Dengan tubuh yang lemah, Ervina terjatuh di pelukan Andi, sementara celana dalam wanita itu sudah sangat basah. Bahan air membanjiri kursi tempat mereka duduk.
"Wah, apakah kamu selalu seperti ini?" bisik Andi sambil menggoda, dengan senyuman penuh percaya diri.
Tapi Ervina hanya terdiam, wajahnya memelas, mencoba menahan perasaan yang semakin sulit dikendalikan. "Tolong hentikan sebentar," pinta Ervina dengan suara lirih, menatap Andi dengan mata yang memancarkan ketidakberdayaan.
Andi memperhatikannya sejenak, lalu perlahan menarik alat getar dari dalam tubuh Ervina. Dia menatap wanita itu dengan ekspresi tenang, menelusuri wajahnya yang memerah. "Kamu tahu bahwa aku tidak bisa berhenti," jawab Andi dengan nada penuh ketegasan.
Ervina menggigit bibirnya, menahan air matanya yang hampir tumpah. "Aku… aku tidak tahu apa yang terjadi," katanya pelan, suaranya hampir bergetar.
Andi menempatkan jarinya di dagu Ervina, mengangkat wajahnya lembut. "Kamu tahu apa yang aku inginkan, Ervina," bisiknya dekat di telinga wanita itu. "Dan aku akan mendapatkanmu."
Ervina menutup matanya, mencoba melawan dorongan yang semakin kuat. Tapi tubuhnya terasa begitu lemah, seolah melawan adalah sesuatu yang sia-sia.
"Biarkan aku membantu," bisik Andi, sambil memeluk erat tubuh Ervina yang gemetar. Dengan gerakan lembut, dia kembali mengisi tubuh Ervina dengan sentuhannya, memadamkan sisa-sisa pertahanannya yang rapuh.
Ervina hanya bisa memejamkan mata, membiarkan gelombang hasrat itu menyeretnya lebih dalam ke dalam kegelapan yang tak berujung.
Andi melumat bibir Ervina agar tidak bersuara, sementara jari-jemarinya mulai memainkan bagian bawah Ervina dengan sangat liar, membangkitkan sensasi yang tak terelakkan.
Ervina membiarkan dirinya terbawa oleh sensasi itu, tubuhnya melemas dalam pelukan Andi. Dia merasakan dorongan yang begitu kuat, membakar nafsu yang semula terpendam.
Andi menurunkan tangannya, menggesekkan jari-jemarinya dengan penuh hasrat, menelusuri setiap inci tubuh Ervina yang gemetar. Tidak ada lagi pertahanan, hanya desakan hasrat yang semakin menggebu.
"Berhentilah menahan diri," bisik Andi dengan nada penuh godaan. "Kita tidak bisa mengabaikan ini."
Ervina membuka matanya sejenak, menatap Andi dengan samar, tapi tubuhnya telah menyerah pada gelombang gairah yang terus menghantamnya.
Andi kembali melumat bibir Ervina, membawa mereka semakin tenggelam dalam dunia hasrat yang tak terhingga.
"Bisakah kita tidak melakukannya di sini?" ucap Ervina, suaranya gemetar.
"Lalu, di mana aku bisa melakukannya?" bisik Andi, menggoda dengan senyum misterius di wajahnya.
Ervina menutup matanya sejenak, menghela napas, seolah berusaha menenangkan diri. Tapi tubuhnya masih bergetar dalam pelukan Andi.
"Di rumahku," jawab Ervina lirih, suaranya hampir terdengar seperti bisikan.
Andi tersenyum penuh kemenangan, menggenggam tangan Ervina erat. "Mari kita pergi ke sana, maka semuanya akan terasa lebih baik," ucapnya lembut namun penuh tekanan.
Ervina mengangguk lemah, tak mampu menolak dorongan yang semakin kuat dari dalam dirinya.
Setelah sampai di rumahnya, Ervina melepaskan pakaiannya dengan malu-malu. Sementara matanya tertuju pada rudal milik Andi yang sangat besar. "Apakah ini pertama kalinya kamu melihatnya?" goda Andi dengan senyuman penuh godaan.
Ervina menunduk, pipinya merona, tapi tak bisa menutupi rasa penasaran yang terbersit di matanya. "I-itu… cukup besar," ucapnya pelan, suaranya hampir hilang.
Andi mendekatinya, mengangkat dagunya dengan lembut. "Kamu ingin tahu rasanya, bukan?" tanyanya sambil menatap dalam-dalam ke matanya.
Ervina mengangguk perlahan, perlahan menyerah pada hasrat yang tak bisa dia tahan lebih lama. Tubuhnya mulai bergetar, dan jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Andi meraih lembut wajah Ervina, mengecup bibirnya dengan penuh ketertarikan. Ciuman mereka begitu lembut, namun intens, seolah ingin mengungkap segala hasrat yang terpendam.
Tangan Andi mulai menjelajahi tubuh Ervina, mengangkatnya dengan penuh pengertian dan perlahan membaringkannya di ranjang. Sambil menyentuh dan mengeksplorasi setiap inci tubuhnya, dia tak henti-hentinya menggoda dan membangkitkan gairah yang belum pernah dirasakan Ervina sebelumnya.
Ervina semakin tenggelam dalam pesona dan ketertarikan Andi, membiarkan dirinya merasakan setiap gerakan, setiap desah, dan setiap ciuman yang semakin membuatnya lemah.
Andi mulai menjelajahi payudara milik Ervina dengan lembut. Reaksi wanita itu terlihat sangat polos, seakan tidak pernah disentuh oleh pria mana pun sebelumnya. Tubuhnya sedikit menegang, namun bibirnya mengeluarkan desahan pelan yang tak mampu dia tahan.
"Hey, lihatlah putingmu masih berwarna pink," ucap Andi sambil tersenyum penuh godaan. Kata-katanya membuat wajah Ervina semakin merah, malu bercampur gemetar. Namun sebelum dia sempat merespons, Andi langsung menunduk, melahapnya dengan lembut namun intens.
Lidah Andi bermain-main di sekitar puting Ervina, menghisapnya dengan perlahan, membuat Ervina menggigit bibir bawahnya agar tidak mengeluarkan suara terlalu keras. "A-andi… pelan-pelan," bisiknya dengan suara yang hampir putus-putus.
Andi hanya tersenyum tanpa menghentikan aksinya. Tangan kirinya dengan lembut memijat payudara Ervina yang lain, sementara tangan kanannya perlahan bergerak menyentuh bagian tubuhnya yang lain, membuat Ervina semakin tidak mampu menahan diri.
Tubuhnya mulai bergetar, dan tangannya tanpa sadar mencengkeram lengan Andi. "Kamu benar-benar… tahu caranya membuatku kehilangan kontrol," ucap Ervina dengan suara yang terdengar lebih seperti rintihan.
Andi mendongak sejenak, menatapnya dalam-dalam. "Aku belum mulai apa-apa, Ervina," bisiknya sebelum kembali menunduk, melanjutkan aksinya dengan lebih intens.
"Apakah selama ini kamu hanya jeruk makan jeruk?" ucap Andi sambil tersenyum mengejek.
Wajah Ervina memerah mendengar kata-kata itu, tapi dia tidak membantah. "Apa pedulimu?" jawabnya dengan nada setengah menantang, meskipun ada nada malu dalam suaranya.
Andi tertawa kecil, lalu menatapnya tajam. "Aku hanya penasaran... kalau selama ini kamu hanya bersama wanita, apa kamu tahu bagaimana rasanya dengan pria?" katanya sambil mendekatkan wajahnya ke telinga Ervina.
Ervina tidak menjawab, tetapi tubuhnya sedikit mundur, seolah mencoba mencari jarak. Namun, Andi tidak memberinya ruang. "Jangan khawatir, aku akan mengajarimu sesuatu yang tidak akan kamu dapatkan dari seorang wanita," bisik Andi dengan suara rendah yang membuat bulu kuduk Ervina meremang.
"A-andi... ini terlalu cepat," bisik Ervina dengan suara gemetar, mencoba mengendalikan situasi.
Andi tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. "Kalau kamu ingin aku berhenti, katakan saja," ucapnya sambil menatapnya dalam-dalam, memberikan kesempatan pada Ervina untuk mengambil kendali.
Namun, bukannya menolak, Ervina malah terdiam, matanya perlahan tertutup, dan tubuhnya sedikit melemas. Andi menganggap itu sebagai isyarat untuk melanjutkan. "Aku janji kamu tidak akan menyesal," katanya sebelum melanjutkan aksinya dengan penuh kehangatan.
Andi tertawa kecil mendengar ucapan polos Ervina. "Jadi selama ini kamu cuma pakai karet? Pantas saja, tubuhmu masih terlihat polos dan begitu ketat," goda Andi sambil mendekatkan wajahnya ke leher Ervina, memberikan ciuman lembut yang membuat wanita itu menggigil.
Ervina menutup wajahnya dengan kedua tangan, malu dengan apa yang baru saja dia katakan. "Aku tidak tahu apa yang kupikirkan...," gumamnya.
Andi menarik tangan Ervina perlahan, memperlihatkan wajahnya yang merah padam. "Kamu nggak perlu malu. Lagipula, aku lebih suka mengajari sesuatu daripada hanya melihat," bisik Andi sambil perlahan menekan tubuhnya lebih dekat, membuat Ervina merasakan kehadiran penuh dari "rudal" yang dia bicarakan.
Ervina menggigit bibir bawahnya, ragu-ragu. "Tapi, itu... itu terlalu besar. Aku takut nggak bisa menampungnya," katanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.
Andi tersenyum lembut, lalu mengusap pipinya. "Kamu nggak perlu khawatir. Aku akan memastikan semuanya terasa nyaman untukmu," ucapnya sambil menatap mata Ervina, meyakinkannya dengan penuh kehangatan.
Tanpa terburu-buru, Andi mulai menuntun Ervina, menciptakan suasana yang lebih santai. Tangannya yang besar menjelajahi tubuh wanita itu dengan lembut, memberikan sensasi baru yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Setiap sentuhan terasa seperti menyalakan api kecil yang perlahan membakar rasa takutnya.
"Percayalah padaku," bisik Andi sebelum melanjutkan.