Andi tersenyum nakal sambil menatap wajah Ervina yang mulai memerah. Dia bisa merasakan betapa sempit dan hangatnya lubang itu, membuat setiap gerakan terasa begitu intens. Ervina menggigit bibirnya, mencoba menahan suara yang hampir keluar dari mulutnya.
"Jangan malu untuk bersuara, Ervina," goda Andi sambil mulai menggerakkan pinggulnya perlahan. "Lihat, tubuhmu sudah menerimaku sepenuhnya."
Ervina mencoba memalingkan wajahnya, tetapi tubuhnya yang gemetar tidak bisa menyembunyikan perasaan nikmat yang mulai menjalar. "Ah... pelan-pelan, Andi. Rasanya... terlalu besar," pintanya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Andi tertawa kecil, lalu membungkuk untuk mencium lehernya. "Kalau kamu terus memintaku pelan-pelan, aku tidak akan bisa menahan diri," bisiknya sambil mempercepat gerakannya sedikit.
Lubang Ervina yang ketat semakin meremas Rudal Andi, menciptakan sensasi yang luar biasa untuk keduanya. Setiap dorongan membuat Ervina semakin mendesah keras, tak mampu lagi menahan suaranya.
"Ah... aku belum pernah merasakan seperti ini," ucap Ervina dengan napas terputus-putus. "Tubuhku terasa terbakar, Andi."
Andi memegang pinggul Ervina dengan erat, menuntunnya untuk bergerak sesuai ritme yang dia buat. "Aku akan memastikan kamu merasakan semuanya, Ervina. Mulai dari sekarang, tubuhmu adalah milikku," ucapnya sambil terus menghantamkan Rudalnya dengan penuh gairah.
Hingga akhirnya, suara keduanya memenuhi ruangan itu, menyatu dalam harmoni yang tak terlukiskan.
"Sayang sekali, kamu kehilangan perawanmu hanya dengan mainan karet. Seandainya kamu memberikan pada ku, mungkin akan lebih nikmat," goda Andi sambil tersenyum sinis, matanya menatap tajam ke arah Ervina.
Ervina menundukkan wajahnya, wajahnya memerah mendengar ucapan Andi. "Aku... aku tidak pernah berpikir akan seperti ini," jawabnya pelan, suaranya penuh rasa malu.
Andi mendekatkan wajahnya ke telinga Ervina, membisikkan sesuatu dengan nada lembut tapi menggoda. "Tapi sekarang, aku akan memastikan kamu merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar mainan. Ini akan menjadi pengalaman yang tidak pernah kamu lupakan."
Ervina hanya bisa mengangguk kecil, tubuhnya gemetar di bawah tatapan penuh gairah Andi. "Jangan buat aku menunggu terlalu lama, Andi," katanya dengan nada lembut, tapi matanya berbinar, menyiratkan keinginan yang mulai membara.
Tanpa menunggu lebih lama, Andi mulai menggerakkan tubuhnya, membimbing Ervina untuk merasakan setiap sensasi yang dia berikan. Dengan tangan yang kuat, Andi memegang pinggang Ervina, mengarahkannya dengan lembut tapi penuh otoritas.
"Rasakan ini," bisik Andi, menggerakkan pinggulnya perlahan, memberikan sensasi luar biasa pada tubuh Ervina. Dia menggigit bibirnya, mencoba menahan suara yang hampir keluar, tapi semakin sulit menahan diri.
"Ah... Andi," desah Ervina, tangannya mencengkeram erat bahu Andi. "Ini... jauh berbeda."
Andi hanya tersenyum, menatap wajah Ervina yang tampak penuh dengan perasaan baru. "Lihat? Tubuhmu mulai belajar. Ini bukan mainan, ini nyata," katanya sambil mempercepat gerakannya.
Setiap gerakan menciptakan sensasi yang semakin kuat, membuat Ervina menyerah pada perasaan yang menguasai dirinya. Dia tidak pernah menyangka bahwa tubuhnya bisa merasakan sesuatu seperti ini, dan semuanya karena Andi.
Andi hanya tertawa kecil mendengar permintaan Ervina. "Pipis? Jangan bohong. Ini bukan pipis, kan? Tubuhmu mulai tidak bisa menahan kenikmatannya," goda Andi sambil memperlambat gerakannya.
"Tolong, aku nggak bohong," rintih Ervina, wajahnya merah dan penuh rasa malu. Namun, tubuhnya tetap tidak bisa menghindar dari sentuhan Andi yang terus menggoda.
Andi menatapnya dengan senyuman penuh arti. "Oke, aku akan berhenti sebentar, tapi kamu harus bilang siapa yang membuatmu merasa seperti ini," ucapnya sambil mengangkat tubuhnya sedikit, tapi tetap menahan posisi agar tidak benar-benar berhenti.
Ervina menggigit bibirnya, mencoba mencari kata-kata. "Kamu... Andi. Kamu yang buat aku seperti ini," jawabnya pelan dengan suara serak.
"Bagus," balas Andi, lalu menarik dirinya perlahan keluar, membiarkan Ervina mengambil napas sejenak. Namun, dia tetap memegang pinggang Ervina erat-erat, memastikan wanita itu tidak melarikan diri.
"Tapi aku nggak akan membiarkanmu istirahat terlalu lama," tambahnya sambil menatap Ervina yang terbaring lemas tapi masih tampak menggoda.
Ervina mencoba bangkit, tapi tubuhnya masih gemetar. "Beri aku waktu sebentar saja," pintanya dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Andi hanya mengangguk dengan senyuman kecil di wajahnya, lalu menarik tubuh Ervina ke pelukannya. "Oke, aku akan memberimu waktu, tapi jangan salahkan aku kalau aku nggak sabar," godanya sambil mencium lehernya dengan lembut.
Ervina hanya bisa mengangguk, mencoba mengendalikan napasnya yang tidak teratur. "Kamu ini gila," gumamnya pelan, meskipun dia tidak bisa menutupi senyuman kecil di wajahnya.
Air pipisnya keluar membasahi kasur, membuat Andi menyeringai. "Ah, itu seperti banjir," ejek Andi.
Namun kali ini, Ervina langsung mendorong Andi ke bawah. Dengan nafas yang masih tersengal, dia memutuskan untuk mengambil kendali. Mata Ervina penuh dengan determinasi, berbeda dari sikap memelas sebelumnya. Perlahan, dia memposisikan dirinya di atas Andi, tangannya memegang rudal besar milik pria itu. Tanpa ragu, dia menuntunnya masuk ke dalam lubangnya yang sudah basah kuyup.
"Aku akan menunjukkan padamu bahwa aku bisa lebih dari sekadar 'jeruk makan jeruk,'" ucapnya dengan nada menantang, sambil mulai menggerakkan tubuhnya naik turun.
Andi mendongakkan kepala, merasakan tekanan yang begitu erat dari tubuh Ervina. "Wah, lihat siapa yang berubah jadi agresif sekarang," godanya sambil memegang pinggul wanita itu, membantu gerakannya agar lebih teratur.
Ervina menggigit bibirnya, menahan suara yang hampir keluar. Tubuhnya bergetar setiap kali rudal itu menyentuh titik sensitif di dalamnya. "Diam, aku... aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya menguasaimu," jawabnya meski suaranya sedikit bergetar.
Andi tertawa kecil. "Kau tidak menguasai apa pun, Ervina. Lihat saja, tubuhmu sudah mengalah lebih dulu," balasnya sambil mendorong pinggulnya ke atas, menambah intensitas setiap kali tubuh Ervina turun.
Hanya erangan yang terdengar dari mulutnya ketika Ervina mulai menggoyangkan pinggulnya. Ritmenya perlahan namun pasti, membuat tubuh mereka berdua semakin panas. Namun saat Andi mulai ikut bergerak, mendorong dari bawah dengan kekuatan penuh, teriakan Ervina pun semakin kencang.
"Ahhh... pelan sedikit, Andi!" pintanya dengan suara tersendat, meskipun tubuhnya justru semakin menekan rudal itu lebih dalam.
Andi hanya tersenyum puas. "Aku pikir kamu yang ingin mendominasi tadi, Ervina. Tapi lihat, sekarang siapa yang memohon?" godanya sambil memegang erat pinggul wanita itu, mengatur gerakannya agar lebih cepat dan dalam.
Tubuh Ervina melengkung ke belakang, tangannya memegang dada Andi untuk menjaga keseimbangan. "Sumpah... ini terlalu dalam," keluhnya dengan nada bercampur kenikmatan. Matanya setengah terpejam, sementara napasnya semakin tidak teratur.
Andi tidak berhenti. Dengan gerakan yang semakin cepat dan kuat, dia memastikan setiap dorongannya menghantam titik-titik sensitif di dalam tubuh Ervina. "Kamu bilang mau mencoba menguasai aku, kan? Rasakan ini," katanya, sambil sesekali menggoyangkan pinggulnya ke atas dengan sengit.
Ervina menggigit bibirnya, mencoba meredam suara yang keluar dari mulutnya. Tapi tubuhnya tidak bisa berbohong—getarannya semakin intens, dan cairan panas mulai mengalir, membasahi paha Andi. "Andi... aku nggak tahan lagi," bisiknya dengan wajah memerah, tubuhnya gemetar tak terkendali.
"Kalau begitu, lepaskan saja," balas Andi dengan nada lembut namun menggoda, sambil memberikan dorongan terakhir yang membuat tubuh Ervina akhirnya menyerah sepenuhnya.