Sejak hari itu, Andi tidak pernah menghubungi Marisa lagi, dirinya menghilang bagai ditelan bumi.
Sampai pada suatu hari, Marisa mendatangi kost tempat Andi biasa tinggal. Dengan hati penuh harap, dia bertanya kepada pemilik kost itu, "Bu, Andi masih tinggal di sini?"
Pemilik kost menggeleng pelan. "Oh, Andi ya... Dia sudah lama pindah," jawabnya singkat.
Marisa terdiam, perasaan kecewa mulai menyelimutinya. "Pindah ke mana, Bu? Apa dia meninggalkan alamat atau pesan?" tanyanya dengan suara sedikit gemetar.
Pemilik kost berpikir sejenak, lalu masuk ke dalam kamarnya. Tak lama, dia kembali sambil membawa sebuah amplop kecil. "Dia nggak kasih tahu alamatnya, tapi dia nitip ini kalau ada yang nyariin dia."
Marisa mengambil amplop itu dengan tangan bergetar. Isinya hanya secarik kertas dengan tulisan tangan Andi:
"Marisa, jangan cari aku lagi. Aku cuma masa lalu. Fokuslah pada hidupmu."
Mata Marisa memanas, air mata mulai mengalir tanpa bisa ia tahan. Ia menggenggam kertas itu erat-erat, perasaan kehilangan dan penyesalan memenuhi hatinya.
"Dia nggak ninggalin kabar apa-apa lagi, Bu?" tanya Marisa sekali lagi, berusaha mencari celah harapan.
"Nggak, Nak," jawab pemilik kost dengan nada iba. "Dia cuma bilang mau cari tempat baru dan memulai hidup dari awal."
Marisa melangkah keluar dari kost itu dengan langkah berat, membawa pesan Andi yang terus menggema di pikirannya. Namun di dalam hati kecilnya, ia tahu—ia tak bisa begitu saja melupakan Andi, meskipun pria itu memilih untuk menghilang dari hidupnya.
Di tempat lain, Andi duduk di tepi jendela sebuah apartemen sederhana, memandangi langit malam. Dia tahu bahwa suatu saat Marisa akan mencarinya, tapi dia sudah bertekad untuk tidak kembali ke kehidupan lamanya. "Maaf, Cha," gumamnya pelan. "Gue nggak pantas ada di hidup lo lagi."
Namun, meski jauh dari Marisa, hati Andi tak pernah benar-benar tenang. Sebuah rahasia besar yang ia simpan kini mulai membebani pikirannya, membuatnya bertanya-tanya apakah ia telah membuat keputusan yang benar.
Andi pun kembali fokus pada kuliahnya, menenggelamkan dirinya dalam tugas dan penelitian hingga mencapai semester akhir. Dia merasa bahwa satu-satunya cara untuk melupakan masa lalunya adalah dengan menyibukkan diri dan menyelesaikan apa yang selama ini ia perjuangkan.
Namun, sesekali bayang-bayang masa lalu itu datang lagi. Marisa, dengan segala tekadnya, mencoba mencarinya di kampus. Suatu hari, saat Andi sedang duduk di sudut perpustakaan, menyelesaikan revisi skripsinya, ia mendengar suara yang begitu dikenalnya memanggil namanya.
"Andi!"
Andi menoleh sekilas, lalu buru-buru menundukkan kepalanya, berharap Marisa tidak melihatnya. Namun terlambat, mata mereka bertemu, dan Marisa berjalan cepat ke arahnya.
"Kita perlu bicara," kata Marisa dengan nada tegas, tanpa memberi ruang untuk Andi mengelak.
Andi berdiri, mengambil buku dan laptopnya, lalu menjawab dengan dingin, "Gue sibuk, Cha. Nggak ada yang perlu kita omongin."
Marisa meraih lengannya, mencegahnya pergi. "Gue cuma mau tahu kenapa lo ngilang gitu aja! Apa salah gue?"
Andi menghela napas panjang. "Nggak ada yang salah sama lo, Cha. Gue cuma nggak mau ganggu hidup lo lagi. Lo punya masa depan yang lebih baik tanpa gue."
Marisa terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. "Masa depan yang mana, Di? Gue cuma butuh lo. Bukannya lo bilang dulu, gue cuma milik lo?"
Andi menggertakkan giginya, mencoba menahan emosi yang mulai naik. "Itu dulu, Cha. Sekarang beda. Hidup gue bukan buat ngerusak hidup orang lain."
"Tapi lo nggak pernah ngerusak hidup gue!" bentak Marisa, suaranya mulai bergetar.
Andi menatapnya lama, lalu berkata pelan, "Gue nggak bisa, Cha. Tolong, berhenti cari gue."
Dia melangkah pergi, meninggalkan Marisa yang berdiri terpaku di tengah keramaian perpustakaan. Namun di balik sikap dinginnya, hati Andi terasa berat. Keputusan itu, meski ia yakini benar, terus menghantui pikirannya.
Sementara itu, Marisa memandang punggung Andi yang semakin menjauh. Dia menggenggam erat tasnya, berjanji dalam hati bahwa ini belum selesai. Dia tidak akan menyerah sampai Andi kembali ke hidupnya.
Malam itu, suasana di aula kampus penuh dengan sorakan dan tepuk tangan. Pentas seni menjadi ajang untuk para mahasiswa menunjukkan bakat mereka. Ketika nama Andi dipanggil, ruangan mendadak hening, menunggu apa yang akan ia persembahkan.
Andi naik ke atas panggung dengan gitar di tangannya. Wajahnya terlihat tenang, namun matanya menyiratkan sesuatu yang dalam. Tanpa banyak kata, ia duduk di depan mikrofon dan mulai memetik senar gitarnya.
Nada-nada awal lagu "Nada Ku Terhenti" mengalun lembut, memenuhi ruangan dengan keheningan yang penuh makna. Saat Andi mulai bernyanyi, suaranya yang khas berhasil menyentuh setiap hati yang mendengarnya:
"Maafkan ku tak datang...
Meredup ku tergantikan bintang.
Ada sebab yang tak dapat ku tentang.
Hadirat mu terabai ikhlas kan ku berpaling melambai."
Di tengah kerumunan, Marisa duduk di barisan belakang. Saat ia mendengar lirik itu, hatinya terasa ditusuk. Setiap kata seperti menggambarkan rasa sakit dan penyesalan yang selama ini dirasakan Andi, dan itu membuat air matanya mulai mengalir tanpa ia sadari.
"Adakah mungkin... Sudi mu yakin...
Berjalanlah sampai nanti, nada ku terhenti."
Andi menutup lagunya dengan sebuah petikan gitar terakhir yang sendu. Tepuk tangan menggema di aula, tetapi Andi hanya tersenyum kecil, mengucapkan terima kasih, dan turun dari panggung tanpa ekspresi.
Di sudut aula, Marisa mengusap air matanya dengan punggung tangan. Lagu itu bukan hanya sebuah pertunjukan—itu adalah pesan dari Andi yang tak terucap.
Setelah acara selesai, Marisa mencoba mencarinya di kerumunan, tapi Andi menghilang seperti bayangan, lagi-lagi menghindar dari dirinya. Namun, Marisa tidak akan menyerah. Dia tahu, hati Andi masih memendam rasa yang sama.
Marisa terus berkeliling, menanyakan Andi kepada teman-temannya yang mungkin tahu keberadaannya. Tapi jawaban yang ia dapatkan selalu sama—nihil. Tak ada yang tahu di mana Andi, bahkan para sahabat dekatnya. Semua seolah lenyap begitu saja tanpa jejak.
Hari-hari berlalu, dan meski telah mencari ke seluruh penjuru, Marisa tak kunjung menemukan jejak Andi. Setiap malam, pikirannya selalu kembali padanya. Kenangan akan Andi seolah tak pernah memudar, bahkan semakin menguat seiring berjalannya waktu.
Patah hati dan kecewa, Marisa mulai merasakan bahwa hidupnya tak lagi sama. Ia merasa seperti kehilangan sebagian dari dirinya. Namun, dalam hati kecilnya, harapan untuk bertemu dengan Andi kembali selalu bertahan, meski kabar tentangnya semakin memudar.
"Dimana kamu, Andi?" batinnya, berharap suatu saat nanti, dia akan kembali.
Laras, ibu tiri Marisa, yang sejak lama mengenal perasaan dan perjalanan hidupnya, mendengar isak tangis dari kamar Marisa. Tanpa ragu, Laras mengetuk pintu kamar dan masuk dengan penuh perhatian.
"Marisa, kamu baik-baik saja?" tanya Laras lembut, duduk di sisi tempat tidur dengan penuh empati.
Marisa hanya terisak, tak mampu berkata-kata. Laras merangkulnya, mencoba memberikan ketenangan yang Marisa butuhkan.
"Sudahlah, jangan menangis seperti ini. Aku tahu kamu masih berharap dia kembali, tapi kadang hidup memang berjalan begitu. Andi mungkin bukan bagian dari takdirmu sekarang, tapi kamu kuat, Marisa," Laras mencoba menguatkan.
Marisa menghela napas, menghapus air matanya perlahan. "Aku tahu, Laras. Tapi kenapa semuanya terasa begitu kosong tanpa dia?" tanyanya pelan.
Laras menggenggam tangan Marisa, memberikan ketenangan dan dukungan. "Kadang, kamu harus membiarkan waktu yang menyembuhkan. Dan siapa tahu, takdir mempertemukanmu kembali dengan dia di waktu yang tepat."
Mereka duduk bersama, berbagi ketenangan dalam keheningan malam.