Siang itu, Andi berusaha menenggelamkan pikirannya pada pekerjaan. Ia bersama beberapa pria desa, termasuk Jaki, bergotong-royong membuat kincir air sederhana. Alat itu diharapkan bisa membantu mengalirkan air dari sungai menuju ladang yang cukup jauh.
Dengan kemampuan teknisnya, Andi mengambil peran utama dalam merancang dan memberikan ide. Ia menjelaskan secara detail bagaimana kincir air bisa memanfaatkan aliran sungai untuk menggerakkan bilah-bilah kayu, sehingga air dapat teralirkan ke ladang tanpa perlu mengangkutnya secara manual.
"Mas Andi ini pintar sekali," puji salah satu pria desa sambil memotong batang bambu yang akan dijadikan komponen kincir.
Andi hanya tersenyum kecil. "Ini hanya konsep dasar. Kalau berhasil, kalian nggak perlu repot-repot lagi angkat air tiap hari."
Sementara itu, Dian memperhatikan dari kejauhan, membawa kendi berisi air minum untuk para pria yang sedang bekerja. Tatapannya sempat bertemu dengan Andi, dan mereka saling tersenyum samar. Namun, Dian segera mengalihkan pandangan ketika suaminya menoleh ke arahnya.
Pekerjaan berlangsung hingga sore hari. Dengan tenaga bersama, kincir air itu akhirnya selesai terpasang di pinggir sungai. Ketika air mulai mengalir melalui saluran bambu menuju ladang, penduduk desa bersorak gembira.
"Mas Andi, ini luar biasa!" seru salah satu pria sambil menepuk punggungnya.
"Semoga bermanfaat untuk kalian semua," jawab Andi dengan senyuman puas.
Di tengah keramaian, Andi sempat melirik ke arah Dian, yang berdiri di tepi kerumunan sambil memegang kendi. Sekali lagi, tatapan mereka bertemu, dan senyum kecil yang sama terukir di wajah keduanya.
Beberapa minggu berlalu, Andi mulai merasa semakin nyaman tinggal di desa itu. Setelah melihat betapa sulitnya penduduk mendapatkan air bersih, ia memutuskan untuk membantu mereka dengan proyek yang lebih besar: membangun tempat pemandian umum dan WC yang terhubung langsung dengan rumahnya.
Dengan menggunakan aliran air dari kincir yang telah dibuat sebelumnya, Andi membuat sistem sederhana untuk mengalirkan air ke bak-bak penampungan di area mandi tersebut. Para penduduk desa, terutama para wanita, sangat antusias dengan ide ini. Mereka menganggap Andi sebagai pahlawan yang membawa perubahan besar bagi kehidupan desa.
"Mas Andi ini benar-benar dermawan, ya," ucap salah seorang wanita sambil membantu membawa kayu untuk pembangunan.
Andi hanya tersenyum, tapi di dalam hatinya ia memiliki agenda lain. Ia sengaja merancang tempat pemandian itu dengan sekat-sekat yang memberikan sedikit privasi, namun tetap memungkinkan dirinya untuk mengintip tanpa diketahui.
"Kalau semuanya selesai, aku bisa menikmati pemandangan terbaik di desa ini," gumam Andi dalam hati sambil memperhatikan para wanita yang sibuk membantu.
Pembangunan pun selesai dalam waktu beberapa hari. Penduduk desa segera menggunakan tempat pemandian dan WC tersebut. Mereka sangat senang karena kini tidak perlu lagi berjalan jauh ke sungai, terutama para wanita yang merasa lebih nyaman dan aman.
Malam harinya, Andi memanfaatkan celah-celah kecil di rumahnya yang ia desain khusus untuk mengintip area pemandian. Dari tempat itu, ia bisa melihat para wanita yang mandi dengan santai, tanpa menyadari ada mata yang mengawasi mereka.
Andi melihat Laksmi masuk ke area mandi, diikuti oleh Rena dan beberapa wanita lainnya. Mereka tampak bercanda sambil membersihkan diri. Andi menahan napas ketika melihat tubuh-tubuh mereka yang hanya tertutup sedikit busa sabun.
"Ini surga dunia," bisik Andi sambil tersenyum puas.
Karena pencapaian Andi yang begitu mengesankan dalam membantu desa, kepala desa memanggilnya ke rumah untuk berbicara dan menyampaikan rasa terima kasihnya. Kepala desa merasa bahwa kehadiran Andi telah membawa perubahan besar bagi kehidupan warga desa, terutama dengan kincir air dan tempat pemandian yang sangat membantu aktivitas sehari-hari.
Saat berada di rumah kepala desa, Andi diperkenalkan dengan putrinya yang bernama Nina. Nina adalah seorang gadis berusia 15 tahun dengan kulit sawo matang khas desa dan tubuh yang ramping. Rambutnya hitam panjang dan tergerai, dengan mata besar yang memancarkan rasa ingin tahu. Meskipun masih muda, Nina memiliki kecantikan alami yang memikat, dan sikapnya yang ramah membuatnya mudah disukai.
Pakaian Nina sangat sederhana, seperti kebanyakan penduduk desa. Ia hanya mengenakan selembar kain yang melilit tubuhnya, dengan bahunya yang terbuka, menunjukkan lengan yang lentik. Senyumnya lebar dan polos, memperlihatkan gigi-gigi putih yang rapi. Ketika berbicara, suaranya lembut dan sedikit malu-malu, namun sorot matanya menunjukkan kecerdasan dan ketertarikan pada hal-hal baru.
"Kami sangat berterima kasih, Mas Andi. Apa yang Mas lakukan benar-benar luar biasa. Kalau bukan karena Mas, kami mungkin masih kesulitan dengan air," ucap kepala desa dengan nada tulus.
Andi tersenyum sambil melirik Nina yang duduk di sudut ruangan, sesekali mencuri pandang ke arahnya. "Ini sudah menjadi kewajiban saya, Pak. Saya senang bisa membantu," jawab Andi.
Nina, yang tampak gugup, akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. "Kak Andi, aku dengar Kakak juga mengajari warga desa membaca dan menulis. Itu keren sekali!"
Andi tertawa kecil. "Ah, cuma sedikit yang bisa saya ajarkan, Nina. Tapi kalau kamu mau belajar, aku juga bisa mengajarimu."
Mata Nina berbinar. "Boleh, Kak! Aku ingin sekali bisa menulis surat untuk teman-temanku di desa lain."
Kepala desa tersenyum melihat interaksi mereka. "Kalau begitu, Nina, kamu bisa belajar dari Mas Andi. Dia pasti mau membantu."
Andi mengangguk, dan dalam hati, ia mulai merasakan ada sesuatu yang menarik dari gadis muda ini. "Sepertinya ini akan menjadi pengalaman yang lebih menarik," pikirnya.
Namun tiba-tiba kepala desa berbicara dengan nada serius sambil menatap tajam ke arah Andi. "Mas Andi, kalau kamu tidak keberatan, bisakah kamu meninggalkan keturunanmu di desa ini?" ucapnya sambil melirik ke arah Nina. Andi sedikit terkejut dengan permintaan itu, namun ia tetap menjaga ekspresinya tetap tenang.
Sebelum Andi sempat menjawab, seorang wanita muda tiba-tiba masuk ke ruangan sambil membawa nampan berisi air. Dia adalah Aira, istri keempat kepala desa. Aira terlihat masih sangat muda, mungkin berusia sekitar 20 tahun. Tubuhnya ramping dengan kulit yang mulus, dan wajahnya memancarkan kecantikan alami yang jarang ditemukan. Mata Aira sedikit malu-malu ketika bertemu pandang dengan Andi, namun ada sesuatu dalam caranya tersenyum yang menunjukkan rasa penasaran.
"Aira, tolong berikan air ini kepada tamu kita," ucap kepala desa dengan nada lembut.
Aira mengangguk pelan, berjalan mendekati Andi, dan menyerahkan gelas air tersebut. Saat itu, Andi memperhatikan dengan seksama. Dari cara Aira bergerak hingga aroma tubuhnya yang wangi meskipun tinggal di desa terpencil, semuanya terasa memikat.
"Terima kasih," ucap Andi sambil menerima gelas tersebut. Aira hanya tersenyum kecil sebelum kembali berdiri di dekat kepala desa.
Kepala desa melanjutkan, "Di desa ini, tradisi kami sangat menghormati orang luar yang membawa perubahan besar. Biasanya, mereka meninggalkan garis keturunan sebagai bentuk penghormatan dan keterikatan dengan desa. Aira juga belum memiliki anak, jadi jika kamu bersedia, dia bisa menjadi salah satu pilihanmu."
Andi terdiam sejenak, memikirkan permintaan itu. Dalam benaknya, dia mulai menyusun berbagai kemungkinan dan ide-ide yang muncul dari situasi ini.
"Ini tradisi yang menarik," jawab Andi dengan senyum kecil. "Tapi, tentu saja, saya butuh waktu untuk mempertimbangkannya."
Kepala desa mengangguk mengerti. "Tentu, Mas Andi. Tidak ada paksaan. Namun, kami percaya bahwa keberadaanmu di desa ini bisa memberikan keberkahan yang lebih besar."
Andi kemudian melirik ke arah Nina dan Aira. Keduanya tampak menunduk malu, namun Andi bisa merasakan aura ketertarikan yang memancar dari keduanya.
Andi tersenyum kecil mendengar respons kepala desa. "Jika Tuan tidak keberatan, bisakah saya membawa keduanya? Dengan begitu, saya juga bisa mengajarkan banyak hal kepada mereka, seperti cara memasak dan hal-hal lain yang bermanfaat," ucap Andi dengan nada sopan.
Kepala desa memandang Andi sejenak, tampak mempertimbangkan permintaan itu. Setelah beberapa saat, dia mengangguk. "Baiklah, jika itu yang kau mau, aku akan mengatur upacara penyerahan besok. Tradisi harus dihormati, dan aku percaya kau akan menjaga mereka dengan baik."
Nina yang berada di sudut ruangan terlihat menunduk dengan wajah memerah. Sementara itu, Aira sedikit terkejut namun tetap menampilkan senyum kecil. Dia melirik Andi dengan rasa penasaran yang sulit disembunyikan.
"Terima kasih, Tuan," jawab Andi sambil memberikan senyum ramah. Dalam hatinya, Andi merasa ini adalah kesempatan besar untuk mendekatkan diri lebih jauh kepada kedua wanita tersebut.
Setelah pembicaraan selesai, Andi pun berpamitan untuk kembali ke rumahnya. Di perjalanan, dia tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana hari esok akan menjadi awal dari sesuatu yang baru. "Nina dan Aira, sepertinya hidupku di desa ini akan semakin menarik," gumamnya sambil tersenyum sendiri.