Namun Andi masih membiarkan rudalnya yang masih tertanam di dalam Ervina itu. Sambil tersenyum licik, dia meraih ponselnya yang tergeletak di samping kasur dan mengarahkan kamera ke wajah Ervina yang merah padam.
Dengan gerakan tiba-tiba, dia mulai mempercepat dorongannya, membuat tubuh Ervina melengkung lagi, sekalipun ia sudah terlihat lemah. "Ahh... apa yang kamu lakukan, Andi?" tanyanya dengan napas tersengal, matanya menatap ponsel di tangan Andi.
Andi mendekatkan wajahnya ke telinga Ervina dan berbisik pelan, "Aku akan menandaimu, Ervina. Supaya kamu selalu ingat siapa yang menguasaimu."
"Jangan! Hapus video itu," protes Ervina, suaranya bercampur antara kemarahan dan gairah yang tak bisa ia kendalikan.
Namun, Andi hanya tertawa kecil. "Santai saja, ini hanya untuk koleksi pribadi. Aku tidak akan membiarkan orang lain melihatnya. Tapi kalau kamu coba-coba berkhianat..." Dia menghentikan kalimatnya sejenak, memberikan dorongan keras yang membuat Ervina hampir menjerit.
"Ahhh... Andi! Kamu licik sekali," ujar Ervina dengan nada putus asa, tubuhnya tak lagi bisa menolak gerakan liar Andi.
Dengan satu tangan masih memegang ponsel, Andi terus menggerakkan pinggulnya, mempercepat ritmenya hingga suara kulit yang beradu memenuhi ruangan. "Ervina, lihat ke kamera dan bilang, siapa pemilik tubuhmu sekarang," perintahnya dengan suara serak namun tegas.
Ervina menggigit bibirnya, mencoba menahan diri, tetapi akhirnya menyerah. "Kamu... kamu, Andi..." katanya lemah, tubuhnya mulai gemetar tanda ia mendekati puncaknya lagi.
Andi tersenyum puas. "Bagus. Sekarang, nikmati ini sampai habis," ucapnya sebelum memberikan dorongan terakhir yang membuat keduanya mencapai klimaks bersama.
Cairan hangat dan kental langsung memenuhi lubang Ervina, hingga merembes keluar, membasahi pangkal paha mereka. Andi menahan nafas sejenak, lalu meraih ponselnya dan merekam setiap detiknya dengan jelas.
Setiap gerakan Andi yang menghentak lebih dalam, setiap erangan dari Ervina yang melemah, semua terekam sempurna di layar ponselnya.
"Begini kan yang kamu inginkan, Ervina?" bisiknya sambil menatap layar ponselnya, puas dengan hasil rekaman yang ia miliki.
Ervina hanya terbaring lemah, matanya terpejam, sementara tubuhnya masih merasakan getaran hebat dari apa yang baru saja terjadi. Andi menatap ponselnya dengan senyum licik, memutuskan untuk menyimpan semua bukti yang ia butuhkan, seolah-olah merekamlah yang menjadi tanda pemilik tubuh Ervina yang sesungguhnya.
"Itulah alasannya mengapa aku benci pria," ucap Ervina dengan suara lembut yang bergumam di sampingnya.
Andi hanya menatapnya dengan senyum penuh makna. "Jadi, apakah kamu masih ingin melakukannya dengan wanita itu?" ejeknya, mengingat rekaman yang kini ada di tangannya.
Ervina hanya menghela napas, matanya kosong, sementara tubuhnya masih terasa lelah akibat dari semuanya. "Sudahlah, biarkan saja," jawabnya dengan nada pasrah.
Namun Andi tidak peduli, tatapannya tetap penuh dengan kepuasan dan rasa dominasi. "Kamu tahu, ini baru permulaan," bisiknya sambil meraih ponselnya lagi.
Andi mulai membalikkan tubuh Ervina dan berkata, "Angkat pantatmu sedikit."
Tanpa ragu, Ervina mengikuti perintahnya, tubuhnya lemah namun tetap patuh. Andi pun langsung memasukkannya dari belakang, gerakannya semakin kuat dan dominan.
Ervina hanya bisa mengerang, rasa sakit dan kenikmatan bercampur di benaknya, sementara Andi terus melajukan gerakannya tanpa ampun. Tubuh Ervina gemetar, nafasnya terengah-engah, dan air mata perlahan mengalir di pipinya. Andi tak peduli, dia hanya ingin menguasai, menguasai tubuh dan pikiran Ervina.
Ketika dia mempercepat gerakannya, Ervina semakin kehilangan kendali. Suara desahan dan erangannya terdengar makin nyaring. "Ah... ahh," erang Ervina, tubuhnya yang ramping terus mengikuti ritme kasar dari Andi.
Andi terus menghantamnya dengan keras, setiap dorongan terasa semakin dalam dan membuat Ervina semakin tak berdaya. Dia merasakan cairan hangat dan kental mulai mengalir dari tubuhnya, bercampur dengan peluh dan air mata. Andi tetap tak berhenti, merekam momen tersebut dengan ponselnya, seolah ingin mengabadikan setiap detiknya.
Ervina hanya bisa memejamkan mata, mencoba menahan semuanya. Namun, tubuhnya tak bisa menghindari dorongan-dorongan kuat dari Andi yang semakin brutal. Rasa sakit dan kenikmatan bergelut dalam dirinya, hingga tak bisa lagi membedakan mana yang benar-benar nyata.
Hanya erangan dan desahan yang terus keluar dari mulutnya, bergema di ruangan sepi. Andi terus menggila, seolah tak peduli pada apa pun selain memenuhi nafsunya yang mendalam. Tubuh Ervina, yang sebelumnya lemah, kini tampak hilang dalam bayangan gelap dan tak berujung.
Tiba-tiba ponsel Ervina berbunyi, menampilkan layar dengan panggilan video dari pacar wanitanya. Andi yang masih dengan rudal miliknya yang masih tertanam di dalam Ervina, meminta wanita itu untuk mengangkat panggilan tersebut.
Ervina ragu-ragu, tetapi akhirnya dia mengangkat telepon itu dengan tangan gemetar, mencoba menutupi wajahnya yang berlumuran air mata. Di layar, terlihat sosok pacarnya yang tersenyum lebar, seolah tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Andi memperhatikannya dengan senyuman sinis, lalu mulai mempercepat gerakan rudalnya yang masih menembus tubuh Ervina. "Jelaskan padanya bahwa kamu baik-baik saja," bisik Andi dengan suara penuh tekanan.
Ervina hanya menunduk, mencoba mengumpulkan kekuatan, tetapi tubuhnya masih gemetar, menandakan betapa dalamnya rasa sakit dan malu yang dia rasakan. Di layar, pacarnya terus berbicara tanpa curiga, sementara Andi terus mempercepat ritmenya dengan penuh desakan.
"Apa yang sedang kamu lakukan?" suara pacarnya terdengar dari ponsel, tetapi Ervina hanya bisa menutup matanya dan merasakan setiap dorongan yang semakin tak terkendali. Andi semakin ganas, seolah ingin mengakhiri semua ini dengan cara yang paling kejam.
Andi mengambil ponsel dari tangan Ervina, lalu dengan santai memperlihatkan dirinya sedang menggenjot wanita itu dari belakang. Senyumnya penuh kepuasan saat wajah Ervina yang pucat dan penuh kepanikan terpampang di layar panggilan.
"Lihat ini," bisik Andi dengan nada menggoda sambil terus mempercepat gerakan. "Dia sedang menikmati ini."
Di sisi lain, pacar Ervina terlihat terkejut dan bingung melihat gambar tersebut. Tapi sebelum sempat bertanya, Andi menutup panggilan itu dengan acuh tak acuh.
"Andi... kenapa kamu melakukan ini?" erang Ervina dengan suara gemetar, berusaha menutupi wajahnya yang memerah.
Andi hanya tersenyum sinis,
Rudal Andi terus mendorong masuk dengan kekuatan penuh, tubuh Ervina masih bergetar, berusaha melawan, tetapi hanya bisa pasrah pada penderitaan yang tak berujung.
Andi masih terus menggerakkan tubuhnya dengan penuh nafsu, meremas pinggul Ervina dengan keras. Setiap hentakan yang dia berikan terasa begitu dalam dan intens, hingga tubuh Ervina mulai gemetar. Setelah beberapa kali hentakan terakhir, Andi akhirnya melepaskan cairan hangatnya di dalam tubuh Ervina.
Dengan senyum sinis yang tak terhindarkan, dia berkata dengan suara rendah, "Karena aku juga akan menikmati lubang milik pacar wanitamu itu." Suaranya penuh ejekan, membangkitkan rasa frustrasi dan kehampaan dalam diri Ervina. Tubuhnya terasa lemas, dan matanya yang kosong menatap kosong ke langit-langit kamar. Air mata perlahan membasahi pipinya, mencampur dengan noda-noda cairan yang menggenangi tempat tidur mereka.
Andi menarik napas dalam-dalam, merasa seolah telah menyelesaikan sebuah kemenangan pahit. Dia merasa tak ada lagi ikatan, tak ada lagi batasan, hanya dorongan nafsu yang terus menguasainya. Perlahan, dia bangkit dari tempat tidur dan menatap Ervina yang masih terkulai lemas di sana.
"Jangan harap aku akan berhenti di sini," ucap Andi dengan nada menghina, sebelum akhirnya meninggalkan Ervina yang masih terdiam, tubuhnya terasa begitu lemah, dan pikirannya kosong tanpa harapan. Dia berjalan keluar dari kamar dengan langkah yang penuh keyakinan, seolah dunia di sekitarnya tak berarti lagi.