Chereads / Streamer Secret / Chapter 30 - Bab 30

Chapter 30 - Bab 30

Hari itu, Andi mengantarkan Marisa pulang ke rumahnya dan bertemu dengan ayah dan ibu Marisa. Namun, yang membuat Andi kaget adalah ketika melihat ibu Marisa yang tampak seperti wanita berusia 30 tahunan.

Andi mencoba tetap tenang meskipun pikirannya bergejolak. Laras, ibu Marisa, mengenakan dress sederhana namun elegan yang membungkus tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya bercahaya, dan senyumnya yang hangat membuat suasana menjadi lebih akrab.

"Mas Andi, ini ayah dan ibuku," ucap Marisa sambil memperkenalkan mereka.

"Senang bertemu dengan Anda, Pak, Bu," sapa Andi sopan, mencoba menjaga pandangannya agar tidak terlalu lama tertuju pada Laras.

Ayah Marisa, seorang pria paruh baya dengan penampilan yang tegas, menjabat tangan Andi dengan erat. "Senang akhirnya bisa bertemu denganmu, Andi. Marisa banyak bercerita tentangmu."

Sementara itu, Laras menatap Andi dengan mata yang tampak penuh perhatian. "Kami sudah lama ingin mengenal kamu lebih dekat. Marisa bilang, kamu orang yang sangat spesial baginya," katanya sambil tersenyum manis.

Andi hanya tersenyum, merasa canggung dengan pujian itu. Namun, perhatian Laras yang begitu intens membuat Andi sedikit tidak nyaman. Dia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara wanita itu berbicara dan memandangnya.

Setelah berbasa-basi sejenak, Laras beranjak ke dapur untuk menyiapkan minuman. Ketika dia kembali dengan nampan berisi teh, Andi tak bisa mengalihkan pandangannya. Laras membawa diri dengan keanggunan yang luar biasa, seolah-olah waktu tidak pernah meninggalkan jejak di wajah atau tubuhnya.

Marisa menyenggol lengan Andi, membuatnya tersadar dari lamunannya. "Mas, kenapa sih bengong mulu?" tanya Marisa dengan nada menggoda.

Andi tersenyum canggung. "Enggak, cuma lagi mikir aja."

Marisa akhirnya memberitahu Andi dengan berbisik, "Dia sebenarnya istri baru ayahku. Ibu kandungku sudah lama meninggal saat aku masih kecil," ucap Marisa pelan, memastikan ayah dan Laras tidak mendengar.

Andi melirik Laras lagi, kini dengan pemahaman baru. Wanita itu memang terlalu muda dan cantik untuk menjadi ibu biologis Marisa. Pikiran Andi mulai berputar, membayangkan bagaimana Laras bisa memikat ayah Marisa. Namun, dia mencoba menahan dirinya agar tidak terlihat terlalu tertarik.

"Jadi, dia itu... ibu tirimu?" tanya Andi pelan, memastikan.

Marisa mengangguk sambil menyandarkan tubuhnya ke bahu Andi. "Iya, tapi aku nggak pernah anggap dia seperti itu. Dia lebih seperti teman sih. Bahkan, aku nggak pernah panggil dia 'ibu'."

"Kenapa?" Andi bertanya sambil menatap Marisa dengan penuh rasa ingin tahu.

"Karena aku tahu dia cuma nikah sama ayah demi harta," jawab Marisa dengan nada datar. "Dia nggak pernah benar-benar peduli sama keluarga ini. Dia lebih sering sibuk dengan penampilannya dan... ya, urusan lain."

Pernyataan itu membuat Andi semakin penasaran. Namun sebelum dia bisa bertanya lebih jauh, Laras mendekat ke meja mereka, membawa tambahan camilan.

"Marisa, kamu nggak kasih tahu kalau pacarmu ini tampan juga ya," ucap Laras dengan nada menggoda sambil menatap Andi.

Marisa tertawa kecil, namun Andi hanya bisa tersenyum canggung. Ada sesuatu dalam tatapan Laras yang membuatnya merasa tidak nyaman—seolah wanita itu menilai dirinya dengan cara yang berbeda.

Sore itu, meskipun suasana terlihat santai, Andi merasakan ada ketegangan tak kasat mata. Dia tahu, hubungan dengan Marisa saja sudah cukup rumit. Kini, kehadiran Laras membuka potensi konflik yang jauh lebih besar.

Tiba-tiba Ayah Marisa datang bergabung ke meja mereka. Pria paruh baya itu menatap Andi dengan tajam sebelum bertanya, "Kamu kerjanya apa?"

Andi tersenyum sopan, mencoba menjaga kesan baik di depan orang tua Marisa. "Anak band, Pak."

Ayah Marisa langsung menaikkan alisnya, wajahnya berubah serius. "Kamu mau ngasih makan anakku pakai musik? Mau jamin masa depannya dengan gitar?" tanyanya dengan nada agak geram.

Andi merasa sedikit terpojok, tapi dia tetap tenang. "Saya paham, Pak, pekerjaan saya mungkin nggak kelihatan stabil. Tapi saya serius sama Marisa, dan saya juga kerja keras untuk itu."

Marisa mencoba menengahi, "Yah, Andi ini streamer terkenal juga. Dia punya banyak penghasilan dari live streaming dan main game. Jangan diremehkan dulu."

Namun, respons itu justru membuat ayahnya semakin skeptis. "Streamer? Jadi, kerjaan kamu cuma nongkrong depan kamera sambil main game? Anak muda zaman sekarang memang aneh," gumamnya dengan nada sarkastik.

Laras, yang duduk di sebelah, ikut angkat bicara. "Pak, jangan terlalu keras sama anak muda. Mereka kan punya cara sendiri buat sukses," ucapnya sambil tersenyum lembut pada Andi.

Andi melirik Laras, merasa sedikit lega ada yang membelanya. Namun, tatapan Laras yang terlalu ramah membuatnya sedikit canggung.

"Baik, saya nggak akan memaksakan apa-apa. Tapi ingat, Andi," lanjut ayah Marisa dengan nada tegas, "Kalau kamu serius sama Marisa, buktikan dengan tindakan, bukan cuma janji-janji kosong. Jangan buat anak saya menderita."

Andi mengangguk mantap. "Siap, Pak. Saya akan buktikan."

Marisa tersenyum puas melihat Andi mampu menjawab ayahnya dengan percaya diri. Namun di sisi lain, Andi tahu bahwa memenangkan kepercayaan ayah Marisa bukanlah hal mudah—terutama dengan kehadiran Laras, yang kini menjadi sosok baru yang menarik perhatiannya di rumah itu.

Tiga bulan berlalu sejak pertemuan Andi dengan keluarga Marisa. Hari itu, Andi menerima kabar mengejutkan dari Marisa saat mereka sedang berbincang di telepon.

"Aku dijodohin, Ndi," ujar Marisa dengan nada lemas.

Andi, yang sedang duduk di kursi depan laptopnya, langsung terdiam sejenak. "Jodohin? Sama siapa?" tanyanya, mencoba menahan kekesalannya.

"Katanya sama pengusaha kaya. Ayah udah setujuin. Mereka bilang ini buat masa depan aku," jawab Marisa dengan nada kesal dan kecewa.

Andi mengepalkan tangannya. "Gila, Cha! Lo nggak bilang ke mereka kalau lo udah punya gue?"

"Udah, Ndi! Tapi mereka nggak peduli. Buat mereka, kamu nggak lebih dari anak band dan streamer. Ayah bilang gue butuh cowok yang 'mapan,' bukan yang cuma 'punya mimpi,'" sahut Marisa, suaranya terdengar lirih.

Andi menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Terus, lo mau nurut gitu aja?"

"Aku nggak tahu harus gimana, Ndi," jawab Marisa dengan suara hampir menangis. "Gue nggak punya kuasa buat lawan keputusan mereka. Lo tahu sendiri, ayah gue keras kepala."

Andi terdiam. Di dalam hatinya, rasa marah dan kesal bercampur menjadi satu. Dia ingin melawan, tapi dia juga sadar bahwa posisinya jauh lebih rendah di mata keluarga Marisa.

"Gue bakal cari cara," ucap Andi akhirnya.

"Cara apa?" tanya Marisa, penuh harap.

"Pokoknya, gue nggak bakal biarin lo dijodohin sama siapa pun. Lo milik gue, Cha," jawab Andi tegas.

Di ujung telepon, Marisa tersenyum tipis meski air matanya masih mengalir.

Andi, dengan pakaian terbaik yang dimilikinya, memberanikan diri datang ke acara pertunangan Marisa. Sebuah pesta mewah diadakan di hotel bintang lima, penuh dengan tamu-tamu berpakaian glamor dan suasana yang memancarkan kemewahan. Namun, sejak awal dia melangkah masuk, sorot mata para tamu sudah menusuknya, seperti menyiratkan bahwa dia tidak pantas berada di sana.

Saat dia berhasil menemukan Marisa di tengah kerumunan, seorang pria yang lebih tua—ayah Marisa—datang menghampirinya dengan wajah penuh amarah.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya ayah Marisa, suaranya cukup keras sehingga menarik perhatian tamu-tamu di sekitar mereka.

Andi tetap tenang. "Saya datang untuk bicara sama Marisa, Pak."

"Bicara? Kamu pikir ini tempat buat anak jalanan kayak kamu?!" bentak ayah Marisa.

Ucapan itu langsung membuat suasana di sekitar mereka sunyi. Semua mata tertuju pada Andi.

"Pak, saya cuma—"

"Cuma apa?! Kamu nggak sadar diri ya? Lihat dirimu! Dengan apa kamu mau kasih makan anak saya? Dengan gitar bututmu? Dengan mimpi-mimpi kosongmu?" Ayah Marisa mendekat, menatap Andi dengan tajam.

Andi mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosinya. "Saya mungkin bukan orang kaya, Pak. Tapi saya benar-benar cinta sama Marisa."

"Cinta?! Cinta nggak akan kasih rumah mewah, mobil, atau masa depan cerah buat anak saya!" jawab ayah Marisa sinis. "Kamu tahu kenapa saya pilih pengusaha itu buat Marisa? Karena dia punya segalanya, sedangkan kamu? Kamu cuma sampah!"

Marisa, yang berdiri tak jauh, mendengar semua itu dengan air mata berlinang. Namun, dia tak berani melawan ayahnya di depan semua tamu.

Andi memandang Marisa sejenak, lalu kembali menatap ayahnya. "Pak, saya memang bukan siapa-siapa di mata bapak. Tapi suatu hari, saya akan jadi seseorang yang bapak sendiri nggak pernah bayangkan. Dan waktu itu tiba, saya akan datang lagi untuk Marisa."

Andi berbalik, meninggalkan pesta dengan kepala tegak, meskipun hatinya terasa seperti dihancurkan berkeping-keping.