Saat wanita hujan mengangkat tangannya, dunia tiba-tiba berubah. Langit yang tadinya abu-abu dan suram, berubah menjadi pekat sehitam tinta. Hujan yang menghujam tanah tiba-tiba melambat, tetesannya melayang-layang di udara seakan-akan waktu berjalan lebih lambat. Angin yang tadinya menggigilkan tubuh kini tak bergerak sama sekali. Udara terasa semakin berat, seolah dunia sekitar mereka sedang menahan napas. Kazuto, Shinji, dan Hisana merasakan ketegangan yang luar biasa, tubuh mereka terasa terikat oleh sesuatu yang tak terlihat, dan seketika itu pula, dunia di sekitar mereka menghilang.
Kazuto terjatuh ke belakang, tiba-tiba seolah dipindahkan ke tempat yang asing. Hujan yang turun perlahan memudar, menggantikan suasana sejuk dengan hawa hangat yang aneh.
Dia berdiri di depan sebuah rumah kecil. Rumah yang dikenalnya, rumah yang pernah menjadi miliknya. Rumah yang penuh dengan kenangan indah bersama ibunya.
Dia bisa mendengar suara tawa, suara seorang wanita yang sangat ia kenal.
"Ibu..." suara itu keluar tanpa sadar dari mulut Kazuto, meskipun dia merasa seperti ada sesuatu yang menghalanginya untuk menggerakkan tubuhnya.
Di depan pintu rumah, ibunya berdiri, wajahnya bersinar dengan senyuman. Wajah yang dulu selalu ada di hadapannya, penuh kasih sayang. "Kazuto, ayo masuk, makan malam sudah siap," katanya, dengan suara yang begitu lembut.
Kazuto ingin berlari dan memeluknya, ingin merasakan kembali kehangatan itu. Namun, langkah kakinya terasa sangat berat, seolah tubuhnya tidak bisa bergerak, terikat oleh sesuatu yang lebih besar dari dirinya.
Kemudian, seorang pria muncul di sebelah ibunya, mengenakan jubah hitam dengan corak putih. Wajahnya kabur, seperti sebuah bayangan yang tak bisa dikenali. Tapi aura pria itu begitu kuat, penuh dengan kebanggaan dan kehormatan yang tidak bisa dipahami oleh Kazuto.
"Kazuto, kau sudah tumbuh begitu besar," suara pria itu penuh dengan kebanggaan.
Kazuto ingin bertanya, "Siapa dia?" namun suaranya tidak keluar. Dia hanya bisa memandangi pria itu, bertanya-tanya mengapa pria itu begitu penting dalam kehidupannya.
Namun, seperti sebuah ilusi yang tak bisa dijangkau, pria itu perlahan menghilang. Ibu Kazuto pun menghilang bersamanya, meninggalkan Kazuto yang hanya bisa berdiri terpaku di tempat yang sepi.
"Ibu... tunggu!" teriak Kazuto, tetapi suara itu hanya terhanyut oleh angin yang datang begitu tiba-tiba, menghapus semua yang ada di hadapannya. Hujan yang menghapus jejak kenangan itu kembali turun dengan deras, meninggalkan Kazuto dengan perasaan kosong yang tak bisa dijelaskan.
Sementara itu Shinji..
Shinji kecil berdiri di tengah desa yang hancur. Tanah yang lembap akibat hujan darah, dan tubuh manusia yang tergeletak tak bernyawa di setiap sudut. Setiap langkah Shinji di tanah yang becek ini memantulkan suara keras dari setiap langkahnya, menambah kehancuran yang tak terhindarkan. Ia berlari, berusaha mencari ayahnya, suara pedang yang saling berbenturan bergema di telinganya.
Ayahnya adalah sosok yang penuh dengan kekuatan. Seorang pria yang terkenal di dunia bawah, seorang pembunuh bayaran yang tak kenal ampun. Shinji selalu merasa kagum pada ayahnya, meskipun kadang ia merasa ketakutan terhadap kejamnya dunia yang ayahnya jalani.
"Ayah!" teriak Shinji, suaranya terdengar putus asa di tengah kebisingan pertarungan. Ia berlari di antara mayat dan reruntuhan, berusaha menembus kerumunan yang berlumuran darah.
Di antara asap dan keringat, akhirnya Shinji melihat ayahnya. Sosoknya terhuyung-huyung, wajahnya berdarah, tetapi matanya tetap tajam, bertekad untuk melawan. Di depannya, seorang pria bertubuh besar, dengan wajah penuh luka, sedang mengangkat pedangnya untuk melakukan serangan terakhir.
"Ayah!" Shinji berlari dengan penuh ketakutan, tetapi tubuhnya terasa seperti terikat. Ia tidak bisa mendekat, tubuhnya terasa sangat lemah. Semua yang ia lakukan hanyalah menyaksikan.
Ayahnya berbalik dan mengarahkan pandangannya pada Shinji. "Lari, Shinji!" serunya dengan suara serak. "Jangan lihat ini!"
Namun, Shinji tidak bisa bergerak. Tiba-tiba, pedang lawannya menghujam dada ayahnya dengan keras. Darah mengalir deras dari tubuhnya, dan tubuh ayahnya jatuh, hancur begitu saja.
"Ayah!!" Shinji menjerit, suaranya penuh dengan kepedihan.
Namun, sebelum ia bisa berlari, Shinji melihat bayangan sosok lain di belakang ayahnya. Seorang wanita, mengenakan pakaian yang robek dan berlumuran darah, terjatuh di samping tubuh ayahnya. Ibu Shinji, yang selama ini ia cintai, terbujur kaku dengan mata yang mulai kosong. Dalam sekejap, Shinji kehilangan dua orang yang paling berarti dalam hidupnya, dan dunia di sekitarnya terasa runtuh.
Setelah tragedi itu, Shinji kecil terjebak dalam dunia yang penuh dengan kebingungan. Ia tidak tahu harus pergi ke mana atau siapa yang bisa membantunya.
Dunia yang dulu ia kenal, penuh dengan tawa dan kehangatan, kini telah menjadi tempat yang gelap dan kejam. Ia tak lagi merasa aman, dan setiap langkahnya hanya dipenuhi rasa takut akan apa yang akan datang.
Namun, tak lama setelah kejadian itu, Shinji ditemukan oleh seorang pria muda dengan rambut putih. Sosok itu bukan orang asing, meskipun Shinji tidak tahu siapa dia.
"Jangan takut," suara pria itu terdengar penuh dengan keyakinan, seakan bisa menenangkan badai yang mengamuk dalam hati Shinji.
Pria itu mengenakan pakaian sederhana tetapi dengan aura yang sangat kuat. Matanya yang tajam dan tenang membuat Shinji merasa ada sesuatu yang luar biasa dalam diri orang ini. Shinji merasa cemas, tetapi ada sesuatu yang membuatnya merasa lebih aman di dekat sosok ini.
"Siapa kamu?" tanya Shinji dengan suara yang bergetar.
"Aku Byakuen Toshiro," jawab pria itu. "Kamu tidak sendirian. Aku akan mengajarkanmu cara bertahan hidup."
Dengan bantuan Toshiro, Shinji mulai belajar mengendalikan teknik-teknik Ryoku, meskipun pada awalnya ia masih sangat muda dan lemah. Setiap malam, Toshiro membimbingnya dengan penuh kesabaran, mengajarkan Shinji bagaimana mengendalikan bayangan—teknik yang menjadi ciri khasnya.
Toshiro tidak hanya mengajarinya cara bertarung, tetapi juga bagaimana mengendalikan emosi yang sering kali menguasainya.
Namun, di balik setiap ajaran yang diberikan oleh Toshiro, Shinji merasa ada yang lebih dalam—ada beban berat yang selalu dibawa oleh gurunya.
Toshiro tidak pernah berbicara tentang masa lalunya, tetapi Shinji tahu bahwa pria ini juga membawa beban yang berat.
Toshiro selalu melatih Shinji dengan cara yang keras, menekankan pentingnya kekuatan dan pengendalian diri. Shinji tahu bahwa, meskipun Toshiro tidak mengatakannya, ia ingin Shinji bisa melindungi dirinya sendiri dalam dunia yang kejam.
Beberapa tahun berlalu sejak Shinji kehilangan kedua orang tuanya. Keadaan semakin keras baginya saat dia terpaksa menghadapi dunia yang penuh dengan kekerasan dan kegelapan.
Pada usia yang sangat muda, Shinji sudah terbiasa dengan pertarungan, karena itu adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Keahlian bayangan yang dimilikinya berkembang lebih cepat daripada yang diharapkan banyak orang.
Namun, semua itu juga membawa kesepian yang dalam. Kehilangan orang tuanya yang tragis meninggalkan lubang besar dalam hatinya yang tidak bisa diisi dengan apapun, meskipun kekuatan baru yang dia pelajari memberinya cara untuk bertahan hidup.
Setelah bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang kebencian dan trauma masa kecilnya. Ayahnya, seorang pembunuh bayaran profesional, sering terlibat dalam konflik dengan pihak-pihak berkuasa seperti Celestial, yang berusaha menjaga ketertiban dunia. Shinji, yang masih anak-anak, dilatih oleh ayahnya sejak kecil untuk bisa bertahan di dunia penuh bahaya ini, namun tanpa pemahaman lebih mendalam tentang akibat tindakan mereka.
Suatu malam, pertempuran besar pecah antara ayah Shinji yang adalah pemimpin Klan Shiba dan penyihir Celestial. Bentrokan antara dua kekuatan besar itu menyebabkan kehancuran besar di kota tempat mereka tinggal.
Ayah Shinji tewas dalam pertempuran yang tak terhindarkan, bersama ibunya yang mencoba melindunginya. Saat itu, Shinji hanya bisa menyaksikan kehancuran keluarganya, merasa tak berdaya.
Dan Hisana...
Hisana merasakan dirinya terperangkap dalam kegelapan. Di depannya, sebuah sosok berdiri dengan punggung menghadapinya, rambut panjang yang terurai menciptakan bayangan yang menghantui.
"Kakak... kenapa kamu di sini?" suara Hisana bergema di kegelapan, tetapi wanita itu tidak menoleh.
"Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan, Hisana," suara itu terdengar begitu tenang, namun penuh dengan tekanan yang tak terucapkan.
Hisana merasa jantungnya berdegup kencang, namun tubuhnya tetap terdiam, seakan-akan terikat oleh kekuatan yang tak terlihat. Bayangan kakaknya terus berdiri diam, seolah menunggu sesuatu—sesuatu yang Hisana tidak tahu.
Mungkin itu adalah sebuah keputusan, sebuah pilihan yang harus dia buat. Namun, Hisana merasa begitu terombang-ambing, terjebak antara keinginan untuk melepaskan bayangannya dan kenyataan yang tak bisa dia hindari.
Kembali ke Realitas
Ketiganya terbangun bersamaan. Hujan kembali deras, seperti tak pernah ada yang berubah. Dunia di sekitar mereka kembali normal, namun perasaan yang mereka bawa adalah sesuatu yang jauh lebih berat. Masa lalu yang mereka coba lupakan kini telah terungkap, membawa rasa sakit dan penyesalan yang sulit untuk dilupakan.
Kazuto menggenggam pedangnya dengan tangan yang gemetar, mencoba menenangkan hatinya yang baru saja diguncang oleh kenangan yang menghantui.
Shinji memandang langit dengan ekspresi yang sulit dibaca, matanya kosong, seolah menatap sesuatu yang lebih jauh dari langit itu sendiri.
Hisana mengatur napasnya, meskipun tubuhnya gemetar. Katana rampingnya masih di tangan, namun bayangan kakaknya terus mengganggu pikirannya.
"Itu... bukan hanya pertarungan," kata Kazuto pelan, menatap teman-temannya. "Mereka memanggil kita untuk menghadapi apa yang ada di dalam diri kita."
Shinji hanya mengangguk, matanya tetap tajam, mengamati segala sesuatu di sekitarnya dengan kewaspadaan yang lebih besar.
Hisana menatap ke depan, tetapi pikirannya jauh lebih dalam—terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab. "Kita harus siap. Ini baru permulaan."
Informasi telah terungkap:
"Kekuatan ilusi masa lalu dari Wanita Hujan mampu membelokkan realitas, membawa korban ke dalam kenangan pahit mereka yang terpendam, menciptakan mimpi buruk yang menghancurkan ketenangan jiwa."