalakannya, dan menyapu ruangan dengan cahaya kecil itu. Jantungnya mulai berdegup lebih cepat saat ia menyadari bahwa ruangan itu tampak lebih gelap dan lebih luas daripada sebelumnya.

 

Langkah kakinya membawa Kazuto ke koridor yang seharusnya pendek, tetapi kini memanjang tak berujung. Lantai kayu berderit setiap kali ia melangkah, seolah ada sesuatu yang bergerak di bawahnya. Di kejauhan, suara tawa kecil menggema suara anak-anak, tetapi terdengar terlalu jauh untuk ukuran lorong ini.

 

Di sisi lain penginapan, Hisana dan Shinji mengalami hal serupa. Hisana menggenggam erat senternya, sinarnya bergetar bersama tangannya. "Kazuto, kamu di mana?" panggilnya, tetapi hanya derit angin yang menjawab.

 

Dia memutar tubuh, tetapi lorong di belakangnya telah berubah. Jalanan yang ia lewati tadi kini berbeda, penuh dengan pintu-pintu tua yang tertutup rapat. Setiap pintu seolah memandangnya, mengintimidasi.

 

Sementara itu, Shinji menyandarkan punggungnya pada dinding. Ia mencoba tetap tenang, tetapi suara langkah kaki kecil, bahkan terlalu kecil untuk manusia dewasa, membuatnya menggenggam kedua pedangnya dengan lebih erat.

"Kazuto? Hisana?" panggilnya, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh hujan dan suara misterius itu.

 

Di tengah kebingungannya, Kazuto tiba-tiba berhenti. Di ujung koridor, sosok kecil menyerupai seorang anak berdiri memunggunginya.

 

Sosok itu tidak bergerak, hanya diam. Nafas Kazuto tertahan, matanya memperhatikan dengan tajam. "Hei, siapa di sana?" tanyanya, mencoba terdengar tegas.

 

Namun, bukannya menjawab, sosok itu berbalik perlahan. Wajahnya pucat, matanya hitam pekat tanpa pupil, dan bibirnya menyunggingkan senyum yang terlalu lebar untuk ukuran manusia.

 

Dalam sekejap, sosok itu berlari ke arahnya dengan kecepatan yang mustahil.

 

Kazuto reflek menghunus pedangnya. "Sialan!" Ia mengayunkan pedang Daiki nya ke arah sosok itu, tetapi gerakannya begitu cepat sehingga hanya mengenai udara kosong.

 

Sosok itu muncul kembali di belakangnya, menyerang dengan cakar tajam yang hampir mengenai punggungnya. Kazuto berguling ke samping, merapalkan sihir maryoku. Kazuto mengalirkan teknik Kurosei nya ke Daiki.

 

Pertarungan berlangsung sengit. Sosok itu terus melancarkan serangan dengan kecepatan yang sulit diikuti, melompat dari dinding ke dinding seperti seekor binatang buas.

 

Kazuto memusatkan perhatian, menunggu momen yang tepat. Ketika sosok itu menyerang lagi, Kazuto memutar tubuhnya dan mengayunkan pedangnya dengan kekuatan penuh. Tebasannya berhasil, menciptakan percikan cahaya hitam saat pedangnya menembus tubuh makhluk itu.

 

Makhluk itu menjerit, suaranya menggema di seluruh penginapan. Tubuhnya perlahan memudar menjadi kabut hitam, meninggalkan bau anyir yang menyengat.

 

Kazuto terengah-engah, tangannya masih menggenggam pedang yang berlumur darah hitam dari serei itu.

 

Namun, meski makhluk itu lenyap, penginapan masih terasa seperti perangkap. Kabut tebal masih menyelimuti setiap sudut, dan suara tawa anak-anak yang menggema kini terdengar semakin dekat, seolah-olah datang dari semua arah.

 

Saat fajar tiba, warna jingga lembut mulai merayap dari celah-celah jendela yang berdebu, menggantikan kegelapan yang sebelumnya mendominasi.

 

Kabut tebal yang semalam menyelimuti desa perlahan mulai menipis, memperlihatkan bayangan samar pepohonan dan rumah-rumah tua di kejauhan. Suara hujan yang semalam deras kini berubah menjadi gemericik halus, seperti napas lega setelah malam panjang yang mencekam.

 

(Sudut Pandang Kazuto)

Kazuto terbangun di kamar yang sama tempat mereka awalnya tidur, tetapi ruangan itu terasa lebih dingin dari sebelumnya. Lilin yang dinyalakan semalam sudah padam, menyisakan bau hangus yang samar.

 

Dia mencoba memanggil teman-temannya, tetapi hanya keheningan yang menjawab. Merasa ada sesuatu yang tidak beres, Kazuto mengambil pedangnya, lalu melangkah keluar ke koridor.

 

Di sana, ia mendapati lorong itu kembali seperti semalam, panjang dan tak berujung. Namun, kali ini ada suara-suara samar yang mengiringi langkahnya.

 

Suara tawa anak-anak bergema, bersahut-sahutan dengan langkah kaki kecil yang terdengar menjauh setiap kali ia mendekat.

 

Dengan napas berat, Kazuto mencoba menenangkan pikirannya. "Ini hanya ilusi. Aku harus fokus," gumamnya, menggenggam erat pedangnya.

 

Ketika ia terus berjalan, bayangan yang menyerupai Hisana dan Shinji muncul di ujung lorong. Namun, saat Kazuto berusaha mendekat, bayangan itu menghilang, menyisakan keraguan di benaknya.

 

"Aku harus cari mereka," katanya dengan tekad, mempercepat langkahnya meskipun koridor terus terasa memanjang.

 

(Sudut pandang Hisana)

Di sisi lain, Hisana terbangun di sebuah ruangan yang asing. Dindingnya penuh dengan retakan, dan suara gemericik air terdengar dari suatu tempat. Ketakutan mulai menjalar di benaknya, tetapi ia berusaha tetap tenang.

 

Mengingat Kazuto selalu menyarankan untuk berpikir logis dalam situasi seperti ini, Hisana mencoba menganalisis sekeliling.

 

Ia menyalakan senter yang selalu disimpan di tasnya, lalu mulai mencari jalan keluar. Namun, setiap kali ia membuka pintu, ruangan itu tampak membawa dirinya kembali ke tempat semula. "Ini gila," desisnya sambil menggigit bibir.

 

Saat ia mulai mendengar suara langkah kaki di kejauhan, Hisana merasa ragu apakah itu bantuan atau ancaman.

 

"Kazuto? Shinji?" panggilnya, suaranya nyaris tak terdengar karena rasa takut. Tak ada jawaban. Tetapi, suara langkah itu semakin dekat.

 

(Sudut pandang Shinji)

Sementara itu, Shinji terbangun di luar kamar mereka. Ia mendapati dirinya di tangga penginapan yang mengarah ke kegelapan.

"Oke, ini bukan hal biasa," gumamnya sambil meraih pedangnya yang selalu diselipkan di pinggangnya.

 

Langkahnya pelan, hati-hati memeriksa setiap sudut. Tangga itu terasa seperti memanjangnya sendiri, membuatnya kehilangan orientasi.

 

Saat mendengar suara-suara aneh, Shinji memilih untuk mengikuti nalurinya dan terus maju. Dia tahu bahwa tetap diam hanya akan membuatnya semakin tersesat.

 

"Hisana! Kazuto!" serunya, mencoba memastikan dirinya tak sendirian. Tapi suara yang menjawab hanyalah gema suaranya sendiri.

 

Keajaiban kecil terjadi saat Hisana, yang putus asa mencari jalan keluar, membuka pintu lain dan menemukan Kazuto di ujung koridor.

 

"Kazuto!" serunya dengan lega, setengah berlari ke arahnya. Kazuto, yang sudah waspada, menoleh dengan cepat, awalnya mengira itu adalah ilusi lain. Namun, ketika Hisana mendekat, ia merasa yakin bahwa ini benar-benar dirinya.

 

"Sial, kamu baik-baik saja?" tanya Kazuto, mengawasi sekeliling. Hisana mengangguk, meskipun jelas ia masih ketakutan.

 

Tak lama setelah itu, Shinji muncul dari tangga di belakang mereka. Dengan napas berat, ia menyapu pandangannya ke arah mereka berdua.

 

"Akhirnya nemu kalian juga," katanya, nada suaranya lega sekaligus lelah.

 

Mereka bertiga berdiri bersama di koridor yang sekarang tampak lebih pendek dan normal. Meski kabut tipis masih mengisi ruangan, ilusi yang sempat memisahkan mereka seolah menghilang.

"Sepertinya... penginapan ini sengaja memisahkan kita," ujar Kazuto, nada suaranya penuh analisis. "Tapi kenapa?"

 

"Terserah apa alasannya," balas Shinji sambil menghela napas. "Yang penting kita keluar dari sini."

 

Dengan langkah pasti, mereka menyusuri koridor untuk terakhir kalinya, hingga akhirnya menemukan pintu keluar yang kembali membawa mereka ke dunia luar. Udara segar pagi itu terasa seperti berkah, menggantikan malam penuh ketegangan yang baru saja mereka lewati.

 

Saat mereka melangkah keluar dari penginapan tua itu, hujan deras yang mengguyur sepanjang malam kini telah berubah menjadi rintik-rintik lembut. Tetesan air yang jatuh dari dedaunan menciptakan irama tenang, berbeda jauh dari keheningan yang menegangkan semalam. Kabut yang semula tebal mulai tersibak perlahan, memperlihatkan pemandangan desa yang tampak hidup kembali di bawah sinar matahari pagi yang hangat. Meski begitu, hawa lembap masih terasa menusuk kulit, menyisakan bekas dingin dari malam yang penuh misteri.

 

Kazuto berhenti sejenak, menatap ke belakang. Penginapan itu terlihat berbeda di bawah cahaya pagi—lebih seperti bangunan tua biasa daripada tempat yang menyimpan kengerian semalam. Namun, perasaan bahwa ada sesuatu yang salah tetap menggantung di dadanya. "Rasanya... seolah-olah tempat itu gak mau kita pergi," gumamnya pelan.

 

"Dan aku gak punya alasan buat balik ke sana lagi," ujar Shinji, memandangi bekas genangan air di tanah becek. "Serius, itu pengalaman paling aneh yang pernah kualami."

 

Hisana menarik napas dalam-dalam, mengusap lengannya yang dingin meski udara mulai menghangat. "Aku masih bisa dengar suara-suara itu. Langkah-langkah kecil, tawa anak-anak… Aku gak yakin itu cuma ilusi," katanya lirih.

 

Ketiganya kembali melangkah, melewati jalan setapak yang licin dengan hati-hati. Beberapa warga desa mulai terlihat keluar rumah, menjalani rutinitas pagi mereka. Ada seorang ibu yang memandikan anaknya dengan air dari gentong besar, seorang pria muda yang sibuk menambal atap rumahnya, dan seorang nenek yang menyapu halaman dengan sapu lidi. Suasana ini sedikit memberi rasa lega, mengingatkan mereka bahwa mereka telah kembali ke dunia nyata setelah semalam terjebak di dalam mimpi buruk.

 

Kazuto mendekati seorang pria tua yang memikul kayu di pundaknya. "Permisi, Pak," panggilnya sopan. "Kami tadi malam bermalam di penginapan tua di ujung jalan itu. Apa Anda tahu sesuatu tentang tempat itu?"

 

Pria tua itu berhenti, memandang Kazuto dengan tatapan penuh arti. "Penginapan itu?" gumamnya pelan, suaranya seperti angin yang membawa kisah lama. "Seharusnya sudah kosong selama bertahun-tahun. Tak ada yang tinggal di sana sejak kebakaran besar melanda."

 

"Kebakaran?" tanya Hisana, suaranya tercekat. "Tapi tadi malam kami—"

 

Pria itu memotong dengan anggukan tegas. "Aku sarankan kalian jangan membicarakannya lebih jauh. Tempat itu bukan untuk manusia biasa. Kalau kalian berhasil keluar dari sana, anggap itu sebagai berkah. Jangan pernah kembali ke sana lagi."

 

Kazuto menahan desakan untuk bertanya lebih banyak. Ia bisa merasakan ketulusan dalam peringatan pria itu, meski jawabannya meninggalkan lebih banyak misteri. Shinji menarik lengannya perlahan. "Kita gak bakal dapet apa-apa di sini. Mending fokus balik ke rumah kepala desa," katanya.

 

Perjalanan menuju rumah kepala desa terasa lebih panjang dari biasanya, mungkin karena pikiran mereka masih dipenuhi oleh kejadian semalam. Rintik hujan terus menemani langkah mereka, menciptakan percikan lembut di tanah becek. Sepanjang jalan, mereka berbagi cerita dengan suara rendah, mencoba merangkai petunjuk yang didapat selama malam penuh keanehan.

 

Begitu sampai di depan rumah kepala desa, Hisana mengetuk pintu dengan pelan. Sesaat kemudian, seorang wanita paruh baya membukakan pintu, matanya berbinar lega melihat mereka.

 

"Kalian akhirnya kembali!" katanya dengan nada penuh kelegaan. "Kepala desa sangat khawatir. Masuklah, kalian pasti kedinginan."

 

Di ruang tengah, kepala desa menunggu mereka dengan wajah serius. Sorot matanya penuh perhatian, seolah ia telah mendengar banyak kisah serupa sebelumnya. "Syukurlah kalian selamat. Aku hampir mengirim orang untuk mencari kalian," ujarnya.

 

Kazuto duduk dengan tubuh lelah tetapi pikirannya tetap bekerja. "Kami menemukan sesuatu yang aneh di desa ini, terutama di penginapan tua itu," katanya, mencoba mengatur kata-kata.

 

Kepala desa menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. "Aku yakin kalian punya banyak cerita. Tapi beristirahatlah dulu. Pagi ini adalah waktu untuk menenangkan diri. Malam di desa ini... memang penuh rahasia."

 

Kazuto, Hisana, dan Shinji saling bertukar pandang. Meski rasa lelah menghantam tubuh mereka, pikiran mereka tak bisa berhenti memikirkan apa yang telah terjadi. Misteri desa ini semakin dalam, dan penginapan tua itu hanya sebagian kecil dari teka-teki yang harus mereka pecahkan.

 

Informasi telah terungkap:

"Penginapan itu lebih dari sekadar bangunan tua yang terlantar. Ada makhluk gelap yang menguasainya, memanipulasi ruang dan waktu di dalamnya, menjebak siapa pun yang masuk."