Chereads / Streamer Secret / Chapter 26 - Bab 26

Chapter 26 - Bab 26

Saat tengah malam, suasana desa yang biasanya sunyi berubah menjadi hiruk-pikuk. Beberapa penduduk berlari menuju rumah kepala desa sambil membawa obor. Salah seorang penduduk mengetuk pintu rumah Andi dengan keras, membangunkan Andi, Aira, dan Nina dari tidur mereka.

"Andi, ada kabar buruk! Jaki, suami Dian, telah mati dibunuh oleh beruang saat berburu!" seru seorang pria dengan nada panik.

Andi terdiam sesaat, memproses kabar mengejutkan itu. Meski hubungannya dengan Dian penuh rahasia, ada rasa campuran di dalam dirinya—antara simpati dan peluang. Dia bergegas keluar menuju rumah Dian, tempat para penduduk sudah berkumpul. Dian terlihat menangis tersedu-sedu di teras rumahnya, dikelilingi oleh beberapa wanita yang mencoba menenangkannya. Matanya yang sembab penuh dengan air mata menatap tubuh suaminya yang terbujur kaku, dengan luka besar di dadanya yang menjadi bukti keganasan serangan beruang.

Andi mendekatinya perlahan, meletakkan tangan di bahu Dian untuk memberi dukungan. "Dian, aku turut berduka. Jika ada yang bisa aku lakukan untuk membantu, katakan saja," ucap Andi dengan suara lembut.

Dian mengangguk kecil tanpa berkata apa-apa, masih terisak. Para penduduk mulai berdiskusi tentang penguburan Jaki, yang rencananya akan dilakukan keesokan harinya. Kepala desa memutuskan bahwa Andi, sebagai sosok yang dihormati di desa karena kontribusinya, akan memimpin doa dalam upacara pemakaman.

Malam itu, saat kembali ke rumahnya, Andi tak bisa tidur. Pikiran tentang Dian terus memenuhi benaknya. Kematian Jaki memang tragedi, tetapi di balik itu semua, Andi melihat sebuah kesempatan. "Sekarang, Dian sepenuhnya bebas," pikirnya. Namun, dia juga menyadari bahwa dia harus berhati-hati, karena banyak mata di desa ini yang terus mengawasinya.

Di dalam rumah, Aira dan Nina mencoba menenangkannya, sadar bahwa Andi sedang memikirkan sesuatu. "Mas, apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanya Aira pelan.

Andi tersenyum tipis. "Aku akan memastikan Dian tidak merasa sendirian," jawabnya penuh arti.

Di siang harinya, Andi memanfaatkan waktu untuk bekerja di bengkel kecil yang ia buat di sudut rumahnya. Dengan peralatan seadanya, ia merancang sebuah alat tenun sederhana. Alat itu dirancang untuk membantu penduduk desa yang selama ini hanya menggunakan bahan seadanya untuk menutupi tubuh mereka. Namun, kali ini, Andi memiliki ide unik—ia ingin membuat kain yang lebih tahan lama, lentur, dan mudah dirawat dengan memanfaatkan campuran serat alami dan getah karet yang ia temukan di hutan sekitar desa.

Andi mulai dengan membuat kerangka kayu untuk alat tenunnya. Ia memotong kayu dengan hati-hati, menyatukan potongan-potongan itu dengan pasak dan tali rotan. Setelah itu, ia menciptakan mekanisme sederhana untuk menarik dan mengatur serat kain. Dalam prosesnya, ia juga mencairkan getah karet dan mencampurkannya dengan serat tanaman yang ia kumpulkan.

Dian, yang baru saja kembali dari rumahnya setelah acara pemakaman suaminya, mendekati Andi dengan raut wajah penuh rasa penasaran. "Mas, apa yang sedang kamu buat?" tanyanya sambil mengamati alat yang sedang dirakit oleh Andi.

Andi tersenyum kecil. "Aku sedang mencoba membuat kain yang lebih baik untuk kita semua di desa ini. Dengan alat ini, kita bisa membuat pakaian yang lebih nyaman, dan dengan getah karet ini, kainnya akan lebih lentur dan tahan lama," jelas Andi.

Dian mengangguk pelan, meski ia tampak belum sepenuhnya memahami konsep itu. "Aku tidak tahu kalau getah karet bisa digunakan seperti itu. Mas Andi memang pintar," pujinya.

Tidak lama kemudian, Nina dan Aira juga datang menghampiri, membawa segelas air untuk Andi. "Mas, apa aku boleh membantu?" tanya Nina dengan semangat.

Andi menyambut tawaran mereka dengan senang hati. Dia membagi tugas: Nina dan Aira membantu mengolah serat, sementara Dian membantu menyiapkan getah karet. Dalam beberapa jam, alat tenun itu mulai berfungsi, menghasilkan potongan kain pertama yang terlihat berbeda dari yang pernah digunakan oleh penduduk desa.

"Mas, kain ini terasa lebih lembut dan kuat!" seru Aira dengan mata berbinar saat menyentuh kain yang dihasilkan.

Nina mendekat perlahan, membawa secangkir teh hangat yang dia siapkan sendiri untuk Andi. Dengan senyuman manis, dia duduk di pangkuan Andi tanpa ragu, melingkarkan lengannya di leher pria itu. Gerakan Nina begitu lembut dan penuh kemanjaan, mungkin karena usianya yang masih sangat muda, baru 15 tahun, membuatnya terlihat polos namun menggoda di saat yang bersamaan.

"Mas, kamu hebat sekali," ucap Nina dengan suara lembut, memandang hasil kain yang baru saja selesai ditenun Andi. "Aku ingin jadi yang pertama memakai kain buatanmu."

Andi tersenyum kecil sambil mengusap kepala Nina. "Tentu saja, Nina. Aku akan buatkan pakaian khusus untukmu. Tapi, kamu harus sabar ya," balas Andi sambil menatap mata Nina yang berbinar.

Aira, yang melihat kemanjaan Nina, hanya tersenyum sambil menggeleng pelan. "Nina, kamu tidak malu manja seperti itu sama Mas Andi? Anak seumuranmu seharusnya lebih sopan," goda Aira dengan nada setengah bercanda.

Namun, Nina malah semakin erat memeluk Andi. "Biar saja, Mbak Aira. Aku suka Mas Andi, dia baik sekali," balas Nina sambil menyandarkan kepalanya di dada Andi.

Andi hanya tertawa kecil melihat tingkah laku Nina yang begitu manja. "Kamu ini seperti anak kecil saja, Nina," ucapnya lembut, meskipun dia sebenarnya menikmati kehangatan dan perhatian dari Nina.

Dian, yang sedang menyiapkan makan siang di dapur, melirik sekilas ke arah mereka dan tersenyum kecil. "Mas Andi, jangan terlalu memanjakan Nina. Dia sudah cukup manja sejak dulu," tegur Dian dengan nada lembut.

Andi mengangguk sambil mengelus pipi Nina. "Aku tahu, Dian. Tapi Nina ini memang berbeda. Dia membuatku merasa ingin selalu menjaganya," balas Andi, yang membuat wajah Nina memerah malu.

Setelah menyelesaikan pakaian yang dibuat dari kain khusus yang ia tenun sendiri, Andi memperhatikan hasilnya dengan puas. Celana pendek yang sedikit ketat untuk Aira dan Nina tampak sederhana tetapi tetap menonjolkan keindahan tubuh mereka. Ditambah dengan bra yang ia rancang, pakaian tersebut memberikan kesan elegan namun tetap menjaga privasi.

Andi menyerahkan pakaian itu kepada Aira dan Nina. "Mulai sekarang, kalian pakai ini kalau ada orang lain di sekitar. Aku tidak ingin tubuh wanita-wanitaku dilihat oleh orang lain," ucapnya dengan nada tegas, namun ada sentuhan lembut di matanya.

Aira mencoba pakaian itu terlebih dahulu. Dia berdiri di depan Andi sambil memutar tubuhnya. "Mas, ini nyaman sekali! Tapi kenapa celananya agak ketat, ya?" tanyanya sambil tersenyum genit.

Andi terkekeh kecil. "Supaya aku saja yang bisa menikmati keindahanmu, Aira," jawabnya dengan santai.

Nina, yang sedang mencoba pakaiannya di sisi lain ruangan, terlihat malu-malu. Dia berjalan mendekati Andi sambil menutupi dadanya dengan tangan. "Mas, ini agak aneh. Aku belum pernah pakai yang seperti ini," ujarnya dengan pipi merona.

Andi menarik Nina ke arahnya dan menatapnya lekat. "Kamu terlihat cantik, Nina. Jangan malu. Mulai sekarang, aku ingin kamu terbiasa dengan pakaian seperti ini," ucapnya sambil mengusap lembut pipi Nina.

Dian terdiam mendengar jawaban Andi. Ada sedikit rasa kesal di wajahnya, namun ia mencoba menyembunyikannya. "Kalau begitu, apa yang harus kulakukan agar aku bisa menjadi milikmu, Mas?" tanyanya sambil mendekat, menatap Andi dengan tatapan menggoda.

Andi tersenyum tipis, lalu bangkit dari duduknya. Ia mendekati Dian dan mengusap lembut dagu wanita itu. "Dian, kamu tahu aku selalu memperhatikanmu. Tapi aku ingin kamu datang padaku karena benar-benar ingin menjadi milikku, bukan hanya karena kamu kesepian setelah kepergian suamimu," ucapnya dengan nada serius, tetapi matanya memancarkan hasrat yang terpendam.

Dian menelan ludah, hatinya berdebar mendengar jawaban itu. "Mas, aku sudah lama mengagumimu. Bahkan sebelum Jaki pergi, aku sudah merasakan sesuatu yang berbeda padamu," ungkap Dian dengan jujur.

Andi tersenyum lebih lebar, lalu menarik Dian ke dalam pelukannya. "Kalau begitu, buktikan kalau kamu benar-benar ingin jadi milikku," bisiknya tepat di telinga Dian.

Dian mengangguk pelan, tetapi Andi melepaskan pelukannya dan melangkah mundur. "Tapi tidak sekarang, Dian. Aku ingin kamu benar-benar yakin dengan keputusanmu. Aku tidak ingin kamu menyesal nantinya," tambahnya, meninggalkan Dian dengan perasaan campur aduk.

Aira dan Nina, yang mendengar percakapan itu dari kejauhan, saling bertukar pandang. Mereka merasa lega sekaligus penasaran dengan keputusan Andi. Sementara Dian, yang kini berdiri sendirian di ruangan itu, menggenggam tangan dengan erat. Ia bertekad untuk menunjukkan bahwa ia pantas menjadi bagian dari hidup Andi.