Pagi itu, udara segar dan dingin menyambut Kazuto, Hisana, dan Shinji saat mereka tiba di rumah Kepala Desa. Desa yang tenang dan sejuk itu tampak seperti tempat yang jauh dari hiruk-pikuk dunia luar, seolah terhanyut dalam waktu. Rumah Kepala Desa berdiri di tengah desa, sebuah bangunan kayu yang sederhana namun nyaman, dengan kebun yang terawat rapi di sekelilingnya. Meski suasana tenang, ada sesuatu yang membuat perasaan mereka sedikit cemas, seolah bayangan kejadian semalam masih mengikuti mereka.
Setelah pintu rumah terbuka, aroma teh hangat menyambut mereka. Istri Kepala Desa, seorang wanita paruh baya dengan wajah yang ramah dan penuh perhatian, mengundang mereka masuk. "Silakan duduk, anak-anak," katanya dengan senyum lembut, suaranya menenangkan. "Jangan ragu untuk beristirahat dan menceritakan perjalanan kalian."
Ruang tamu itu dipenuhi dengan kehangatan dari perapian kecil yang menyala di sudut ruangan. Sebuah meja kayu besar dikelilingi oleh kursi-kursi yang terlihat nyaman, ditemani lampu minyak yang memancarkan cahaya temaram. Teh harum beraroma jahe dan daun melati disuguhkan dalam cangkir keramik yang halus. Meskipun tubuh mereka masih lelah, aroma teh itu memberi ketenangan sejenak, seolah mengundang mereka untuk melepaskan sedikit ketegangan.
Kazuto, Hisana, dan Shinji duduk mengelilingi meja, saling bertukar pandang sejenak sebelum akhirnya Kazuto membuka percakapan dengan suara pelan namun penuh rasa ingin tahu. "Kami ingin melaporkan sesuatu yang terjadi kemarin malam di penginapan."
Kepala Desa dan istrinya saling berpandangan, wajah mereka langsung berubah serius. Istri Kepala Desa meletakkan teko teh di atas meja, menunggu dengan cermat, sementara Kepala Desa duduk tegak, matanya menajam penuh perhatian.
Kazuto melanjutkan, "Tadi malam, di penginapan tua itu… ada beberapa hal yang aneh. Kami dipisahkan begitu saja. Meskipun kami sudah berencana tidur bersama di satu ruangan, entah bagaimana kami bertiga terpisah."
Hisana mengangguk pelan, matanya terbuka lebar seakan kembali mengingat kejadian semalam. "Ya, aku pertama kali tidur di kamar yang seharusnya aku tempati, tapi entah kenapa, begitu aku terlelap, aku bangun di kamar yang berbeda. Pintu kamarku terkunci dari luar, padahal aku jelas ingat meninggalkan kunci di meja. Rasanya… sangat janggal."
Shinji, yang selalu tampak tenang, menyuarakan pengalamannya dengan nada yang datar namun penuh keseriusan. "Aku juga merasakannya. Setelah kami tiba di penginapan, semuanya terasa normal, tidak ada yang aneh. Tapi begitu aku tidur, perasaan mengganggu itu datang. Seolah-olah ada seseorang yang mengawasiku. Aku terbangun di tengah malam, dan ruangan di sekelilingku terasa begitu gelap, hampir seperti ada bayangan yang bergerak, menyelinap di balik dinding. Itu bukan perasaan yang bisa dijelaskan dengan kata-kata."
Kazuto menambahkan, suaranya lebih berat karena kelelahan mental yang ia rasakan. "Dan aku… aku mendengar suara langkah kaki di luar kamar. Ada suara yang sangat jelas, meskipun tak ada siapa-siapa di sana. Aku coba cek, tapi ruangan itu sepi. Tak ada orang. Tapi suara itu terus terdengar, semakin lama semakin dekat. Kami merasa seolah-olah terjebak dalam sebuah ilusi atau dimensi lain. Semua itu seperti tidak nyata, tapi kami semua merasakannya."
Kepala Desa mendengarkan dengan cermat, alisnya berkerut, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang jelas. Ia duduk lebih tegak, menunduk sedikit, berpikir dengan serius sebelum akhirnya mengangguk. "Kalian tidak salah. Penginapan itu memang terkenal dengan kejadian-kejadian aneh. Ada cerita lama yang beredar bahwa siapa pun yang tidur di sana sering kali merasa terpisah dari kenyataan. Beberapa orang bahkan melaporkan dipisahkan dari teman-temannya, seolah mereka tak bisa menemukan orang lain setelah terbangun. Ruangan-ruangan itu bisa berubah dengan sendirinya, membuat pengunjung merasa seolah-olah mereka terjebak dalam suatu lingkaran."
Istri Kepala Desa menatap mereka dengan ekspresi prihatin, matanya seakan menyiratkan bahwa ia sudah sering mendengar cerita serupa. "Apa kalian mendengar suara-suara aneh atau melihat hal-hal lain yang tidak biasa selama tidur?"
Kazuto mengangguk pelan, suaranya lebih dalam kali ini. "Ya, suara-suara itu terus mengganggu kami. Seperti ada sesuatu yang mencoba menarik perhatian kami, tapi kami tidak bisa melihatnya dengan jelas. Itu seperti bisikan halus yang datang dari segala arah, entah dari dalam ruangan atau di luar, tapi saat kami mencari, tidak ada siapa-siapa. Ada rasa seperti terancam, tapi kami tidak tahu dari mana ancaman itu datang."
Hisana menyela, mencoba mengingat lebih jauh. "Aku merasa seperti sedang dimanipulasi, seakan-akan aku tak bisa berpikir jernih. Seperti ada sesuatu yang berusaha memasuki pikiran kami, membisikkan sesuatu yang… membuatku merasa cemas, takut, dan bingung tanpa alasan yang jelas."
Istri Kepala Desa menghela napas panjang, matanya terpejam sejenak. "Ini sangat mirip dengan cerita yang beredar tentang penginapan itu. Ada yang mengatakan, tempat itu terhubung dengan kekuatan yang sangat tua dan tak terlihat. Kekuatan itu bisa memengaruhi pikiran orang yang menginap di sana, membuat mereka merasa seperti kehilangan arah. Beberapa orang bahkan melaporkan mengalami halusinasi yang sangat nyata, yang seolah-olah membawa mereka ke dimensi lain."
Suasana di ruangan itu menjadi semakin berat. Teh yang tadinya terasa menenangkan, kini seolah tidak mampu meredakan ketegangan yang menggantung di udara. Kazuto dan yang lainnya saling berpandangan, merasa semakin cemas dan bingung dengan apa yang baru saja mereka ungkapkan.
"Jadi, kami benar-benar terjebak dalam kekuatan yang tak bisa dijelaskan?" tanya Shinji, dengan nada tenang, namun ada ketegasan dalam suaranya. "Atau ada yang lain yang kita belum pahami?"
Kepala Desa mengangguk perlahan, wajahnya serius. "Apa yang kalian alami bukan kebetulan. Penginapan itu memang memiliki sejarah panjang, dan ada bagian dari masa lalu yang tak bisa dijelaskan oleh siapa pun yang pernah menginap di sana. Tapi satu hal yang pasti, apa pun yang kalian alami, kalian tidak sendirian. Banyak orang lain yang telah merasakannya."
Kepala Desa memejamkan mata sejenak, seakan memikirkan sesuatu. "Ada satu hal yang perlu kalian tahu," katanya setelah beberapa detik, "Penginapan itu dibangun di atas tanah yang dulunya dikenal sebagai tempat bersemayamnya roh-roh penasaran. Selama bertahun-tahun, banyak orang yang melaporkan mengalami kejadian-kejadian aneh di sana. Beberapa dari mereka merasa disesatkan, terjebak dalam mimpi buruk yang tak berujung. Hal ini sudah terjadi sejak puluhan tahun yang lalu."
Kazuto merasakan ketegangan yang semakin meningkat. "Kami merasa seperti terjebak dalam mimpi. Ketika kami akhirnya terbangun, kami tidak bisa menemukan satu sama lain. Seolah-olah penginapan itu berusaha membuat kami terpisah, memisahkan kami secara fisik maupun mental."
Shinji menatap Kepala Desa dengan serius. "Kami bertiga akhirnya bertemu kembali di koridor, dan saat itu kami bisa merasakan kehadiran sesuatu yang tak terlihat. Ada suara bisikan yang datang entah dari mana, dan seluruh atmosfer di sana terasa begitu menekan. Kami hampir saja kehilangan jejak satu sama lain."
"Suara itu sangat nyata," tambah Hisana, "Suara seperti langkah kaki yang perlahan mendekat, meskipun tak ada siapa-siapa di sekitar kami. Dan saat kami membuka pintu, kami malah kembali ke ruangan yang sama berulang kali, meskipun kami merasa sudah berjalan cukup jauh."
Kepala Desa mengangguk pelan. "Itulah yang terjadi di penginapan itu. Tempat itu seakan hidup dengan energi yang sangat kuat, yang bisa mempengaruhi pikiran orang. Seperti ada kekuatan yang mengatur waktu dan ruang di sana, memanipulasi persepsi siapa pun yang menginap di sana."
Istri Kepala Desa menambahkan, "Ada satu kisah yang cukup terkenal di desa ini. Beberapa tahun lalu, seorang pengunjung yang menginap di penginapan itu tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Meskipun ia sempat mengungkapkan pengalaman serupa, ia tetap tidak bisa mengingat apa yang sebenarnya terjadi padanya."
Shinji menggertakkan giginya. "Jadi, kami memang tidak salah menduga bahwa ada sesuatu yang aneh di sana. Kami merasa terjebak, terperangkap dalam sebuah permainan yang tidak kami pahami."
Kazuto mengangguk, tetapi ada satu hal yang masih mengganjal di pikirannya. "Kami juga melihat anak-anak hujan, seperti yang pernah diceritakan orang-orang di desa ini. Mereka tampak seperti roh-roh kecil yang terperangkap dalam hujan, berkeliaran tanpa tujuan. Tapi, ada sesuatu yang tidak biasa dengan mereka. Mereka seolah-olah tahu lebih banyak dari yang kita lihat."
Istri Kepala Desa menatap mereka dengan mata yang lebih tajam. "Anak-anak hujan, ya. Mereka bukanlah anak-anak biasa. Mereka adalah roh-roh serei yang terperangkap dalam cuaca hujan. Sebagian besar mereka adalah jiwa-jiwa penasaran yang tidak bisa menemukan kedamaian dan tetap terjebak di dunia ini. Mereka datang bersama hujan, sering kali muncul saat sore hari dan terus berlanjut hingga malam hari."
Kepala Desa melanjutkan dengan suara berat, "Mereka tidak hanya muncul di penginapan. Bisa jadi kalian menemui mereka di jalan-jalan desa, atau bahkan di antara rumah-rumah warga. Mereka biasanya datang dengan tujuan untuk menarik perhatian, bersembunyi di balik bayang-bayang, atau berdiri di tempat-tempat yang tak terduga. Orang-orang sering kali merasa ada yang mengawasi mereka saat berjalan sendirian di malam hari."
"Suara-suara aneh dan perasaan diawasi itu juga sering kali muncul bersama mereka," kata Istri Kepala Desa. "Mereka memiliki cara untuk mempengaruhi orang-orang yang tak waspada, menarik mereka ke tempat yang lebih sunyi dan sepi, di mana pengaruh roh itu bisa lebih kuat. Banyak yang terjebak dalam dunia yang mereka ciptakan, terperangkap dalam ingatan buruk atau mimpi buruk yang tak berujung."
Shinji mengerutkan kening. "Tapi mereka tampak seperti anak-anak biasa. Kami sempat berpikir mereka hanya anak-anak yang bermain di hujan."
Istri Kepala Desa menggelengkan kepala. "Tidak, Shinji. Mereka bukanlah anak-anak biasa. Mereka adalah jiwa-jiwa yang terjebak, terperangkap dalam bentuk anak-anak, dan sering kali muncul untuk menggoda atau menyesatkan orang-orang. Jika kalian merasa ada yang mengikutinya atau mereka mulai mendekat dengan cara yang aneh, kalian harus segera menjauh. Mereka bukan makhluk yang bisa dianggap remeh."
Kazuto menatap serius. "Mereka bisa mempengaruhi kita, bukan hanya secara fisik, tetapi juga mental. Kami harus berhati-hati."
"Betul," Kepala Desa mengangguk. "Mereka bisa menarik perhatian kalian, membuat kalian merasa terjebak, atau bahkan kehilangan arah. Keberadaan mereka hanya salah satu bagian dari kekuatan yang ada di desa ini, dan kalian harus siap dengan apa pun yang akan datang."
"Kepala Desa," Kazuto akhirnya memecah keheningan, suaranya mantap meskipun wajahnya menunjukkan kecemasan yang tertahan. "Kami tidak bisa mengabaikan ini. Jika anak-anak hujan itu benar-benar berhubungan dengan fenomena di penginapan, kami harus mencari tahu lebih banyak."
Kepala Desa menatap Kazuto dengan sorot mata serius. "Kalian harus sangat berhati-hati. Anak-anak hujan itu bukan sekadar jiwa penasaran. Mereka adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih tua. Jangan terlalu dekat, dan selalu jaga kesadaran kalian."
Kazuto mengangguk, sementara Hisana dan Shinji juga menunjukkan persetujuan. Mereka tahu bahwa mereka harus bergerak dengan hati-hati, tetapi rasa penasaran mendorong mereka untuk mencari jawaban.
Hari itu berjalan lambat. Matahari yang terhalang kabut seolah enggan bergerak menuju senja. Kazuto, Hisana, dan Shinji duduk di luar rumah Kepala Desa, memandangi jalanan desa yang sepi. Suara angin yang berhembus lembut bercampur dengan gemerisik daun dari pepohonan di sekitar mereka.
"Apa kalian yakin kita harus melakukannya?" tanya Hisana, nada suaranya penuh keraguan. "Kepala Desa sudah memperingatkan kita. Kalau kita terlalu dekat, mungkin saja kita masuk ke dalam jebakan mereka."
Kazuto menatap Hisana dengan tenang. "Justru karena itu kita harus mencari tahu. Jika anak-anak hujan itu memiliki koneksi dengan fenomena di penginapan, kita harus memahami apa yang sebenarnya terjadi. Ini mungkin terkait dengan sesuatu yang lebih besar."
Shinji, yang sejak tadi diam sambil memutar pedangnya yang tumpul, akhirnya bersuara. "Aku setuju dengan Kazuto. Selain itu, kita tak punya banyak pilihan. Jika ini dibiarkan, siapa tahu apa yang akan terjadi pada desa ini? Mereka mungkin sudah terbiasa dengan kehadiran anak-anak hujan, tapi kita tidak bisa membiarkan ancaman seperti ini berkembang tanpa terkendali."
Mereka bertiga sepakat, dan ketika sore mulai menjelang, mereka mempersiapkan diri. Hujan rintik-rintik mulai turun, membawa suasana yang dingin dan mendalam ke seluruh desa. Ketiganya berjalan perlahan di antara jalan-jalan kecil, memperhatikan setiap sudut dengan seksama.
Kazuto menghentikan langkahnya di dekat persimpangan kecil yang mengarah ke kebun bambu. "Lihat," katanya sambil menunjuk ke kejauhan.
Di sana, samar-samar, tampak beberapa sosok kecil bermain di bawah hujan. Mereka terlihat seperti anak-anak, melompat dan berlari, tertawa tanpa suara. Meski dari jauh terlihat seperti anak-anak biasa, ada sesuatu yang tidak wajar pada mereka. Kulit mereka pucat, hampir transparan, dan pakaian yang mereka kenakan tampak kuno, seperti dari zaman yang sudah lama berlalu.
Shinji mengernyit. "Itu mereka."
Hisana memegang lengan Kazuto, suaranya bergetar. "Mereka terlihat... tidak nyata. Apa kalian merasakan itu?"
Kazuto mengangguk, mengaktifkan indera jujutsunya. "Ya, ada aliran ryoku dari mereka. Tapi alirannya tidak stabil, seperti terputus-putus. Mereka bukan hanya roh biasa, ada sesuatu yang mengikat mereka di tempat ini."
Shinji memejamkan mata, mencoba merasakan energi yang sama. "Ryoku mereka terasa seperti riak. Seolah-olah mereka adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, mungkin pusat energi yang memengaruhi seluruh desa ini."
Anak-anak hujan itu tidak menyadari keberadaan mereka, terus bermain di bawah rintik hujan. Namun, setiap kali salah satu dari mereka melompat atau bergerak, udara di sekitarnya terasa berubah. Suhu turun dengan cepat, dan suara gemericik hujan terdengar semakin aneh, seperti bisikan-bisikan yang samar.
Kazuto mencoba mendekat lebih jauh, tetapi tiba-tiba anak-anak itu berhenti bergerak. Mereka berdiri diam, seolah merasakan kehadiran ketiganya. Salah satu dari mereka, seorang anak perempuan dengan rambut panjang basah menutupi wajahnya, perlahan menoleh ke arah mereka.
Mata Kazuto membelalak. Mata anak perempuan itu sepenuhnya putih, tanpa pupil, memancarkan cahaya redup yang menyeramkan. "Kita sudah diperhatikan," bisik Kazuto, menarik pedangnya.
Informasi telah terungkap:
'Tiba-tiba, anak-anak itu menghilang seperti kabut yang diterbangkan angin. Hanya hujan yang tersisa, namun ketiganya merasakan kehadiran yang lebih besar mendekat."