Melihat adegan yang muncul di layar laptopnya, Andi terkejut dan marah. Dia tak percaya apa yang sedang dilihatnya. Di kamar tidur mewah itu, Laras terlihat terikat dengan tali di sudut ranjang. Wajahnya penuh ketakutan, sementara sang ayah berdiri di dekatnya, memegang cambuk kecil. Laras hanya mengenakan pakaian minim yang sobek di beberapa bagian, tubuhnya jelas menunjukkan bekas-bekas luka akibat cambukan.
"Jadi ini yang kau lakukan selama ini, dasar brengsek!" gumam Andi dengan suara penuh amarah.
Andi mendengar suara sang ayah dari rekaman CCTV tersebut.
"Jangan melawan, Laras. Kau tahu tugasmu di rumah ini. Kau ada di sini untuk melayani aku," ucap pria itu dengan nada dingin, lalu dia mengayunkan cambuknya ke punggung Laras, membuat wanita itu meringis kesakitan.
"Aku sudah melakukan segalanya untuk keluarga ini," jawab Laras dengan suara lemah. "Tapi tolong, hentikan ini."
Namun, pria itu hanya tertawa sinis. "Kau pikir aku peduli? Kau hanya alat bagiku. Alat untuk memuaskan hasratku dan menyelesaikan masalah keuangan keluarga."
Andi mengepalkan tangannya dengan kuat. "Dia memperlakukan Laras seperti ini... dan Marisa pasti tahu semuanya," pikirnya, merasa semakin geram.
Laras terlihat menangis pelan, matanya kosong, seolah sudah menyerah pada nasibnya. Namun, Andi tahu bahwa jauh di dalam hatinya, wanita itu pasti ingin keluar dari neraka ini.
Andi mematikan layar dengan rahang mengeras. "Aku tidak bisa membiarkan ini berlanjut. Laras tidak pantas diperlakukan seperti itu, dan Marisa... dia pasti hancur melihat ibunya seperti ini," ucap Andi kepada dirinya sendiri.
Dengan tekad yang bulat, Andi mulai mencari cara untuk menyelamatkan Laras dan Marisa dari pria biadab itu. Dia tahu ini bukanlah hal yang mudah, tetapi dia tidak peduli. Dia akan melakukan apa saja untuk menghentikan kejahatan ini, meskipun itu berarti harus melibatkan dirinya lebih jauh ke dalam bahaya.
Andi mulai memikirkan beberapa cara berbahaya untuk menyelamatkan kedua wanita itu. Keesokan harinya, dia membeli beberapa alat dari dark web: obat bius yang dioleskan pada sapu tangan, obat perangsang, obat tidur, dan sebuah senjata api. Dia telah menghabiskan seluruh tabungannya untuk membeli semua benda tersebut.
Pria itu adalah ayah kandung Marisa sekaligus suami Laras, ibu tirinya. Andi merasa muak setiap kali melihat rekaman CCTV yang menunjukkan kekejaman pria itu. Laras diperlakukan seperti budak, sementara Marisa hanya bisa menangis di sudut, tak berdaya.
"Aku tidak bisa membiarkan ini terus terjadi," gumam Andi sambil menyusun rencana. Dia tahu risikonya besar, tetapi ini adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri penderitaan mereka.
Keesokan malamnya, Andi duduk di depan laptopnya, memantau aktivitas di rumah Marisa melalui CCTV. Dia mencatat waktu-waktu ketika pria itu berada di kamar dan kapan Laras atau Marisa dibiarkan sendirian. Setelah yakin dengan jadwal rutin di rumah itu, Andi memutuskan untuk bergerak malam itu juga.
Dengan membawa tas berisi peralatan yang telah dia beli, Andi menuju rumah Marisa. Hatinya berdebar kencang, tetapi tekadnya sudah bulat. Dia mengetuk pintu perlahan, dan seperti yang dia harapkan, Laras yang membukakan pintu.
"Andi? Kamu? Malam-malam begini, ada apa?" tanya Laras, suaranya terdengar lelah namun waspada.
"Aku hanya ingin memastikan Marisa baik-baik saja," jawab Andi, mencoba terdengar tenang. "Boleh aku masuk sebentar?"
Laras ragu sejenak sebelum mengizinkannya masuk. "Dia ada di kamarnya. Ayahmu?" tanya Andi, suaranya berbisik.
"Dia di kamar, seperti biasa," jawab Laras pelan sambil menunduk.
Andi mengangguk, lalu menarik napas dalam-dalam. Dia tahu waktunya sudah tiba untuk bertindak. "Maafkan aku, Laras," bisik Andi sebelum menutup mulut dan hidung wanita itu dengan sapu tangan yang telah dibasahi obat bius.
Laras sempat berontak, tetapi efek obat bekerja cepat. Dia terkulai lemah, dan Andi dengan hati-hati membaringkannya di sofa. "Aku akan membebaskan kalian dari neraka ini," gumam Andi dengan penuh tekad.
Kini, dia harus menghadapi pria itu. Dengan senjata api di tangannya, Andi mulai menaiki tangga menuju kamar ayah Marisa, langkahnya perlahan namun penuh keyakinan.
Andi menarik napas panjang sebelum memasuki kamar dengan topeng menutupi wajahnya. Di dalam, dia segera mendekati pria yang menjadi sumber penderitaan Marisa dan Laras. Dengan cekatan, Andi melumpuhkannya menggunakan obat bius dan mengikatnya pada sebuah kursi di sudut kamar. Pria itu mulai sadar beberapa menit kemudian, mengerang sambil mencoba melepaskan diri dari ikatan.
"Siapa kau? Apa yang kau lakukan di sini?!" bentak pria itu dengan suara penuh amarah.
Andi tidak menjawab. Dia hanya menatap pria itu dengan mata tajam yang terlihat dari balik topeng, memastikan rasa takut mulai merasuk ke dalam dirinya.
Setelah memastikan pria itu tak bisa bergerak, Andi keluar untuk membawa Laras yang masih setengah sadar akibat obat bius. Dia menuntunnya masuk ke dalam kamar dan membiarkannya duduk di tepi ranjang. Andi melepas topengnya untuk berbicara langsung dengan Laras.
"Laras, dengarkan aku," ucap Andi dengan nada lembut namun tegas. "Aku di sini untuk membebaskanmu dan Marisa. Kau tidak perlu takut lagi."
Laras menatap Andi dengan bingung, matanya berkaca-kaca. "Apa yang kau lakukan, Andi? Kalau dia tahu, kita akan habis!"
"Aku sudah tahu risiko ini," balas Andi sambil mengusap bahu Laras, mencoba menenangkannya. "Aku tidak bisa hanya diam dan membiarkan kalian terus disiksa. Ini sudah berakhir."
Andi berbalik menghadapi pria yang terikat di kursi, tatapannya kembali tajam. "Lihat ini," ucap Andi sambil menarik Laras lebih dekat padanya. Dia mencium Laras dengan penuh gairah tepat di depan mata pria itu, memastikan setiap detik momen itu tertanam dalam benak orang yang selama ini memperlakukan Laras sebagai budak.
Pria itu menggeram marah, berusaha meronta dari ikatan. "Beraninya kau! Aku akan membunuhmu, dasar bajingan!"
Andi melepas ciumannya dan menatap pria itu dengan senyum dingin. "Kau tidak akan pernah menyentuhnya lagi. Mulai hari ini, Laras adalah milikku, begitu juga dengan Marisa. Kau sudah kehilangan hakmu atas mereka."
Laras terkejut mendengar kata-kata itu, tetapi ada sedikit rasa lega di matanya. Andi tahu dia harus segera membawa mereka keluar dari rumah ini, tetapi dia ingin pria itu merasakan kekalahan terlebih dahulu.
Andi mendekati pria itu, menatapnya tepat di mata. "Kau akan membayar untuk semua yang telah kau lakukan. Tapi untuk saat ini, nikmati saja rasa tidak berdayamu."
Andi menatap Laras dengan intensitas yang lembut namun penuh kendali. Dia mengeluarkan sebuah botol kecil dari kantongnya, cairan di dalamnya berwarna bening. "Laras, kau perlu sedikit tenang," bisiknya sambil mencampurkan obat perangsang itu ke dalam segelas air yang sudah ia siapkan sebelumnya.
Laras, yang masih dalam kondisi bingung dan lelah, menerima gelas itu tanpa banyak pertanyaan. Setelah meneguknya, dia merasakan tubuhnya mulai memanas, dadanya berdebar lebih cepat, dan pikiran yang tadinya dipenuhi rasa takut mulai menghilang.
"Apa ini, Andi? Kenapa aku merasa aneh..." Laras menatap Andi dengan mata yang perlahan berubah, bukan lagi takut, melainkan mulai dipenuhi rasa ingin.
Andi mendekati Laras, menyentuh wajahnya dengan lembut. "Kau hanya perlu rileks. Percayalah padaku," bisiknya sambil membelai pipinya.
Laras mulai kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Tubuhnya mendekat ke Andi tanpa ia sadari, dan tangannya mulai meraih kemeja Andi, membuka kancingnya satu per satu. "Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa ingin lebih dekat denganmu, Andi..." suaranya terdengar manja, hampir memohon.
Di sudut ruangan, pria yang terikat di kursi itu berteriak penuh kemarahan. "Apa yang kau lakukan pada Laras, dasar binatang! Jangan sentuh dia!"
Andi menoleh sekilas, senyum sinis terpampang di wajahnya. "Kau tidak lagi memiliki hak untuk berbicara tentang Laras. Dia bukan milikmu lagi."
Dia kemudian kembali fokus pada Laras, yang kini menatapnya dengan penuh gairah. "Laras, ini adalah keputusanmu. Jika kau ingin berhenti, aku akan berhenti. Tapi jika tidak, aku akan membuatmu melupakan semua rasa sakit yang pernah kau alami," ucap Andi dengan nada yang dalam dan menggoda.
Laras tidak menjawab dengan kata-kata, tetapi tangannya yang kini melingkar di leher Andi adalah jawaban yang cukup jelas. Andi menundukkan wajahnya, mencium Laras dengan penuh kelembutan sekaligus mendalam, sementara pria di kursi hanya bisa menyaksikan dengan penuh rasa frustrasi dan tak berdaya.