Namun di dalam aturan desa, seorang wanita yang di tinggalkan mati oleh suaminya di anggap sebagai kutukan.
Pada hari itu,Andi pun meminta Izin kepada kepala desa. Jika dia di izinkan untuk mengurus janda-janda itu,maka dia akan memanfaatkan tenaga mereka dengan baik.
Kepala desa terdiam sejenak mendengar permintaan Andi. "Permintaanmu cukup aneh, Andi. Namun, jika itu bisa membantu desa ini, aku tidak akan menolaknya," jawab kepala desa dengan nada serius. "Tapi ingat, mereka adalah wanita yang dianggap membawa kutukan. Kamu harus siap menanggung segala risiko."
Andi tersenyum percaya diri. "Tuan kepala desa, di tempat asalku, tidak ada yang namanya kutukan. Semua orang memiliki hak untuk hidup layak. Aku yakin bisa membimbing mereka dan menjadikan mereka berguna bagi desa ini," ucapnya penuh keyakinan.
Setelah mendapat persetujuan, Andi segera memanggil para wanita janda yang dianggap membawa kutukan itu. Dian, yang berada di antara mereka, menatap Andi dengan tatapan penuh harapan. Selain Dian, ada tiga wanita lain: Risa, seorang janda berumur 27 tahun yang memiliki tubuh atletis; Maya, seorang wanita berumur 24 tahun dengan wajah lembut; dan Tari, seorang janda muda berusia 20 tahun yang terlihat pemalu.
"Aku tidak peduli apa yang dipikirkan oleh orang lain tentang kalian," ucap Andi di depan mereka. "Mulai hari ini, kalian akan bekerja bersamaku. Aku akan memastikan hidup kalian berubah menjadi lebih baik."
Para wanita itu saling bertukar pandang, antara bingung dan berharap. Bagi mereka, tawaran Andi adalah peluang yang tidak mungkin mereka lewatkan, meskipun mereka tidak tahu apa yang sebenarnya direncanakan oleh pria itu.
Andi kemudian mulai membagi tugas kepada mereka. Risa ditugaskan membantu pekerjaan fisik, seperti membangun dan memperbaiki alat-alat desa. Maya bertanggung jawab dalam bidang pengolahan hasil panen, sementara Tari dan Dian membantu Andi di rumahnya.
Namun, Andi memiliki rencana lain di balik itu semua. Baginya, ini bukan hanya soal membantu mereka bekerja, tetapi juga mengajarkan mereka bahwa mereka masih memiliki nilai dan daya tarik yang luar biasa. Dalam pikirannya, ia tahu bahwa langkah ini akan membawanya lebih dekat untuk memiliki mereka sepenuhnya, dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh pria lain di desa ini.
Setiap malam, rumah Andi menjadi tempat di mana suara desahan para wanita yang tinggal bersamanya menggema. Tidak ada yang bisa menolak kehadiran Andi, terutama ketika pria itu mendekati mereka dengan penuh percaya diri dan kehangatan yang sulit diabaikan. Dian, Risa, Maya, dan Tari kini terbiasa dengan sentuhan dan keintiman Andi, bahkan mereka mulai saling bergiliran untuk memuaskan pria itu.
"Mas Andi, giliran siapa malam ini?" tanya Maya dengan nada menggoda suatu malam.
Andi hanya tersenyum, lalu meraih Tari yang duduk di pojokan dengan wajah malu-malu. "Malam ini, aku ingin Tari," ucapnya seraya membawa wanita muda itu ke kamarnya. Tari, meski awalnya gugup, mulai terbiasa dengan cara Andi yang lembut namun penuh gairah.
Di sisi lain, Dian merasa cemburu melihat perhatian Andi yang dibagi rata. "Mas, aku masih belum puas dari tadi pagi," bisik Dian ketika Andi keluar dari kamar setelah bersama Tari.
Andi tertawa kecil, menarik Dian ke pelukannya. "Tenang, aku akan memastikan semua lubangmu mendapatkan perhatian penuh," jawabnya sambil mencium bibirnya.
Setiap wanita yang bersama Andi merasa istimewa. Meskipun mereka harus berbagi pria yang sama, tidak ada rasa iri yang benar-benar mendalam, karena Andi tahu bagaimana membuat mereka semua merasa diinginkan. Bahkan Risa, yang awalnya terlihat keras kepala, kini menjadi yang paling bergairah ketika bersama Andi.
Andi, dengan kecerdasannya, juga memastikan bahwa mereka tetap produktif dalam membantu membangun desa. Di pagi hari, mereka bekerja keras, tetapi di malam hari, mereka menikmati kehangatan tubuh satu sama lain. Andi mulai merasa seperti raja kecil di desa itu, dengan para wanita yang tunduk kepadanya, baik dalam pekerjaan maupun di tempat tidur.
Namun, Andi tidak pernah puas. Dalam pikirannya, ia mulai memikirkan cara untuk memperluas "kerajaan kecil"-nya di desa itu, mencari lebih banyak wanita yang bisa ia bimbing—dan nikmati—dengan caranya yang unik.
Di tengah kehangatan kebersamaan yang selama ini ia nikmati, Andi akhirnya mengumpulkan semua wanita di rumahnya untuk memberi tahu kabar yang berat bagi mereka. Dengan wajah serius, ia membuka percakapan.
"Waktu KKN-ku hampir selesai," ucap Andi dengan nada tenang, namun terdengar jelas rasa berat di suaranya.
Aira, yang sedang menyiapkan makanan, langsung berhenti dan menatap Andi dengan cemas. "Mas... apa itu artinya Mas akan pergi meninggalkan kami?"
Nina, yang duduk di pangkuan Andi seperti biasa, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Mas nggak boleh pergi! Kalau Mas pergi, siapa yang akan menjaga kami?"
Dian, yang baru saja datang dari ladang, meletakkan alat kerjanya dan duduk di sebelah Andi. "Mas Andi, desa ini berubah banyak karena Mas. Kalau Mas pergi, kami semua akan kehilangan... semuanya," ucapnya pelan.
Andi menarik napas dalam, mencoba menenangkan suasana. "Aku tidak bisa tinggal di sini selamanya. Tapi dengarkan aku dulu."
Semua wanita kini memperhatikan Andi dengan seksama, ketakutan akan kehilangan jelas tergambar di wajah mereka.
"Aku memang harus kembali ke kota. Tapi bukan berarti aku akan melupakan kalian. Aku akan pastikan semua yang telah kita bangun di sini tetap berjalan. Aku juga akan mencari cara untuk sering kembali ke sini," jelas Andi.
Aira menggenggam tangan Andi erat. "Kalau begitu, bawa kami ke kota, Mas. Jangan tinggalkan kami di sini..."
Andi tersenyum kecil dan mengusap rambut Aira. "Aku tahu kalian ingin ikut, tapi hidup di kota tidak mudah. Aku harus mempersiapkan semuanya dulu. Beri aku waktu, dan aku akan kembali untuk membawa kalian."
Meski masih berat menerima kabar itu, para wanita mulai memahami keputusan Andi. Malam itu, mereka semua tidur di sisi Andi, seakan tidak ingin melewatkan sedikit pun waktu bersama pria yang telah mengubah hidup mereka.
Waktu berlalu dengan cepat, dan sebelum keberangkatan Andi, perubahan di desa itu semakin terasa. Tidak hanya perubahan pada infrastruktur desa yang makin maju berkat ide-ide Andi, tetapi juga pada kehidupan pribadi beberapa wanita di sana.
Aira dan Nina, yang selama ini begitu dekat dengan Andi, kini menunjukkan tanda-tanda yang tak bisa disembunyikan lagi. Perut mereka mulai membesar, membawa bukti nyata dari benih yang telah Andi tinggalkan di desa itu.
"Mas, kamu yakin akan pergi? Bagaimana dengan anak-anak kita nanti?" tanya Aira suatu malam, sambil mengusap lembut perutnya yang mulai terlihat membuncit.
Andi tersenyum, meski dalam hatinya ada rasa berat yang tak terungkapkan. Ia memegang tangan Aira dan Nina yang duduk di sampingnya. "Aku tidak akan benar-benar pergi. Aku akan kembali untuk kalian dan anak-anak kita. Tapi aku harus ke kota dulu untuk mempersiapkan segalanya."
Nina menunduk, memegang perutnya yang juga mulai membesar. "Aku takut, Mas. Bagaimana kalau orang-orang di desa mulai berbicara tentang ini?"
Andi menggeleng, meyakinkan mereka. "Aku sudah berbicara dengan kepala desa. Semua orang di sini menghormati keputusan kita. Kalian tidak perlu khawatir. Lagi pula, aku sudah memastikan bahwa kalian dan anak-anak kita akan dilindungi."
Dian, yang selama ini mengamati dari kejauhan, kini turut mendekat. Meski ia belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan, rasa iri bercampur kekaguman pada Nina dan Aira terlihat jelas di matanya.
"Andi," Dian berkata pelan, "jangan lupakan aku juga. Aku mungkin belum mengandung anakmu, tapi aku juga ingin menjadi bagian dari hidupmu."
Andi menghela napas panjang, merangkul Dian. "Aku tidak akan melupakan siapa pun di sini. Kalian semua adalah keluargaku sekarang."