Chereads / Streamer Secret / Chapter 42 - Bab 42

Chapter 42 - Bab 42

"Sayang,aku ingin nonton hari ini." Ucap Ervina mengajak Andi.

Andi tersenyum mendengar ajakan Ervina. "Nonton apa?" tanyanya sambil memandang wanita yang kini duduk di pangkuannya.

"Entahlah, mungkin film atau sesuatu yang menarik," jawab Ervina sambil menatap Andi dengan penuh hasrat.

Mereka duduk berdampingan di kursi bioskop, Ervina merangkul Andi dengan mesra. Sesekali, dia memegang tangan Andi dan menyandarkan kepalanya di bahunya. Andi menikmati setiap momen itu, merasakan kedekatan dan kehangatan dari wanita yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya.

Selama film berlangsung, Ervina tak lepas dari manja dan perhatian. Dia sering melirik Andi dengan senyum penuh hasrat, seakan-akan hanya Andi yang ada dalam pikirannya. Andi membalas setiap sentuhan dan tatapan itu dengan senyuman lembut, membiarkan dirinya hanyut dalam kedekatan yang mereka ciptakan.

Setiap kali tangan Ervina menggesek lembut tubuh Andi atau dia mengerlingkan mata dengan penuh godaan, Andi tahu bahwa malam itu akan menjadi lebih dari sekadar nonton film di bioskop. Mereka telah menjalin koneksi yang jauh melampaui kata-kata, dan Andi tidak bisa menolak pesona dan kehangatan yang Ervina berikan.

Bahkan saat Andi mengantarkannya pulang, Ervina langsung menahannya.

Memaksa Andi untuk tidur di kamarnya.

Andi yang tak mampu menolak permintaan Ervina, akhirnya mengikuti wanita itu masuk ke dalam kamar. Begitu mereka sampai di atas ranjang, Ervina memeluk Andi dengan penuh kehangatan, matanya penuh dengan hasrat yang tak terbendung.

"Andi, aku ingin merasakanmu lagi," bisiknya lembut di telinga Andi, sambil menggenggam tangannya erat.

Andi menatapnya sejenak, lalu dengan lembut menarik tubuh Ervina ke dalam pelukannya. "Kita sudah terlalu sering melakukannya, Ervina," jawab Andi, meski suaranya terdengar penuh gairah.

"Apakah kau tidak menyukai apa yang kita lakukan?" tanya Ervina sambil mengangkat dagunya dengan penuh keyakinan.

Andi menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. "Aku tidak bisa menolakmu, Ervina. Tapi, aku ingin sesuatu yang lebih."

Ervina tersenyum lembut, menggenggam wajah Andi dengan kedua tangannya. "Aku ingin bersamamu, Andi. Selamanya."

Andi tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Mereka pun kembali terjebak dalam gelora hasrat yang menguasai malam itu.

Seiring berjalannya waktu, Ervina semakin dalam mencintai Andi. Dia seolah melupakan bahwa selama ini, dirinya adalah seorang lesbian. Setiap kenangan tentang Andi menggantikan ingatan masa lalunya, dan tubuhnya hanya menginginkan sentuhan pria itu.

Sampai suatu malam, saat mereka berdua tengah terbaring dalam keheningan, Ervina mengalihkan pandangannya pada Andi dengan tatapan penuh cinta.

"Maafkan aku, Andi," bisiknya lembut. "Aku dulu berpikir aku hanya bisa mencintai wanita, tapi sekarang aku tahu itu salah."

Andi memeluknya dengan lembut, menatap matanya dalam-dalam. "Kamu tidak perlu meminta maaf, Ervina. Aku hanya ingin melihatmu bahagia."

Ervina mengeratkan pelukannya, mengisi hati dan tubuhnya dengan rasa cinta yang begitu dalam untuk Andi. Dia menyadari bahwa di sisi Andi, hidupnya penuh makna dan kepuasan. Kini, dia tidak lagi mengenal perasaan lain selain cinta yang hanya dimilikinya untuk pria itu.

Namun, di saat Andi sendirian di tengah malam, pikirannya kembali melayang pada sosok Marisa. Kenangan tentang wanita itu masih tersimpan di sudut hatinya, meski dia tahu semuanya sudah berakhir.

Andi menghela napas panjang, memandang ke arah jendela kamar yang gelap. "Marisa..." gumamnya lirih, mengingat senyumnya, suara tawanya, dan momen-momen saat mereka masih bersama.

Dia meraih ponselnya, membuka galeri, dan melihat foto-foto lama mereka. Salah satu foto menampilkan Marisa dengan tatapan lembut yang dulu begitu menghangatkannya. Tapi kini, hanya ada rasa hampa di dalam dirinya.

"Apa kabar kamu sekarang? Masihkah kamu memikirkan aku, meski hanya sesaat?" Andi berbicara pada dirinya sendiri, suaranya penuh dengan kerinduan yang terpendam.

Dia mencoba untuk fokus pada kehidupannya sekarang bersama Ervina, tetapi hati kecilnya tidak bisa sepenuhnya melupakan Marisa. Bagi Andi, Marisa adalah bagian dari masa lalunya yang indah namun menyakitkan. Dia sadar, melupakan bukanlah hal mudah, tetapi dia juga tahu bahwa hidup harus terus berjalan.

Andi, yang rasa penasarannya terhadap Marisa semakin membesar, memutuskan untuk mempelajari cara meretas CCTV dari sebuah forum di internet. Selama beberapa malam, dia menghabiskan waktu di depan laptopnya, membaca panduan dan berdiskusi dengan para peretas anonim yang berbagi trik mereka secara online.

"Kalau aku bisa melihat apa yang terjadi di rumah Marisa, mungkin aku akan tahu apakah dia baik-baik saja... atau siapa pria yang sekarang bersamanya," pikir Andi sambil mengetik dengan tekun.

Setelah beberapa hari mencoba, akhirnya Andi berhasil menemukan celah keamanan pada jaringan CCTV di sekitar rumah Marisa. Dia membuka layar laptopnya dengan jantung berdebar, menunggu tampilan kamera yang dia akses muncul.

"Gotcha," ucap Andi pelan ketika layar memperlihatkan ruang tamu rumah Marisa. Namun, pemandangan yang dia lihat membuatnya tertegun.

Marisa tampak duduk di sofa, tertawa bersama seorang pria yang tidak dikenalnya. Pria itu mendekat dan merangkul bahunya dengan santai, membuat Andi merasakan sesuatu mencubit hatinya.

"Apa dia sudah benar-benar melupakanku?" gumam Andi dengan nada getir.

Andi terus mengamati layar itu, mencoba mencari tahu lebih banyak. Namun, di saat yang sama, dia juga merasa bersalah atas tindakannya. Dia tahu bahwa meretas CCTV adalah hal yang salah, tetapi rasa rindunya pada Marisa membuatnya kehilangan kendali.

Setelah beberapa saat, dia menutup laptopnya dengan kasar. "Aku harus berhenti... Ini bukan cara yang benar." Tapi dalam hatinya, dia tahu bahwa perasaan terhadap Marisa belum benar-benar hilang, dan konflik batin itu semakin membuatnya terjebak dalam dilema.

Beberapa hari kemudian, rasa penasaran Andi kembali memuncak. Dia menyalakan laptopnya larut malam, mengakses CCTV rumah Marisa. Kali ini, apa yang dilihatnya membuatnya terkejut.

Di layar, Marisa tampak duduk di ruang tamu sambil menangis, air matanya tak berhenti mengalir. Laras, ibu tirinya, berdiri tak jauh dari sana, berbicara serius dengan seorang pria yang tampak seperti suaminya. Namun, yang membuat Andi benar-benar murka adalah kehadiran seorang pria paruh baya berpakaian formal—ayah kandung Marisa.

Andi menyalakan volume untuk mencoba mendengar percakapan mereka.

"Laras, aku mohon, tolong hentikan ini," suara Marisa terdengar parau karena tangis.

"Tidak ada yang bisa aku lakukan, Marisa," jawab Laras dengan nada dingin. "Ayahmu sudah memutuskan. Kau tahu kondisi keluarga kita."

"Aku tidak peduli dengan itu!" Marisa membalas dengan suara gemetar. "Dia mau menjualmu kepada pengusaha kaya itu! Kau istrinya!"

Sang ayah mengangkat tangan, menghentikan argumen itu. "Cukup, Marisa! Laras tahu apa yang terbaik untuk keluarga ini."

"Tapi, Ayah!" teriak Marisa, berdiri dari tempat duduknya. "Laras sudah berkorban terlalu banyak untuk keluarga ini! Kau tidak bisa terus menjadikannya alat untuk melunasi utang-utangmu!"

"Diam, Marisa!" Ayahnya membentak, suaranya menggema di ruangan itu. "Kau masih terlalu muda untuk mengerti. Laras tahu tanggung jawabnya sebagai istri."

Andi mengepalkan tangannya di atas meja. "Jadi pria itu mau menjual ibu tiri Marisa kepada pengusaha kaya?" pikirnya dengan amarah yang berkobar.

Di layar, Laras menunduk, tidak berkata apa-apa, sementara Marisa terus memohon. "Kita bisa mencari jalan lain, Ayah... Tolong hentikan ini!"

Namun, sang ayah tidak menggubris. Andi mematikan layar, duduk terdiam beberapa saat dengan rahang mengeras. Otaknya bekerja cepat, mencoba memikirkan apa yang harus dilakukan.

"Apakah aku harus ikut campur? Kalau iya, bagaimana caranya?" pikir Andi, kebingungan.

Namun, membiarkan hal ini terjadi bukanlah sesuatu yang bisa diterima oleh hati nuraninya. Andi meraih ponselnya dan mulai mencari informasi tentang pengusaha yang disebutkan itu. Meskipun ini adalah langkah berbahaya, dia tahu dirinya harus menyelamatkan Laras dan Marisa dari situasi mengerikan ini.