Setibanya di rumah, Andi menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, mencoba menghilangkan rasa lelah yang menumpuk dari semua pengalaman dan kejadian di desa. Pikirannya melayang, mengenang momen-momen intens yang ia alami, hingga terasa hampir seperti mimpi.
"Semua yang terjadi di sana... seperti cerita yang terlalu gila untuk dipercaya," gumamnya sambil menatap langit-langit kamar.
Namun, ada rasa lega yang menyelimuti hatinya. Desa itu kini menjadi bagian dari hidupnya, dengan jejak dirinya yang tertinggal di sana melalui Nina, Aira, dan para wanita lain yang sudah begitu dekat dengannya.
Andi mencoba menenangkan diri. Hidup di kota memiliki ritmenya sendiri—kesibukan kuliah, teman-teman yang menanyakan kabarnya, dan tentu saja, pekerjaan streaming yang sempat ia tinggalkan. Tapi di balik semua itu, ada rasa kerinduan yang mulai tumbuh. Ia sadar bahwa meski kembali ke kehidupannya di kota, desa itu akan selalu memanggilnya suatu saat nanti.
Setelah mandi dan berganti pakaian, Andi duduk di depan laptopnya. Pesan-pesan dari teman-temannya bertubi-tubi masuk, menanyakan ke mana ia menghilang selama ini. Namun, ia hanya tersenyum kecil dan membalas singkat.
"Aku butuh waktu untuk diriku sendiri," tulisnya.
Andi menghela napas panjang saat melihat nama Marisa terpampang di layar ponselnya. Dengan enggan, ia menjawab telepon tersebut.
"Halo, Marisa," ucap Andi, mencoba terdengar tenang meskipun ia tahu amarah akan segera menghujaninya.
"Jadi akhirnya kamu ingat aku juga, ya? Ke mana aja, Andi? Gak ada kabar sama sekali selama berminggu-minggu! Apa aku ini gak penting buat kamu?" suara Marisa terdengar penuh emosi, campuran antara marah dan kecewa.
Andi mengusap wajahnya dengan satu tangan. Ia tahu ia salah karena menghilang begitu saja, terutama tanpa memberitahu Marisa, yang sudah lama memiliki hubungan istimewa dengannya meskipun statusnya adalah pacar orang lain.
"Aku minta maaf, Marisa," kata Andi pelan. "Aku sibuk banget dengan tugas KKN di desa terpencil. Gak ada sinyal, gak ada internet. Aku bahkan hampir gak bisa bertahan di sana."
"Desa terpencil? Memangnya tugas KKN segitu beratnya sampai kamu lupa sama aku?" tanya Marisa, suaranya sedikit melunak, tetapi masih menyimpan rasa kesal.
Andi mencoba menjelaskan dengan tenang. "Kamu gak akan percaya kalau aku cerita semua yang terjadi di sana. Tapi aku janji, aku gak ada maksud buat ninggalin kamu atau bikin kamu marah. Aku cuma... ya, banyak hal yang harus diurus."
Hening sejenak di telepon. Andi bisa merasakan Marisa sedang mencoba menahan emosinya.
"Baiklah," kata Marisa akhirnya, suaranya terdengar lebih lembut. "Tapi aku mau ketemu kamu. Kita perlu bicara. Kamu gak bisa terus kayak gini, Andi."
Andi mengangguk meskipun Marisa tidak bisa melihatnya. "Oke. Kita ketemu, aku akan datang ke tempat kamu besok. Aku janji."
"Baik. Jangan lupa ya. Kalau kamu sampai lupa lagi, jangan harap aku mau bicara sama kamu lagi," ancam Marisa sebelum menutup telepon.
Andi meletakkan ponselnya di meja dan menghela napas panjang. Dia tahu pertemuan dengan Marisa esok hari mungkin akan menjadi awal dari masalah baru.
Pagi hari di depan rumah Marisa, Andi tiba dengan motor bututnya. Dia mengenakan jaket kusam dan helm yang agak usang. Satpam di gerbang memperhatikan Andi dengan tatapan curiga.
"Hei, mau apa kamu di sini? Ini kawasan elit, gak sembarang orang boleh masuk," tanya satpam dengan nada dingin.
Andi mencoba bersikap sopan. "Saya di sini mau jemput teman, Pak. Namanya Marisa."
"Marisa?" Satpam tertawa kecil dengan nada meremehkan. "Mana mungkin nona Marisa punya teman kayak kamu? Jangan ngada-ngada, deh. Pergi sebelum saya laporkan!"
Andi tetap tenang. "Pak, saya serius. Tolong panggil Marisa kalau gak percaya. Saya cuma mau jemput dia."
"Hah, saya gak mau buang waktu. Kamu orang kayak gini pasti mau cari masalah. Udah, pergi sana!" Satpam mulai mendekat dengan sikap mengusir.
Tiba-tiba, Marisa keluar dari rumahnya dengan raut wajah kesal. "Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut di depan rumah?"
Satpam berbalik dan memberi hormat. "Maaf, Nona Marisa. Ada orang aneh ngaku-ngaku mau jemput Anda. Saya lagi usir dia."
Marisa memandang Andi, lalu menatap tajam ke arah satpam. "Orang aneh? Kamu bilang Andi, teman aku, orang aneh?"
"Tapi, Nona, dia datang naik motor tua itu..." Satpam mencoba menjelaskan.
"Jadi kalau orang naik motor tua gak boleh ke sini? Dia temen aku, ngerti? Kalau kamu usir dia lagi, aku pastikan kamu gak kerja di sini besok!" Marisa berkata tegas.
Satpam tertegun, bingung. "Maaf, Nona. Saya gak tahu..."
"Udah, gak usah ngomong lagi. Buka gerbangnya sekarang." Marisa menatapnya dengan tajam.
Satpam membuka gerbang dengan canggung. Marisa mendekati Andi, menatapnya dengan sedikit kesal sekaligus lega.
"Kenapa kamu gak bilang aku buat turun aja? Lihat nih, kamu bikin ribut," ujar Marisa sambil menghela napas.
Andi tersenyum kecil. "Aku kan gak tahu satpam di sini bakal segalak itu. Maaf ya."
"Udah, ayo kita pergi. Jangan peduliin mereka lagi." Marisa melangkah ke motor Andi.
Andi mengangguk dan menunggu Marisa naik ke motornya. Satpam hanya bisa menatap dengan rasa bersalah ketika motor Andi perlahan meninggalkan tempat itu.
"Lo gak masalah, Cha, naik motor kayak gini?" tanya Andi sambil menoleh ke arah Marisa yang sudah duduk di jok belakang motornya.
Marisa hanya menghela napas sambil melingkarkan tangannya di pinggang Andi. "Masalah sih enggak. Tapi lo gak kasihan sama gue yang harus dandan cantik-cantik buat naik motor butut kayak gini?"
Andi terkekeh kecil. "Gue kira lo bakal nolak, Cha. Biasanya cewek kayak lo lebih milih naik mobil, kan?"
Marisa menepuk pelan bahu Andi. "Andi, yang gue cari bukan kendaraan lo, tapi lo-nya. Jadi udah, jalan aja. Jangan banyak alasan."
Andi tersenyum tipis. "Baiklah, Putri Marisa. Siap kita jalan sekarang."
Motor Andi pun mulai melaju pelan, meninggalkan komplek perumahan itu. Sesekali terdengar tawa kecil dari Marisa, seolah menikmati pengalaman sederhana itu meskipun dalam hati dia masih gemas dengan keadaan Andi.
Mereka duduk di sudut sebuah kafe kecil yang tenang, dengan secangkir kopi di tangan Andi dan minuman cokelat dingin di tangan Marisa.
"Jadi, lo udah putus sama Dimas? Sejak kapan?" tanya Andi sambil menyeruput kopinya.
Marisa memainkan sedotan di gelasnya, pandangannya menerawang. "Beberapa bulan yang lalu. Kayaknya nggak lama setelah lo mulai sibuk KKN."
Andi mengangkat alis, terkejut. "Jadi, selama gue di desa, lo udah sendiri gitu?"
Marisa tersenyum miring, menatap Andi dengan tatapan penuh arti. "Ya, gitu deh. Lo nggak balik-balik, gue nggak punya siapa-siapa buat diajak curhat. Jadi ya, akhirnya semuanya bubar."
"Kan, udah gue suruh lo jangan putus sama Dimas," ucap Andi sambil menggeleng pelan, mencoba menahan senyum.
Marisa memutar sedotannya di gelas, lalu menatap Andi dengan ekspresi menggoda. "Yaela, Nd, dia ngajakin gue cek in. Lo pikir gue bakal ngasih tubuh gue ke dia?"
Andi terdiam sejenak, menatap Marisa dengan tatapan serius bercampur geli. "Terus, buat siapa dong?"
Marisa mendekatkan wajahnya sedikit ke arah Andi, bibirnya membentuk senyuman tipis. "Tubuh gue kan cuma buat lo, Nd," godanya dengan nada lembut namun penuh arti.
Andi tersenyum kecut, berusaha tetap tenang meskipun jelas godaan itu membuat darahnya berdesir. "Lo ngaco banget, Ris. Tapi gue nggak bisa bohong, itu lumayan bikin gue seneng."
Marisa tertawa kecil, lalu kembali menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Ya udah, Nd. Jadi sekarang lo tahu, jangan sampai ngecewain gue lagi."
"Jadi lo mau jadi cewek gue, Cha?" goda Andi sambil menyeringai, matanya penuh arti.
Marisa mendengus sambil menyilangkan tangan di dada, tapi bibirnya tersenyum kecil. "Eh, cok, lo udah ngambil perawan gue, terus lo masih nanya?" balasnya sambil menatap Andi tajam tapi dengan nada bercanda.
Andi tertawa pelan, menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Ya kan gue cuma pengen lo ngomong langsung. Biar jelas aja."
Marisa mendekatkan wajahnya ke arah Andi, jarak mereka hanya beberapa sentimeter. "Kalau itu yang lo mau denger... iya, Nd, gue cuma mau jadi cewek lo," bisiknya pelan tapi penuh keyakinan.
Andi tersenyum puas, lalu mengusap pelan rambut Marisa. "Good. Gue janji bakal jagain lo, Ris."
Marisa tersenyum lebar, kemudian kembali bersandar di kursinya sambil menyeruput minumannya. "Ya udah, jagain gue yang bener, Nd. Jangan kebanyakan gaya."
Andi tertawa lagi, suasana di antara mereka terasa semakin hangat.