Chereads / Senki: Chronicles of the Ryoku Sorcerers / Chapter 12 - Perjalanan Menuju Kanagawa

Chapter 12 - Perjalanan Menuju Kanagawa

Pagi itu, gerbang utama SMK Jujutsu Ryoku dipadati oleh murid-murid yang sibuk dengan aktivitas mereka. Langit cerah, dan angin pagi yang sejuk menghembus pelan, menambah semangat hari itu. Di tengah hiruk pikuk, Kazuto, Hisana, dan Shinji berdiri di depan gerbang sekolah, menunggu dengan ekspresi campur aduk antara sabar dan bosan.

 

Kazuto menatap jam tangannya, alisnya sedikit berkerut. "Sudah hampir setengah jam," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.

 

Hisana, yang bersandar di pagar, menghela napas panjang sambil memainkan ujung rambutnya. "Kalau dia nggak datang dalam lima menit, aku akan—"

 

"Dia datang," potong Shinji sambil menunjuk ke arah jalan. Sosok Toshiro muncul dari kejauhan, melangkah santai dengan jaket hitam panjang yang berkibar pelan tertiup angin. Kunci mobil berputar di jarinya, dan senyum khas penuh percaya diri menghiasi wajahnya.

 

"Maaf, telat sedikit," katanya ringan, suaranya terdengar tenang seolah waktu bukan masalah.

 

Hisana menegakkan tubuh, menatap Toshiro tajam. "Sedikit? Kami sudah menunggu hampir setengah jam, Toshiro-sensei!" serunya, ekspresi kesalnya lebih seperti anak kecil yang merengek.

 

Toshiro hanya mengangkat bahu, tetap dengan senyumnya. "Lalu kenapa? Bukankah menunggu itu mengajarkan kesabaran?"

 

Hisana frustrasi, sementara Kazuto hanya menggelengkan kepala, mencoba menahan tawa. "Kau benar-benar guru yang... unik," katanya dengan nada sarkastik.

 

Shinji, yang sejak tadi diam, mencoba mencairkan suasana. "Yah, paling tidak kita jadi punya waktu untuk menikmati pemandangan indah… pagar sekolah ini."

 

Kazuto terkekeh kecil, akhirnya tidak bisa menahan diri lagi. "Pemandangan yang luar biasa, Shinji. Sungguh tidak ada duanya."

 

"Sudah-sudah," potong Toshiro sambil melambaikan tangan. Ia berjalan menuju mobil SUV hitamnya yang terparkir di dekat gerbang. "Ayo, masukkan barang kalian. Waktunya berangkat."

 

Hisana, yang pertama bereaksi, segera menyimpan tas kecilnya ke dalam bagasi. "Kenapa tas kalian sebesar itu?" tanyanya dengan nada heran sambil melirik tas besar milik Shinji. "Kita pergi untuk misi, bukan pindah rumah."

 

Shinji tersenyum tipis, memasukkan tasnya dengan hati-hati. "Persiapan adalah kunci. Siapa tahu kita akan butuh ini di lapangan. Lebih baik siap daripada menyesal."

 

Kazuto, yang baru selesai menyimpan tasnya, menambahkan dengan nada menggoda, "Atau mungkin dia membawa kamus buat ngobrol sama kutukan."

 

Shinji melirik Kazuto dengan ekspresi datar, tetapi ada kilatan geli di matanya. "Ha-ha, sangat lucu, Kazuto. Kalau begitu, kau bisa pinjam kamusku nanti kalau ketemu kutukan yang suka berdebat."

 

Kazuto tertawa kecil, sementara Toshiro sudah duduk di kursi pengemudi, mengetuk-ngetuk setir dengan jarinya. "Kalau kalian sudah selesai bercanda, ayo masuk. Kita tidak punya waktu untuk lelucon sepanjang hari."

 

Mereka saling bertukar pandang, lalu masuk ke mobil satu per satu. Begitu pintu tertutup, Toshiro menyalakan mesin dan melirik mereka dari spion tengah. "Pegang erat-erat. Ini akan menjadi perjalanan yang panjang."

 

Mobil itu melaju semakin jauh, meninggalkan hiruk pikuk kota, menuju perbukitan yang semakin hijau dan hutan lebat yang menyambut perjalanan panjang mereka.

 

"Dengar-dengar, Kanagawa cukup menyeramkan," gumam Hisana sambil mengencangkan sabuk pengamannya.

 

"Seram bagaimana?" tanya Kazuto sambil meliriknya.

 

"Entahlah, aku hanya punya firasat buruk." Hisana melirik keluar jendela dengan cemas.

 

Toshiro tersenyum tipis, mencuri pandang melalui kaca spion. "Kanagawa memang punya reputasi... tapi kalian di sini untuk belajar, kan? Jangan khawatir, aku ada di sini."

 

"Entah kenapa itu tidak terlalu menenangkan," balas Shinji, membuat tawa kecil pecah di antara mereka.

 

Setelah beberapa saat, mereka memasuki wilayah berbukit yang dihiasi hutan lebat. Cahaya matahari yang sebelumnya hangat kini mulai terhalang oleh pepohonan tinggi, menciptakan bayangan gelap yang memanjang di jalan. Suara ban mobil yang bergesekan dengan aspal menjadi satu-satunya yang terdengar, sementara burung-burung seakan berhenti bernyanyi.

 

"Hutan ini terlihat menyeramkan" ujar Hisana pelan, memandang keluar jendela dengan alis sedikit berkerut. "Aku merasa… ada yang aneh di sini."

 

"Perasaan aneh itu wajar, Hisana," gumam Shinji tanpa memalingkan pandangannya dari jalan di depan. Suaranya tenang, hampir tanpa emosi, tetapi ada nada samar yang lebih hangat dari biasanya. "Tempat seperti ini biasanya menyimpan sesuatu yang tidak terlihat."

 

Hisana menatap Shinji sejenak, bingung apakah ia serius atau hanya mencoba menakutinya. "Kamu benar-benar tahu cara membuat suasana jadi lebih nyaman, Shinji," katanya dengan nada sarkastik.

 

"Aku hanya menyampaikan fakta," balas Shinji sambil mengangkat bahu kecil, ekspresinya tetap datar.

 

Di awal perjalanan, suasana di dalam mobil dipenuhi obrolan santai. Kazuto mencoba mencairkan suasana dengan cerita dari sekolah.

 

"Hei, kalian tahu nggak? Kemarin ada siswa baru yang mencoba teknik penyegelan dan malah mengurung dirinya sendiri di dalam lemari sapu," kata Kazuto sambil terkekeh.

 

Hisana menutup mulutnya, menahan tawa. "Apa? Serius? Bagaimana bisa?"

 

"Dia terlalu percaya diri," Kazuto menjelaskan. "Tapi aku yakin, yang paling lucu adalah reaksinya setelah itu. Dia mulai teriak, 'Tolong! Aku diserang!'"

 

Toshiro terkekeh kecil dari kursi pengemudi, tanpa memalingkan wajahnya dari jalan. "Setidaknya dia tahu kapan harus meminta bantuan."

 

Shinji hanya mendengarkan tanpa menanggapi. Ketika Kazuto menoleh ke arahnya, Shinji akhirnya membuka mulut. "Dia mungkin salah paham soal tekniknya. Tapi, setidaknya dia mencoba."

 

"Oh, Shinji, jangan terlalu serius. Itu hanya cerita lucu," ujar Hisana, menggoda.

 

"Lucu atau tidak, dia lebih baik belajar dengan benar," jawab Shinji, menatap Hisana sekilas dengan pandangan datar, tetapi ada sedikit senyum tipis di sudut bibirnya.

 

Kazuto tertawa kecil. "Yah, kurasa kita semua pernah mengalami momen bodoh saat belajar, bukan? Kecuali mungkin Shinji."

 

 

Beberapa jam kemudian, mobil mereka memasuki wilayah yang semakin gelap. Langit yang sebelumnya cerah kini tertutup awan tebal, menggantung rendah di atas hutan yang lebat. Pohon-pohon besar berderet di kedua sisi jalan, membentuk dinding hijau yang hampir menutup seluruh pandangan. Hawa di dalam mobil mulai berubah, terasa lebih berat, seperti ada sesuatu yang menekan udara, membuat napas terasa lebih dalam.

 

Hisana yang tadinya terlelap di kursi samping Kazuto terbangun, mengerjap beberapa kali, merasakan ketegangan yang menjalar di sekujur tubuhnya. Matanya yang terpejam seketika terbuka lebar, memfokuskan pandangan ke luar jendela. Ada sesuatu yang tidak biasa. Sebuah perasaan yang sulit dijelaskan, namun begitu nyata.

 

"Ada apa?" tanya Kazuto, suaranya lembut, namun tegas, saat melihat ekspresi gelisah Hisana. Ia memperhatikan dengan seksama wajah istrinya yang mendadak pucat, matanya yang terbuka lebar dipenuhi kecemasan.

 

"Aku… merasa ada sesuatu yang mengawasi kita," jawab Hisana, suaranya bergetar pelan, matanya terus menatap keluar jendela dengan penuh kewaspadaan. Ada ketegangan yang terlihat jelas di wajahnya, seolah-olah sesuatu yang tak kasat mata tengah mengintai mereka dari balik bayangan pepohonan yang semakin gelap.

 

Toshiro, yang duduk di depan, melirik mereka melalui kaca spion. Meski ekspresinya tetap tenang dan terkontrol, ada kerutan halus di dahinya yang menunjukkan ia juga merasakan perubahan di sekitar mereka. "Kita sudah mendekati Kanagawa," katanya dengan suara datar, mencoba menenangkan. "Wajar jika energinya terasa berbeda. Tetap waspada, tapi jangan terlalu khawatir. Tempat ini memang… sedikit berbeda."

 

Hujan tiba-tiba turun dengan deras, mengetuk kaca mobil dengan bunyi yang keras dan hampir berirama, mengaburkan pandangan ke luar. Tetesan air besar yang datang begitu cepat, menghantam kaca depan mobil dengan intensitas yang hampir mengaburkan semua yang ada di luar sana. Suara derasnya hujan membuat suasana semakin berat, seperti alam itu sendiri berusaha menutup jalan mereka.

 

Toshiro memperlambat laju mobil, wiper mobil bekerja keras, bergerak naik turun dengan cepat, namun seolah tak cukup untuk menghalau hujan yang makin deras. Pemandangan luar hanya terlihat samar-samar. Suasana dalam mobil semakin terasa pengap.

 

"Ini terlalu deras," gumam Shinji, matanya tetap terpaku pada jendela, mencoba melihat sesuatu di luar meski hujan menyulitkan. Setiap tetesan yang menempel di kaca tampak berlarian seakan ikut berpacu dengan waktu, menciptakan gambaran yang semakin membingungkan.

 

Perjalanan semakin lama terasa semakin berat, dan mereka tak bisa tidak merasa seperti terjebak di dalam dunia yang semakin terisolasi. Hujan tak kunjung reda, terus mengguyur hingga mereka tiba di desa kecil di Kanagawa. Begitu mereka memasuki batas desa, suasana semakin suram. Jalanan yang berlubang dan becek membentang di depan mereka. Rumah-rumah dengan atap bertumpuk dan dinding kayu tua berdiri sunyi, seakan tak ada kehidupan di sana. Desanya tampak seperti tempat yang terlupakan oleh waktu.

 

Toshiro akhirnya memarkir mobil di dekat rumah besar yang berdiri di ujung jalan, sebuah bangunan yang terlihat seperti kediaman kepala desa. Rumah itu besar dan kokoh, meskipun sudah tampak usang oleh waktu, dengan halaman yang basah kuyup terkena hujan. Di sekelilingnya, tak ada cahaya yang menyala, hanya bayangan yang terlempar dari lampu mobil yang berkelip di atas jalanan yang licin.

 

Mereka keluar satu per satu dari mobil, menahan payung yang terbalik tertiup angin. Kaki mereka menginjakkan diri di jalanan desa yang basah kuyup, setiap langkah menciptakan suara gemericik yang terdengar keras di tengah kesunyian yang aneh. Hujan masih belum berhenti, membasahi pakaian mereka, dan udara yang lembap membuat setiap napas terasa lebih berat.

 

"Seperti tidak ada kehidupan di sini," bisik Kazuto pelan, matanya menelusuri jalanan yang kosong. Keheningan desa ini begitu menyelimuti, seakan setiap rumah menutup diri dari dunia luar.

 

 

Saat mereka berjalan menuju rumah kepala desa, suasana di sekitar mereka semakin terasa ganjil. Angin yang berhembus semakin kencang, menerpa pohon-pohon yang hampir tidak bisa menahan beratnya hujan. Kazuto bisa merasakan hawa yang aneh, seperti sesuatu yang menekan udara di sekitarnya. Bulu kuduknya meremang, dan meskipun ia tidak bisa menjelaskan perasaan itu, ada sesuatu yang membuatnya waspada.

 

"Ini bukan desa biasa," pikirnya, jari-jarinya sedikit menggenggam gagang pedang Daiki yang tergantung di punggungnya, seolah-olah mempersiapkan diri untuk sesuatu yang tak terduga.

 

Hisana berjalan di samping Kazuto, tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti. Matanya membelalak, wajahnya pucat pasi seperti melihat sesuatu yang menakutkan. Kazuto yang menyadari perubahan itu langsung menoleh.

 

"Ada apa?" tanya Kazuto dengan suara rendah, suaranya serasa dipenuhi ketegangan. Ia menatap Hisana yang tampak kehilangan warna di wajahnya.

 

Hisana menggigil, suaranya hampir hilang. "A… anak kecil," bisiknya gemetar, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang gelap dan basah. "Dia... dia tidak punya wajah…"

 

Kazuto menoleh ke arah yang ditunjuk Hisana, namun yang terlihat hanyalah hujan deras yang menghujam jalanan dengan keras dan bayangan kabur di kejauhan. Angin yang berhembus kencang seolah menutupi suara, membuat suasana menjadi semakin sunyi dan mencekam.

 

"Aku tidak melihat apa-apa," kata Kazuto dengan berusaha menenangkan. Ia mengangkat bahu sedikit, berharap bisa mengalihkan perhatian dari kecemasan yang kini merayap di dalam dirinya. "Mungkin hanya bayangan atau halusinasi karena hujan ini."

 

Namun, meskipun ia berusaha menenangkan, perasaan tak nyaman semakin menggulung di dadanya.

 

Di sisi lain, Shinji berjalan beberapa langkah di belakang, matanya tajam memerhatikan sekitar. Ia tak bisa menahan rasa curiganya terhadap desa ini. Rumah-rumah yang mereka lewati tampak usang dan tak terawat. Pintu dan jendela tertutup rapat, seolah-olah tidak ada kehidupan di sana.

 

Biasanya, meskipun dalam cuaca buruk, sebuah desa masih bisa menunjukkan tanda-tanda aktivitas, namun di sini semuanya terbungkus dalam keheningan yang mencurigakan.

 

"Desa ini… terlalu sepi," gumam Shinji, alisnya berkerut. Suaranya terdengar lebih berat, lebih dalam dari biasanya. Ia berhenti sejenak, menatap rumah-rumah itu dengan pandangan yang tidak bisa disembunyikan lagi. Ada sesuatu yang salah di sini.

 

 

 

Karena hujan yang terus menerus mengguyur sudah menyebabkan pemadaman listrik selama empat hari berturut-turut. Di dalam rumah, udara terasa lembap dan dingin, seiring lilin-lilin yang menyala goyah di sudut ruangan, menciptakan bayangan menari di dinding.

 

Toshiro melangkah masuk terlebih dahulu, diikuti oleh Kazuto, Hisana, dan Shinji. Mereka menyusuri lorong yang gelap, hanya diterangi cahaya dari lilin yang semakin meredup. Setiap langkah mereka terasa berat, seolah lantai kayu di bawah mereka mengeluarkan suara berderit pelan, menambah kesan angker di dalam rumah yang sepi ini.

 

"Apakah kalian merasa itu?" Hisana berbisik pelan, matanya berkeliling dengan rasa cemas. "Suasana di sini... tidak seperti tempat yang biasanya dihuni manusia."

 

Kazuto menoleh, menatap wajah Hisana yang masih terbayang ketakutan. Hujan yang terus mengguyur dan kegelapan yang hampir menutupi semuanya membuat perasaan mereka semakin tegang. Kazuto merasakan hal yang sama, seolah rumah ini memiliki rahasia yang lebih gelap dari yang mereka kira.

 

"Tenang," kata Toshiro dengan suara yang tenang namun penuh otoritas, "Kita akan berbicara dengan kepala desa. Kita harus tetap fokus."

 

Namun, meskipun Toshiro berbicara dengan tenang, ketegangan di udara tetap terasa. Sebuah perasaan tak terungkapkan yang meresap dalam setiap sudut rumah.

 

Akhirnya, mereka tiba di rumah kepala desa. Rumah itu terletak di tengah kompleks desa, sedikit lebih besar dari rumah lainnya, namun tetap terasa sederhana dan usang di tengah hujan yang terus mengguyur.

 

Begitu mereka mendekati rumah, suara gemuruh petir terdengar semakin dekat, seakan mengikuti setiap langkah mereka. Di sekitar rumah, jalanan yang licin dan basah memantulkan cahaya lampu-lampu minyak yang terpasang di jendela rumah-rumah warga.

 

 Pepohonan yang berdiri di sekitar rumah kepala desa tampak melindungi rumah ini dari pandangan luar, menciptakan kesan terisolasi, meskipun berada di tengah desa.

 

Setibanya di depan pintu rumah, kepala desa yang sudah lanjut usia menyambut mereka dengan senyuman lelah namun tulus. Rambut putihnya yang panjang sedikit kusut, dan matanya yang lelah masih memancarkan harapan.

 

"Terima kasih telah datang," ucapnya sambil menepuk pelan pundak Kazuto, gestur yang menunjukkan rasa syukur mendalam. "Kami benar-benar membutuhkan bantuan kalian."

 

Istrinya, yang berdiri di sampingnya, terlihat lebih cemas. Wajahnya pucat, matanya sedikit sembab, namun senyumnya tetap ramah. Dia bergerak cepat menuju meja di sudut ruangan, menyalakan beberapa lilin yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Cahaya lilin itu menyebar lembut, bergetar mengikuti hembusan angin yang masuk melalui celah-celah kecil di jendela.

 

Begitu mereka melangkah masuk, suhu lembap langsung menyergap tubuh mereka. Hujan yang terus mengguyur dan petir yang sesekali menyambar membuat udara terasa semakin berat. Begitu masuk ke ruang tamu, mereka merasakan suasana yang hening.

 

Beberapa lampu minyak yang dipasang di sudut-sudut ruangan berkelip-kelip, memberi sedikit cahaya di tengah kegelapan. Suara gemuruh petir terdengar menggema di luar, disertai suara hujan yang memukul keras atap rumah.

 

"Kami mohon maaf, kami tidak bisa menyalakan listrik karena hujan yang terus menerus. Sudah empat hari hujan tanpa henti, dan semua sambungan listrik terputus," kata kepala desa dengan suara berat, seolah mengungkapkan keputusasaan yang sudah lama terpendam.

 

Toshiro mengangguk pelan dan kemudian duduk di kursi kayu yang disediakan. Kazuto, Hisana, dan Shinji juga duduk, masing-masing dengan ekspresi serius. Meskipun mereka tahu bahwa waktu mereka sangat terbatas, mereka tetap menjaga kesabaran untuk mendengar penjelasan lebih lanjut.

 

Kepala desa menarik napas panjang, seolah berat untuk melanjutkan ceritanya. "Hujan ini... bukan hal biasa. Kami sudah mencoba segalanya untuk menghentikannya, tapi tidak berhasil. Sudah empat hari berturut-turut, desa kami diguyur hujan tanpa henti. Dan sejak itu, banyak warga yang menghilang secara misterius. Mereka hilang begitu saja tanpa ada jejak, tanpa ada suara... seperti mereka ditarik ke dalam kegelapan."

 

Istrinya menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. "Kami sudah mencari mereka, tapi tidak dapat menemukan apapun... hanya kesunyian yang lebih dalam."

 

Suasana semakin suram dengan cerita itu. Hujan yang memukul keras atap rumah terdengar semakin mengguncang, seperti menambah ketegangan yang menyelimuti ruangan itu. Toshiro tetap tenang, matanya yang tajam mengamati setiap gerakan dan kata-kata yang keluar dari kepala desa.

 

"Kami akan menyelidikinya," jawab Toshiro, suaranya datar namun penuh ketegasan. "Namun untuk malam ini, kami perlu istirahat. Pencarian akan dimulai besok pagi."

 

Kepala desa dan istrinya saling berpandangan sejenak, lalu mengangguk pelan. "Kami mengerti. Silakan beristirahat. Kami telah menyiapkan kamar untuk kalian."

 

Dengan kelelahan yang menggantung di tubuh mereka, Toshiro, Kazuto, Hisana, dan Shinji dibawa ke kamar masing-masing. Masing-masing kamar sederhana, dengan tempat tidur kayu dan selimut tebal. Sebuah lampu minyak menyala di sudut ruangan, cahaya lembutnya berkelip-kelip, berusaha menahan kegelapan malam yang semakin mencekam.

 

Suara hujan yang tak berhenti, disertai dengan suara petir yang kadang menggema di luar, membuat suasana malam itu terasa semakin suram.

 

Di dalam kamar, Kazuto duduk di tepi tempat tidur, memegang pedang Daiki. Hatinya masih gelisah. Meskipun fisiknya sudah lelah, pikirannya terus berputar, mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi di desa ini.

 

Kilatan petir menyambar lagi di luar, dan suara gemuruhnya membuat seluruh rumah bergetar. Di dalam kamar, hanya ada cahaya lampu minyak yang terus berkelip, menerangi ruang yang terasa semakin mencekam.

 

Begitu banyak hal yang tidak terjelaskan, dan Kazuto tahu bahwa besok mereka harus menemukan jawabannya. Namun, malam ini, mereka harus beristirahat, walaupun rasa ketegangan itu terus mengganjal di dalam hati mereka.

Malam itu, Kazuto terjaga dari tidurnya dengan napas yang tersengal-sengal. Mimpi yang baru saja ia alami terasa terlalu nyata untuk diabaikan. Ia terbangun di tengah-tengah kegelapan, dengan suara hujan yang terus mengguyur luar rumah. Tubuhnya masih terasa lelah, tapi pikirannya terjaga sepenuhnya.

 

Dalam tidurnya, ia berada di sebuah desa yang dilanda hujan deras. Air menggenang hampir di setiap sudut jalan, membawa potongan kayu dan sampah-sampah lain yang terbawa arus. Suasana desa itu tampak suram, dengan cahaya yang hampir tak tembus melalui tirai hujan tebal. Di tengah kebisingan hujan, terdengar teriakan seorang wanita, memecah keheningan yang mencekam.

 

Kazuto berlari mengikuti suara itu, mencoba mencari sumbernya. Langkah kakinya terasa berat, seakan ada sesuatu yang menghalangi, namun ia terus maju. Bayangan-bayangan samar muncul di kejauhan, bergerak cepat seperti hantu yang tak dapat ditangkap oleh mata. Setiap kali ia mendekat, bayangan-bayangan itu menghilang begitu saja, seolah-olah bersembunyi di balik kabut hujan yang semakin tebal.

 

Teriakan wanita itu semakin keras, semakin melengking, seperti suara yang tertahan, penuh penderitaan. Dan saat ia mencoba mendekat, jeritan itu berubah menjadi sesuatu yang lebih menakutkan, memecah keheningan malam dengan keganasan yang membuat tubuh Kazuto membeku. Suara itu begitu mengerikan, begitu penuh rasa takut, sehingga ia terbangun dengan napas yang terengah-engah dan jantung yang berdebar kencang.

 

Di sekeliling kamar, hanya ada kegelapan dan cahaya redup dari lampu minyak yang berkelip pelan. Kazuto mengatur napasnya, berusaha menenangkan dirinya. Ia menoleh ke sekitar, memastikan bahwa ia masih berada di rumah kepala desa.

 

Suara hujan yang tak berhenti terdengar terus dari luar, sementara kilatan petir sesekali menyambar di langit, menerangi sejenak kegelapan.

 

Namun, meski ia tahu dirinya terbangun dari mimpi, sensasi dan ketakutan yang ditinggalkan oleh mimpi itu masih menghantuinya.

Suara jeritan wanita itu masih terngiang di telinga, dan perasaan tidak tenang itu terus menggantung di dalam dirinya, seperti ada sesuatu yang mengintai, menunggu untuk muncul dari kegelapan.

 

Informasi telah terungkap:

"Meskipun hujan deras sudah turun selama empat hari berturut-turut, anehnya desa ini tidak kebanjiran. Padahal, Desa in terletak di perbukitan yang biasanya membuat air hujan mengalir ke pantai, seolah-olah airnya menguap keatas."