Chereads / Streamer Secret / Chapter 36 - Bab 36

Chapter 36 - Bab 36

Tak lama kemudian, pintu kamar kembali terbuka. Seorang wanita berumur 25 tahun melangkah masuk dengan langkah tegas. Namanya Nindhy. Tubuhnya yang proporsional dan ramping terlihat menggoda dengan payudara berukuran 36B yang menonjol di balik pakaian ketat yang dikenakannya.

Nindhy memperhatikan kondisi Ervina yang terbaring lemas di ranjang, matanya penuh tanda tanya. Wajahnya yang cantik dan elegan tampak tegang saat dia melihat Andi yang masih berdiri di sana, tatapannya dingin dan penuh misteri.

"Ervina, apa yang terjadi?" Nindhy bertanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan kepanikan yang mulai menyergap.

Andi tak menghiraukan pertanyaan itu. Dia tetap berdiri dengan tenang, seolah tidak terpengaruh oleh situasi di sekelilingnya.

Nindhy menatap Andi tajam, mencoba memahami siapa pria yang begitu santai di tengah kekacauan ini.

"Siapa kamu?" tanya Nindhy dengan suara penuh ketegasan, matanya memandang Andi dengan penuh curiga.

Andi tetap diam, tak memberikan jawaban. Dia hanya memandang Nindhy dengan tatapan kosong, seperti tidak peduli dengan pertanyaan yang diajukan.

"Ervina sudah selesai di sini," ucap Andi dengan suara datar.

Sekarang giliranmu," ucap Andi dengan suara penuh keyakinan, sambil meraih tubuh Nindhy dan merobek pakaiannya dengan kasar. Pandangannya menelusuri lekuk tubuh Nindhy yang ramping dan proporsional, terutama payudaranya yang besar dan menggoda.

"Wah, kamu punya payudara yang besar," Andi berkata dengan nada menggoda, sambil mengamati Nindhy yang tampak bingung namun tetap berdiri tegar.

Nindhy melirik Andi dengan tatapan penuh ketegasan, namun matanya juga menunjukkan ketidakseimbangan emosi. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi sesuatu dalam dirinya seolah memberontak terhadap situasi ini.

"Tunggu," ucap Nindhy dengan suara lembut namun penuh tekad, "Apa yang sebenarnya kamu inginkan?"

Andi mendekatinya dengan senyum penuh misteri. "Hanya sesuatu yang seharusnya kamu berikan," balas Andi sambil mulai menggenggam payudara Nindhy dengan penuh kepercayaan diri.

Nindhy menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan diri, tapi rasa takut dan gelisah tidak bisa disembunyikan. Namun, tubuhnya terasa lemas, seakan tak berdaya melawan hasrat yang mulai membara di dalam dirinya.

Pada akhirnya, meskipun Nindhy berusaha melawan, usahanya sia-sia. Andi dengan penuh keyakinan berhasil melepas semua pakaian Nindhy dengan cepat dan tanpa belas kasih. Tubuh Nindhy yang indah, meski berjuang melawan, tetap tak mampu menahan kendali Andi yang semakin kuat dan penuh nafsu.

"Nah, sekarang kita mulai," ucap Andi dengan senyum penuh kepastian, sambil memperhatikan tubuh Nindhy yang tergeletak di hadapannya.

Nindhy menatapnya dengan mata penuh perlawanan, namun gairah dan ketegangan di udara membuatnya kehilangan kekuatan untuk melawan. Andi kemudian mulai mendekatinya, mengangkat wajah Nindhy, dan menciumnya lembut, seolah menunggu persetujuan yang tak kunjung datang.

"Jangan melawan, Nindhy," bisiknya lembut di telinganya. "Kita semua di sini sudah ditakdirkan untuk saling menerima."

Nindhy menggigil, namun dia tahu bahwa melawan bukanlah pilihan. Matanya mulai memancarkan air mata, seiring dengan hasrat yang semakin dalam merasuk ke dalam tubuhnya.

Andi terus menghantam lubang Nindhy dengan gerakan yang kencang dan penuh nafsu. Suara gesekan kulit beradu dan desahan nafas Nindhy yang terdengar semakin membuat atmosfer di ruangan itu penuh dengan gairah.

"Ah, meskipun lubangmu lebih longgar dari Ervina, tapi tubuhmu sangat seksi," ucap Andi sambil menciumi dan mengisap payudara Nindhy dengan penuh nafsu.

Nindhy hanya bisa terisak perlahan, matanya terpejam menikmati rangsangan yang tak terelakkan, meski ada ketegangan yang masih tertinggal di hatinya.

Sementara Ervina, yang masih berdiri di samping mereka dalam keadaan telanjang, hanya bisa menyaksikan dengan tatapan kosong. Tubuhnya bergetar, tidak mampu berbuat apa-apa selain menyaksikan saat Andi menikmati Nindhy yang telah berada dalam cengkeramannya. Rasa cemburu dan rasa sakit menghinggapi Ervina, tetapi dia tahu bahwa semuanya sudah tak mungkin lagi untuk dilawan.

Andi yang menyadari keadaan itu, dengan penuh nafsu langsung mengangkat tubuh Nindhy dan meletakkannya di atas tubuh Ervina. Kini, Andi berdiri di tengah, menikmati pemandangan kedua wanita itu dalam kondisi saling bertumpu.

Dia mulai menghantam lubang Nindhy dengan gerakan yang semakin dalam, sementara pandangannya tak lepas dari ekspresi terkejut dan bergelora di wajah Ervina. Andi bisa merasakan bagaimana kedua wanita itu meremas dirinya dengan cara yang berbeda, tetapi sama-sama panas dan menggoda.

"Ah, tubuh kalian berdua begitu indah, seperti dua cipratan nafsu yang tak pernah berhenti," goda Andi, suara gemuruh desahan nafas kedua wanita itu semakin terdengar jelas.

Tubuh Nindhy bergoyang di atas tubuh Ervina, sementara Ervina hanya bisa memejamkan mata, merasakan sensasi yang tak terbayangkan sebelumnya. Andi terus mengalihkan perhatiannya antara kedua wanita itu, menikmati bagaimana sensasi berbeda dari lubang mereka yang saling bergantian.

Suara erangan dan desahan semakin mengisi ruangan, menciptakan atmosfer yang sulit untuk dilupakan oleh siapa pun yang hadir di sana.

Ketika Andi akhirnya menyelesaikan semuanya, kedua wanita itu tergeletak lemas di dalam pelukannya, masih dengan napas yang terengah-engah. Andi menatap mereka dengan senyuman penuh keyakinan, seolah-olah telah menemukan jawaban yang dia cari.

"Aku akan memberikan kalian tawaran," ucap Andi, suaranya tenang namun penuh kepastian. "Jika kalian menjadi istriku, kalian berdua masih bisa melanjutkan hubungan kalian. Jeruk makan jeruk bukan?"

Ervina dan Nindhy saling bertatapan, wajah mereka masih memerah, terpenuhi oleh kenangan yang baru saja terjadi. Andi menunggu jawaban mereka dengan penuh keyakinan bahwa mereka akan memilih mengikuti keinginannya.

Ervina dan Nindhy saling bertatapan sejenak, lalu kembali menatap Andi dengan wajah yang masih penuh kebingungan dan ketidakpastian.

Setelah beberapa detik yang tegang, Ervina membuka mulutnya dengan suara yang masih gemetar. "Kami... butuh waktu untuk memikirkannya."

Nindhy mengangguk kecil, meski matanya tampak ragu. "Iya, kami perlu waktu."

Andi hanya tersenyum kecil, lalu menarik kedua wanita itu lebih dekat. "Baik, ambil waktu kalian. Tapi kalian tahu, aku tidak akan menunggu selamanya."

Dia menatap mereka dengan tajam, seolah memberi peringatan bahwa keputusan mereka kini bergantung pada jalan hidup yang sudah diambil.

Waktu berlalu selama satu minggu, namun kedua wanita itu tak pernah lagi bertemu dengan Andi. Rasanya seperti ada jarak tak terhingga yang mengalir di antara mereka.

Ervina dan Nindhy masing-masing menjalani hidup mereka dengan perasaan yang membingungkan. Meski telah menjelajahi tubuh Andi yang tak terlupakan, mereka tak bisa melupakan lubang yang kini terasa berbeda – terasa lebih lebar, lebih dalam, seakan telah terukir oleh jejak Rudal Andi. Bahkan mainan karet yang biasa mereka gunakan tak lagi memberikan sensasi yang sama, tak bisa menggantikan kenikmatan yang telah Andi berikan.

Keduanya mulai menyadari bahwa tubuh mereka telah berubah – bukan hanya secara fisik, tetapi juga dalam cara mereka merasakan kepuasan. Namun, tak ada cara untuk kembali. Mereka telah kehilangan sesuatu yang tak mungkin bisa digantikan.

Ervina: (meremas rambutnya, duduk di tepi ranjang) "Aku nggak tahu harus gimana, Nindy. Seminggu sudah berlalu, tapi kenangan itu masih aja menghantui aku. Aku... aku masih nggak bisa melupakan apa yang terjadi."

Nindy: (berdiri di dekat jendela, memandang jauh ke luar) "Aku juga, Ern. Setiap kali aku berpikir tentang Andi, tubuhku seperti... seperti masih merasakan dia di dalamku. Rasanya aneh, nggak bisa dijelaskan. Tapi tawaran itu, Ern... aku masih bingung. Apa maksudnya sebenarnya?"

Ervina: (berdiri, berjalan mendekati Nindy) "Tawaran yang dia berikan... jadi istri dia, kita bisa tetap bersama. Tapi rasanya nggak mungkin, Nindy. Aku nggak mau menyerahkan diriku seperti itu. Tapi, ada sesuatu yang terasa berbeda, sesuatu yang nggak bisa aku jelaskan."

Nindy: (menoleh, melihat Ervina dengan wajah kosong) "Aku juga merasa begitu, Ern. Lubang kita... Rasanya seperti udah nggak bisa lagi dipenuhi oleh hal-hal yang biasa. Aku mulai berpikir, apa mungkin kita memang sudah terlalu dalam terlibat sama dia? Apakah dia punya sesuatu yang nggak bisa kita dapat dari siapa pun lagi?"

Ervina: (menghela napas) "Aku nggak tahu, Nindy. Tapi aku takut, seiring berjalannya waktu, perasaan ini akan terus menghantui kita. Aku takut kalau kita nggak bisa menemukan kebahagiaan yang dulu lagi."

Nindy: (berbalik, menatap Ervina) "Tapi bagaimana kalau dia benar, Ern? Bagaimana kalau memang kita hanya bisa merasa seperti ini jika terus bersamanya? Aku takut kita akan kehilangan sesuatu yang mungkin nggak bisa kita temukan lagi."

Ervina: (menunduk) "Aku juga takut, Nindy. Takut kalau kita terus terjebak dalam perasaan ini, tapi nggak ada jalan keluar yang jelas. Aku nggak tahu apa yang harus kita lakukan."

Nindy: (mendekati Ervina) "Mungkin, kita harus mencoba menghadapinya, Ern. Mungkin kita memang nggak bisa lari dari ini. Tapi satu hal yang pasti, tubuh kita sudah berubah, dan kita nggak bisa kembali ke masa lalu."

Ervina: (mengangguk) "Mungkin kamu benar, Nindy. Kita harus menemukan jalan keluar, entah bagaimana caranya. Tapi, apakah kita siap untuk melangkah ke depan dengan perasaan seperti ini?"

Nindy: (tersenyum lemah) "Kita hanya bisa mencoba, Ern. Mungkin jalan kita akan lebih jelas kalau kita berhenti meragu."