Fajar kembali menyapa dengan cahayanya yang lembut. Dua matahari yang perlahan muncul di langit memancarkan warna keemasan dan jingga, menyinari daun-daun bercahaya yang mengelilingi mereka.
Sari terbangun lebih dulu kali ini. Ia duduk bersandar pada akar pohon, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Tubuhnya terasa lebih ringan dibanding semalam, tetapi pikirannya masih penuh dengan kejadian yang baru saja mereka alami.
Ia menoleh ke sisi lain, tempat Arka terbaring. Ia masih tidur nyenyak, napasnya teratur, tetapi ada sesuatu yang membuat Sari merasa aneh. Ia mengingat dengan jelas luka-luka besar yang diderita Arka semalam—cakaran besar di bahunya, memar di sepanjang tubuhnya, dan bekas darah yang membasahi tanah. Namun, sekarang, tidak ada tanda-tanda luka sama sekali.
Sari mendekat, jantungnya berdebar. Ia memeriksa bahu Arka dengan hati-hati, memastikan matanya tidak salah melihat. Kulitnya bersih, tanpa bekas luka sedikit pun.
"Bagaimana mungkin…?" bisiknya pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba, Arka membuka matanya. Ia langsung duduk, ekspresinya waspada seperti biasa. "Ada apa?" tanyanya, memperhatikan wajah Sari yang penuh kebingungan.
Sari menggeleng pelan. "Arka, tubuhmu… lukamu. Semua… hilang."
Arka memandang dirinya sendiri, alisnya mengerut saat ia meraba bahunya. Ia mengingat rasa sakit yang tajam semalam, bagaimana tubuhnya terasa nyaris hancur setelah melawan makhluk besar itu. Namun sekarang, ia merasa segar, seperti tidak pernah terluka sama sekali.
"Aku tidak tahu…" gumamnya, suaranya penuh kebingungan. "Aku seharusnya tidak bisa bangun secepat ini. Tapi aku merasa… baik-baik saja."
Sari duduk di depannya, menatapnya dengan serius. "Apa kau ingat sesuatu? Mungkin ada hubungannya dengan tubuh kita yang berubah sejak kita tiba di sini."
Arka mengangguk perlahan, mencoba mencerna situasi ini. "Aku merasakan sesuatu sejak pertama kali kita sampai di sini. Tubuhku… lebih kuat. Dan sekarang ini…"
Ia berhenti sejenak, matanya bertemu dengan mata Sari. "Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi mungkin ini bagian dari apa pun yang membawa kita ke dunia ini."
Sari menghela napas, mengalihkan pandangannya ke api kecil yang nyaris padam. "Dunia ini terus memberikan kejutan. Dan aku rasa, kita harus bersiap untuk lebih banyak lagi."
Setelah memastikan tidak ada ancaman langsung di sekitar mereka, Arka dan Sari memutuskan untuk meninggalkan tempat perlindungan mereka dan melanjutkan perjalanan. Mereka berjalan menyusuri tepi sungai kecil, menggunakan alirannya sebagai panduan.
"Kita perlu mencari makanan lagi," kata Arka sambil memandang hutan di depan mereka. "Dan mungkin tempat yang lebih aman untuk berlindung."
Sari mengangguk. "Kalau bisa, aku juga ingin menemukan sesuatu yang bisa kita gunakan untuk melindungi diri. Tongkat kayu itu tidak akan cukup kalau kita bertemu makhluk seperti semalam lagi."
Arka tersenyum samar. "Aku setuju. Kita butuh sesuatu yang lebih tajam. Atau mungkin sesuatu yang bisa digunakan dari jarak jauh."
Sari tertawa kecil. "Seperti panah? Kau mau belajar memanah sekarang?"
"Kenapa tidak? Kalau itu membuat kita tetap hidup, aku akan mencobanya."
Percakapan mereka mengalir dengan nada ringan, meskipun rasa waspada tidak pernah sepenuhnya hilang. Arka berjalan di depan, memastikan jalan mereka aman, sementara Sari mengikuti di belakang, mengamati setiap detail lingkungan sekitar.
Setelah beberapa jam berjalan, mereka menemukan sebuah pohon besar dengan buah berwarna kuning yang menggantung rendah. Buah itu memiliki kulit yang keras, tetapi aromanya manis seperti madu.
Arka memetik salah satu buah dan memeriksanya dengan hati-hati. "Kulitnya terlalu keras untuk dimakan langsung. Kita harus membukanya."
Sari mengambil batu kecil di dekatnya dan menyerahkannya kepada Arka. "Coba gunakan ini."
Arka memukul buah itu dengan batu, dan kulitnya akhirnya retak, memperlihatkan daging buah berwarna oranye di dalamnya. Ia mencium aroma manis yang keluar, lalu mencicipinya dengan hati-hati.
"Manis. Kurasa ini aman," katanya sambil mengangguk ke arah Sari.
Sari mengambil potongan buah itu dan mencicipinya juga. Matanya melebar. "Ini luar biasa. Jauh lebih baik daripada buah ungu semalam."
Mereka memakan buah itu dengan lahap, rasa manisnya memberikan energi baru setelah perjalanan panjang mereka.
Saat mereka melanjutkan perjalanan, Sari mulai memperhatikan lebih banyak tentang flora di sekitar mereka. Ada tanaman merambat yang bersinar lembut di bawah bayangan pohon, bunga-bunga besar yang kelopaknya bergerak seolah bernapas, dan semak-semak dengan duri yang tampak seperti kristal.
"Dunia ini seperti perpaduan antara sains dan keajaiban," gumam Sari sambil menyentuh salah satu bunga yang berwarna biru terang.
Arka menoleh ke arahnya. "Kau pikir kita bisa menggunakan beberapa tanaman ini untuk sesuatu? Mungkin untuk obat atau… senjata?"
Sari mengangguk. "Mungkin. Tapi aku butuh waktu untuk mempelajarinya. Kita harus hati-hati juga. Tidak semua tanaman bisa aman."
Saat mereka berjalan lebih jauh, mereka juga menemukan jejak-jejak hewan kecil yang melintasi tanah lembut. Arka berjongkok untuk memeriksanya.
"Makhluk kecil," katanya. "Mungkin seperti yang kita lihat kemarin."
Sari tersenyum kecil. "Aku berharap kita bertemu lebih banyak makhluk lucu seperti itu. Dunia ini terlalu menakutkan kalau hanya dipenuhi monster besar."
Arka tertawa. "Aku juga berharap begitu. Tapi kita harus tetap siap menghadapi yang lebih buruk."
Saat mereka beristirahat di bawah pohon besar, Sari membuka percakapan. "Arka, apa kau pernah berpikir… kenapa kita yang dibawa ke sini?"
Arka menatap langit, memikirkan pertanyaan itu. "Aku tidak tahu. Tapi aku rasa ada alasan di balik ini semua. Mungkin sesuatu yang lebih besar dari yang bisa kita pahami."
Sari menunduk, memandang tangannya sendiri. "Dan tubuh kita yang berubah… kau pikir itu bagian dari rencana juga?"
Arka mengangguk. "Pasti. Tubuhku tidak mungkin sembuh seperti tadi pagi kalau tidak ada sesuatu yang mengubahnya."
Sari tersenyum tipis. "Kau sangat yakin dengan semua ini. Aku kadang iri dengan ketenanganmu."
Arka menoleh ke arahnya, tersenyum. "Aku tidak selalu tenang. Aku hanya tahu, panik tidak akan membawa kita ke mana-mana. Dan kau tidak perlu iri. Kau punya kelebihanmu sendiri."
Sari tertawa kecil, meskipun pipinya memerah sedikit. "Kelebihan apa? Aku bahkan membeku ketakutan semalam."
"Tapi pada akhirnya, kau yang menyelamatkan kita. Aku pikir itu cukup membuktikan banyak hal."
Sari terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Mungkin kau benar."
Setelah beristirahat, mereka melanjutkan perjalanan menyusuri hutan yang semakin lebat. Semakin jauh mereka masuk, semakin banyak suara aneh yang terdengar di sekeliling mereka.
Burung-burung kecil dengan bulu bercahaya berkicau di atas dahan, suaranya seperti lonceng kristal yang dipukul lembut. Di kejauhan, terdengar suara gemuruh rendah, seperti hewan besar yang bergerak perlahan.
Arka melangkah hati-hati, memastikan tidak ada bahaya yang mendekat. Tombak kayunya tetap dalam genggaman, meskipun ia tahu itu mungkin tidak cukup jika mereka bertemu dengan makhluk besar seperti sebelumnya.
Sari berjalan di belakangnya, matanya terus memperhatikan setiap detail. Sesekali, ia berhenti untuk mengamati bunga atau tanaman yang menarik perhatiannya.
"Kau tidak merasa ini terlalu… tenang?" tanya Sari, memecah keheningan.
Arka menoleh sebentar, lalu mengangguk. "Ya. Dunia ini indah, tapi aku tidak percaya. Di tempat seperti ini, keheningan bisa jadi tanda buruk."
"Kau selalu waspada," kata Sari sambil tersenyum tipis. "Itu salah satu hal yang kusukai darimu."
Arka tertawa kecil. "Salah satu, ya? Apa ada yang lain?"
Sari menatapnya dengan tatapan sedikit bingung, lalu segera mengalihkan pandangannya. "Tidak usah diteruskan. Itu hanya… yah, kau tahu maksudku."
Arka mengangkat bahu, senyum kecil masih terlihat di wajahnya. "Aku akan mengingat itu. Tapi fokus dulu. Kita masih belum tahu apa yang ada di depan."
Mereka kembali mengikuti aliran sungai, kali ini menuju area yang lebih dalam di hutan. Air sungai menjadi lebih deras, dan bebatuan besar muncul di sepanjang aliran.
Ketika mereka mencapai sebuah tikungan, mereka menemukan sesuatu yang menarik: sebuah pohon besar dengan akar yang menjorok ke sungai, membentuk semacam jembatan alami. Di bawahnya, air mengalir jernih, memantulkan cahaya matahari seperti permata yang bergerak.
Arka menghentikan langkahnya, matanya memandang ke arah pohon itu dengan rasa ingin tahu. "Tempat ini…" gumamnya. "Kurasa kita bisa berlindung di sini untuk sementara."
Sari memandang ke sekeliling, memperhatikan betapa teduh dan terlindungnya area itu. "Kau pikir di sini cukup aman?"
Arka mengangguk. "Untuk sementara. Setidaknya sampai kita bisa menemukan sesuatu yang lebih baik."
Mereka memutuskan untuk berhenti sejenak di tempat itu. Sari mencuci tangan dan wajahnya di sungai, sementara Arka mulai memotong beberapa ranting kecil untuk membuat api.
Ketika api kecil menyala, Sari duduk di dekatnya sambil mengeringkan tangannya. Arka duduk di seberangnya, memandang nyala api dengan tatapan serius.
"Arka, kau pikir… apa tujuan kita di sini?" tanya Sari tiba-tiba.
Arka menatapnya, lalu menghela napas. "Aku tidak tahu. Tapi aku yakin ini bukan kebetulan. Sesuatu—atau seseorang—membawa kita ke sini. Dan aku rasa, itu bukan tanpa alasan."
Sari menunduk, tangannya memainkan beberapa daun yang ia temukan di sepanjang jalan. "Aku terus memikirkan apa yang terjadi di Bumi. Bagaimana kalau… ini hukuman? Untuk apa yang telah kita lakukan di sana?"
Arka menggeleng pelan. "Aku tidak percaya itu. Jika ini hukuman, kita tidak akan diberi tubuh yang sekuat ini. Dan dunia ini… meskipun berbahaya, tetap terasa seperti kesempatan kedua."
Sari memandangnya dengan mata penuh tanya. "Kau selalu bisa melihat sisi positif, ya?"
"Tidak selalu. Tapi aku tahu satu hal: kalau kita hanya terjebak dalam ketakutan, kita tidak akan bertahan."
Sari tersenyum kecil, meskipun pikirannya masih dipenuhi pertanyaan.
Saat matahari mulai bergeser ke puncak langit, Sari dan Arka memutuskan untuk menjelajahi area sekitar pohon besar itu.
Di belakang pohon, mereka menemukan sesuatu yang menarik: bekas jejak kaki besar yang tampak baru. Jejak itu mengarah ke hutan yang lebih gelap, dan ukurannya hampir sama dengan jejak yang mereka temukan sebelumnya.
Arka berjongkok untuk memeriksanya, matanya menyipit. "Ini makhluk besar yang sama, atau sesuatu yang lain?"
Sari berdiri di belakangnya, tubuhnya menegang. "Kita tidak bisa tinggal di sini kalau makhluk itu sering berkeliaran."
Arka mengangguk. "Aku tahu. Kita harus bergerak lagi. Tapi sebelum itu, aku ingin memastikan sesuatu."
Sari mengerutkan alisnya. "Apa yang kau maksud?"
Arka berdiri dan memandang ke arah jejak itu. "Jejak ini menuju ke arah yang lebih dalam di hutan. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya kita hadapi di sini."
Sari menelan ludah, tetapi akhirnya mengangguk. "Baik. Tapi kita harus sangat berhati-hati."
Setelah beristirahat sejenak, mereka mengumpulkan keberanian untuk mengikuti jejak itu, meskipun rasa takut masih menyelimuti hati mereka.
Arka memimpin jalan, tongkat kayunya tetap di tangan. Ia memastikan setiap langkah aman sebelum melanjutkan. Sari berjalan di belakangnya, matanya terus mengawasi sekeliling.
Di sepanjang jalan, mereka menemukan lebih banyak tanda-tanda kehidupan: bekas cakaran di batang pohon, jejak kaki kecil di tanah, dan sisa-sisa tulang yang terlihat seperti milik hewan kecil.
"Dunia ini semakin aneh," gumam Sari, suaranya penuh rasa ingin tahu sekaligus khawatir.
"Kita harus memahaminya. Kalau tidak, kita tidak akan bisa bertahan," jawab Arka tanpa menoleh.
Jejak itu membawa mereka ke sebuah area yang lebih terbuka, dengan pepohonan yang lebih jarang dan tanah yang ditutupi oleh lumut bercahaya. Di tengah area itu, mereka melihat sesuatu yang membuat mereka terdiam: sebuah gua besar dengan pintu masuk berbentuk seperti rahang raksasa.
Arka berhenti, menatap gua itu dengan mata penuh kewaspadaan. "Kurasa… kita baru saja menemukan sarangnya."
Sari menggenggam tangannya, tubuhnya sedikit gemetar. "Arka, apa kita benar-benar harus masuk?"
Arka menghela napas panjang. "Tidak sekarang. Tapi kita harus tahu apa yang ada di sana. Cepat atau lambat, makhluk ini akan menjadi masalah."
Mereka berdiri di depan gua itu, sementara dunia di sekitar mereka terasa semakin sunyi, seolah menunggu langkah berikutnya.