Ervina dan Nindy pun mengajak Andi untuk bertemu di suatu tempat.
Ervina: "Kami ingin bertemu denganmu, Andi. Ada yang ingin kita bicarakan."
Andi: "Bertemu? Ada apa, Ern? Aku pikir kalian nggak akan ingin bertemu lagi."
Nindy: "Kami perlu bicara, Andi. Penting. Tolong datang ke tempat ini malam ini." (lokasi yang dirahasiakan)
Malam itu…
Andi datang ke tempat yang ditentukan, sebuah kafe kecil di pinggir kota.
Ervina: "Terima kasih sudah datang, Andi."
Nindy: "Kami butuh kejelasan. Kami nggak bisa terus terjebak dalam perasaan ini. Kami ingin tahu, apa yang kamu inginkan dari kami sebenarnya?"
Andi: "Aku hanya ingin kalian tetap ada di dekatku. Kalian tahu bagaimana rasanya... Aku ingin memiliki kalian."
Ervina: "Tapi kami nggak bisa terus terjebak dalam situasi ini, Andi. Kamu punya sesuatu yang nggak bisa kami lupakan, tapi itu juga menghancurkan kami. Kami ingin tahu, apa rencana kamu untuk kami?"
Andi: "Rencana aku… sederhana. Aku ingin kalian menjadi milikku. Aku nggak bisa membayangkan hidup tanpa kalian, tapi aku juga tahu, itu bukan sesuatu yang bisa kalian terima begitu saja."
Nindy: "Tapi apakah itu adil bagi kami? Kami juga ingin menjalani hidup yang normal, bukan terus terjebak dalam permainan ini. Kamu tahu, tubuh kami sudah berubah karenamu."
Ervina: "Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Andi? Kenapa harus kami? Apakah kami hanya jadi pelampiasan atau ada sesuatu yang lebih dalam yang kamu harapkan?"
Andi: "Aku nggak bisa menjawab semua pertanyaan kalian sekarang. Tapi satu hal yang aku tahu, aku nggak bisa kehilangan kalian. Aku nggak bisa membayangkan hidup tanpa kalian."
Nindy: "Jadi, ini semua tentang kepuasanmu? Kamu hanya ingin kami sebagai mainanmu?"
Ervina: "Kami ingin tahu, apakah ada sesuatu yang lebih dari ini? Atau ini hanya tentang kesenanganmu saja?"
Andi: "Bukan hanya kesenangan. Tapi… mungkin aku takut kehilangan kalian. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku hanya tahu, hidup tanpa kalian sangat menyakitkan."
Nindy: "Kami perlu waktu untuk memikirkan ini, Andi. Kami perlu tahu, apakah kamu benar-benar serius atau hanya sekadar meluapkan hasratmu."
Ervina: "Kami akan memberikan jawaban, tapi kami ingin kamu memberi kami kejelasan juga."
Andi: "Baik, ambil waktu kalian. Aku di sini jika kalian memutuskan untuk kembali."
Nindy dan Ervina meninggalkan kafe dengan hati yang bimbang, sementara Andi tetap duduk, memandang kosong, menunggu jawaban yang entah kapan akan datang.
Namun, satu minggu kemudian, rahim kedua wanita itu terasa meronta-ronta. Mereka merindukan Andi dan ingin sekali Rudal milik Andi kembali mengisi lubang mereka.
Ervina dan Nindy pun kembali berbicara di dalam kamar hotel.
Ervina: "Aku nggak bisa menyangkal lagi, Nindy. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang di dalam diriku."
Nindy: "Aku juga merasakannya, Ern. Aku butuh dia... butuh Andi."
Ervina: "Kita sudah berjanji untuk tidak terjebak dalam hal ini lagi, tapi... aku nggak bisa melawan perasaan ini. Rasanya seperti dia adalah satu-satunya yang bisa mengisi kekosongan ini."
Nindy: "Kita pernah berjanji nggak akan kembali ke dia, tapi... aku juga merasa sama, Ern. Dia sudah merubah kita, membuat kita seperti ini. Apa yang harus kita lakukan?"
Ervina: "Kita sudah bicara soal ini, Nindy, tapi... aku nggak tahu apa yang terjadi dengan kita. Rasanya kita butuh dia, meskipun itu menyakitkan."
Nindy: "Aku juga nggak tahu, Ern. Tapi tubuh ini... rasanya nggak bisa dipungkiri lagi. Aku butuh dia."
Ervina: "Kita pernah bilang nggak akan kembali, tapi... aku takut, Nindy. Takut kalau kita nggak bisa lepas dari dia."
Nindy: "Aku juga takut, Ern. Tapi rasanya kalau kita nggak mencoba, semuanya akan tetap terasa kosong."
Ervina: "Jadi, apa yang harus kita lakukan, Nindy? Haruskah kita menyerah pada perasaan ini dan mencoba lagi?"
Nindy: "Entahlah, Ern. Tapi aku nggak bisa memungkiri lagi. Aku butuh dia."
Nindy: "Bagaimana kalau kita telepon dia, Ern? Minta dia datang ke sini."
Ervina: "Telepon? Apa yang harus kita katakan? Kita sudah berjanji nggak akan menghubunginya lagi."
Nindy: "Tapi perasaan ini nggak bisa kita bohongi, Ern. Kita butuh dia."
Ervina: "Aku tahu. Aku juga butuh dia, Nindy. Tapi aku takut... aku takut kalau ini hanya akan memperburuk semuanya."
Nindy: "Aku juga takut, Ern. Tapi kalau kita nggak coba, kita akan terus merasa kosong seperti ini."
Ervina: "Baiklah, mungkin ini adalah keputusan terakhir kita. Aku akan telepon dia sekarang."
Nindy: "Aku akan lakukan itu. Kita butuh jawaban dari dia."
Keduanya saling menatap, ragu namun penuh harap, sebelum Nindy mulai menghubungi Andi.
Nindy: "Andi, kami benar-benar butuh kamu. Tolong datang ke sini, kita ada sesuatu yang perlu dibicarakan."
Andi: "Maaf, Nindy. Aku sibuk. Banyak skripsi yang harus aku kerjakan. Aku nggak bisa sekarang."
Nindy: "Tapi... kami sangat merindukanmu, Andi. Kami butuh kamu."
Andi: "Aku bilang sibuk, Nindy. Mungkin nanti, tapi bukan sekarang."
Nindy: "Andi, tolong. Hanya sebentar saja. Kami benar-benar merindukanmu."
Andi: "Aku nggak bisa, Nindy. Sebenarnya... aku udah nggak bisa terlalu lama berurusan dengan hal ini."
Nindy: "Andi, jangan gitu. Kami sangat membutuhkanmu."
Andi: "Aku udah bilang, Nindy. Nanti, bukan sekarang."
Andi akhirnya memutuskan panggilan, meninggalkan Nindy dengan rasa kecewa dan harapan yang mulai memudar.
Beberapa hari kemudian, kedua wanita itu yang sudah tidak sanggup menahan hasratnya, memutuskan untuk menemui Andi di perpustakaan. Setelah bertemu, Ervina dan Nindy langsung mendekatinya dengan penuh harap.
"Apakah ini benar-benar yang terakhir?" tanya Ervina dengan wajah penuh rindu.
Andi hanya tersenyum tipis, "Kalian tahu jawabannya."
Nindy menggenggam tangan Andi dengan lembut, "Kami tidak peduli. Kami hanya ingin berada di dekatmu sekali lagi."
Andi menghela napas, "Kalian tahu aku tidak bisa menolak kalian."
Dengan perasaan yang campur aduk, mereka semua melangkah masuk ke dalam perpustakaan, mempersiapkan diri untuk melanjutkan permainan yang telah lama mereka jalani.
Aku akan membantu kamu menyelesaikan skripsimu, goda Ervina.
Sementara tangan Nindy sudah meremas rudal milik Andi, yang tersembunyi di balik meja.
Andi hanya bisa tersenyum sambil menikmati perlakuan kedua wanita itu. Dia tidak bisa menolak godaan mereka yang begitu menggoda. Nindy terus menggenggam erat rudalnya, sementara Ervina mulai merangkak ke bawah meja, menatap Andi dengan mata penuh hasrat.
"Apakah kamu masih fokus dengan skripsimu?" bisik Ervina sambil melangkah lebih dekat.
Andi hanya mengangguk, meski dia tahu tubuhnya sudah dipenuhi nafsu yang tak terbendung. Tangan Nindy dengan lincah mulai membuka celananya, sementara Ervina mengulum kepala rudal Andi dengan penuh gairah.
Andi merasakan sensasi yang begitu kuat, tubuhnya menggeliat tak terkendali. Dia lalu menekan meja dengan satu tangan, sementara tangan lainnya memegang kepala Ervina, mendorongnya lebih dalam.
"Rasanya kamu sudah sangat basah, Ervina," bisik Andi dengan suara penuh nafsu.
Ervina hanya mengangguk, sambil terus memainkan lidahnya, menikmati setiap detik bersama Andi dan Nindy. Sementara Nindy yang terus meremas rudal Andi semakin mempercepat gerakannya, membuat suasana semakin panas.
Tak lama kemudian, Andi pun melepaskan cairan hangatnya di dalam Ervina dan Nindy secara bergantian, sementara kedua wanita itu tergeletak lemah dalam pelukannya, tak sanggup menahan kenikmatan yang baru saja mereka rasakan.
Kedua wanita itu menelan cairan hangat milik Andi yang memenuhi mulutnya.
"Sekarang, apakah kalian berdua sudah puas?" tanya Andi dengan senyuman penuh kemenangan.
Ervina dan Nindy saling berpandangan, lalu mengangguk lemah. "Ya, kami sudah puas," jawab Ervina pelan.
Andi tersenyum puas, melihat kedua wanita itu yang tampak lemah namun penuh gairah. "Baik, kalau begitu kita akan lihat apakah tawaran yang aku berikan dulu masih berlaku," bisik Andi penuh arti.
Ervina dan Nindy saling berpandangan lagi, mengingat kembali tawaran Andi sebelumnya. Meskipun mereka tak bisa melupakan kenikmatan yang baru saja mereka rasakan, ada keraguan di mata mereka.
"Apakah kita harus benar-benar menerima tawaran itu?" tanya Nindy ragu.
Ervina menarik napas dalam-dalam, "Mungkin... kita tidak punya pilihan lain," jawabnya lirih.
Andi menatap mereka dengan penuh percaya diri. "Kalau begitu, aku harap kalian berdua bersedia untuk menjadi bagian dari hidupku," ucap Andi sambil tersenyum misterius.
Keduanya hanya bisa mengangguk, meskipun masih ada pertanyaan dalam hati mereka.